Prolog

6.3K 664 53
                                    

Mempunyai kemampuan seperti ini sebenarnya bukanlah harapanku. Jujur aku sangat terbebani.

Karena kemampuan ini, duniaku terasa dua kali lipat lebih bising.

Karena kemampuan ini, aku jadi mengetahui privasi orang lain.

Dan karena kemampuan inilah, aku dapat bertemu dia.

Dia...

Dia orang yang telah membunuh ibuku. Dia yang telah menghancurkan keluargaku. Aku tidak bisa diam saja, kan? Aku harus membalas.

Aku... Park Jimin.

Aku orang yang mempunyai kemampuan dapat membaca pikiran orang lain dan dapat mendengar suara hati orang lain.

.

.

.

MIND READER

.

.

.

"Selamat pagi appa" sapa Jimin ceria ketika menghampiri ayahnya yang sudah siap di meja makan. Jimin duduk disamping ayahnya. Tangannya mulai mengambil beberapa lauk pauk untuk sarapan kali ini.

"Appa, ada apa dengan wajahmu?" dahi Jimin berkerut heran.

"Appa merindukan Eomma. Tak terasa sudah hampir tujuh tahun eomma meninggalkan kita" raut wajah Appa Park berubah sendu.

"Appa bicara saja! Kenapa harus dalam hati" ujar Jimin sedikit kesal.

Appa Park terkekeh menanggapinya. "Tenggorokan appa sedang sakit, Jiminie. Kalau bicara akan serak" ucap Appa Park masih di dalam hatinya.

Jimin mendengus sebal. Appa Park bilang kemampuan Jimin ini sangat membantu dirinya jika sedang malas berbicara. Jimin bahkan akan mengerti apa yang ia bicarakan walau ia hanya memikirkannya saja. Sangat membantu bukan?

"Minum obat appa, jangan lupa! Appa harus sembuh" ujar Jimin disela-sela kunyahannya. "Pulang MOS nanti kita bertemu eomma yaa".

"Oke. Appa akan menjemputmu di sekolah" tangan Appa Park terulur untuk mengusap surai lembut Jimin. "Maaf appa tidak bisa menemanimu masuk sekolah baru, kerjaan appa tidak bisa ditinggal" lanjutnya dengan wajah menyesal.

"Eiyy.. Aku bukan anak kecil lagi appa. Tak masalah jika tak ditemani. Aku ini anak SMA sekarang" Jimin menyombongkan dirinya.

Appa Park tersenyum. Ia merasa senang saat bersama anaknya. Appa Park pernah berjanji bahwa ia akan selalu menjaga Jimin dengan sepenuh hati. Itu janjinya pada Eomma Park dulu.

"Appa berangkat duluan yaa.. Sudah telat" ujar Appa Park sambil memakai jasnya terburu-buru. Mencium kening anaknya sebagai ciuman perpisahan untuk hari ini.

Jimin mengangguk membalasnya. "Hati-hati menyetir appa"

Appa Park mengangguk dan tersenyum ke arah Jimin. Kakinya melangkah dengan cepat keluar dari ruangan.

"Appa~" panggil Jimin.

Appa Park menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh pada sang anak yang memanggilnya. Ekspresinya seakan-akan mengatakan 'ada apa?'

"Coba appa bersuara sedikit" pinta Jimin.

"Appa berangkat kerja dulu yaa" suara Appa Park bukan hanya serak, tapi terdengar jadi menggelegar membuat Jimin tertawa terbahak-bahak.

"Suara appa terdengar seperti Buto Ijo yang sedang mengejar Timun Mas" ucap Jimin masih dengan tawanya. Setiap hari ada saja yang Appa Park lakukan agar Jimin tertawa.

Appa Park tertawa kecil melihat Jimin yang terbahak. Tangannya terangkat untuk melambai ke arah Jimin. Mulutnya berucap 'Daahhh 👋' tanpa suara. Jimin pun membalas lambaian tangan ayahnya sambil memandang sang ayah yang mulai hilang dibalik tembok. Tak lama suara mesin mobil menyala pun terdengar. Ayahnya sudah benar-benar berangkat kerja.

Jimin segera menyelesaikan sarapannya. Setelah itu, bergegas untuk berangkat ke sekolah barunya. Jimin tak ingin terlambat di hari pertama MOSnya.

Sekarang, hari-hari Jimin sebagai pelajar SMA akan dimulai.

.

.

.

.

.

To Be Continue

MIND READERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang