1.

192 16 9
                                    

24 Oktober 2015 ; 11.07 malam

Seberapa besarkah kesempatan kita untuk bersama? Aku yang selalu menerka tapi aku juga yang tak berani hanya untuk sekedar tahu kenyataan yang ada. Hati ini terlalu takut. Maaf, aku hanya bisa menyimpannya rapat-rapat dalam lemari-lemari yang tersusun rapi dalam relung terdalam diri.

--

"Kita pasti bisa Nis, cuma beda pulau kan? Masih ada line sama whatsapp."

Niska menatap ponselnya sekali lagi. Sudah terhitung 3 hari semenjak terakhir Akbar memberinya kabar. Kamu kemana? Aku khawatir ka. Sesekali me-refresh ponselnya kalau saja benda pintar itu tak berfungsi sebagaimana mestinya. Nihil, yang membuat ia melempar benda itu sembarang.

Salah jika ia bersikap begini? Marah karena orang yang ia sebut kekasih tak kunjung memberikannya pesan. Jarak, pulau dan waktu. Seaakan tak berpihak pada dua orang yang telah lebih dari 5 tahun menjalin kasih.

Ting tong

Bel apartment yang ia tempati berbunyi. Jam 11 lewat 14 menit. Siapa yang malam malam bertamu? Ah mungkin saja teman kantornya yang ingin menumpang menginap disini karena lembur sampai larut malam.

"Iya tunggu sebentar." Sahutnya seraya berjalan untuk membuka pintu apartmentnya.

Terkejut, seakaan tak percaya dengan sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Sosok yang ia rindukan setelah beberapa bulan hanya berkabar melalui surel. Sosok yang selalu mengisi pikiran juga menguasai hatinya dalam diam.

"Suprise!" Senyum yang mengembang di bibirnya juga sorot mata yang dulu hampir selalu ia lihat. Feronom yang tercium membuat hatinya bergetar. Air mata dengan spontan terjatuh dan isakan pun ikut terdengar.

"Loh, Nis kok nangis? Kenapa? Kamu sakit?" Akbar mendekatkan tubuhnya. Ia menangkup wajah Niska dengan tangan besarnya. "Kenapa nangis? Gasuka ya aku dateng?"

Niska menggeleng. Tangisnya tak bisa ia bendung lagi. Pelukan, yang ia butuhkan saat ini. Dan seakan mengerti yang Niska maksud, Akbar menarik tubuh Niska dan memeluknya erat. Membelai surainya lembut dan mengecup pelan puncak kepalanya.

Hangat. Pelukan yang sudah lama tak dirasakan Niska. Masih terisak, Akbar mencoba menenangkan. "Udah dong Nis, masa aku pulang di sambutnya pake tangisan sih? Padahal aku ngarepnya senyum loh."

Pelukan itu mengerat. Seakaan tak lagi ingin Niska lepaskan. Sesak yang sudah lama ia pendam perlahan menguap. Rindu yang sudah tertahan harus ia sampaikan kepada sang empunya.

"Aku kangen.."

Akbar tersenyum. Mendorong sedikit tubuh Niska untuk melihat wajah gadisnya itu. Mengusap air mata yang terjatuh di pipi meronanya. Retina mata mereka bertemu. Berbicara dalam satu bahasa yang sama. Bahasa rindu.

Cup..

Menautkan bibir mereka menjadi satu kesatuan untuk menyalurkan rasa yang terpendam. Ciuman yang hangat juga terasa sedikit asin karena air mata Niska.

"Aku juga kangen kamu.."

--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

--

Dont forget to vote and comment ya!

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang