DUA BELAS

3.7K 408 15
                                    

Gue sudah dihukum. Tapi apakah HIV/AIDS adalah sebenar-benarnya kutukan untuk setiap pendosa? Makanya sampai saat ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini? Apakah setiap ODHA (orang dengan HIV/AIDS) layak dihukum seperti ini??

Semua pertanyaan untuk pembenaran diri sendiri terlontar begitu saja dari kepala.

Gue merasa sendiri. Merasa hina dan ingin putus asa.

Gue pulang ke rumah padahal masih hari kamis, gue ingin dikelilingi oleh orang yang gue tahu pasti menyayangi gue sepenuh hati.

Mama menyambut gue, heran kenapa gue udah pulang padahal masih hari kuliah.

"Mah? Masakin sayur sop atuh." Pinta gue.

"Yaudah, tapi pasangin lampu di teras belakang ya? Tadi subuh gelap banget, mati ternyata."

"Iya, Mah! Dede ganti baju dulu."

Memakai baju rumah, kaus dan celana pendek, gue ke ruang penyimpanan untuk mengambil tangga, lalu minta lampu baru yang akan diganti.

"Beli dulu, De!"

"Ohhhhhhh!"

Naik motor, gue menuju minimarket terdekat untuk membeli lampu neon, kata Mama yang 20 watt aja.

Selesai gue memasang lampu, gue duduk di ruang tengah sambil nonton. Mama belum kelar masak soalnya, padahal gue udah laper banget.

Gue menonton acara kedokteran yang ada di channel swasta, yang sialnya lagi bahas HIV, dengan kesal langsung gue matiin TV dan membanting remote ke sofa.

Apaan sihh?? Gue gak perlu satu semesta mengingatkan kalau gue terkena HIV! Please, gue udah tau!

"Beres nih, De! Masih panas tapi." Gue mendengar seruan Mama dari arah ruang makan. Langsung saja gue menghampirinya.

Mama menemani gue makan, sadar betul kalau Mama memandangi gue dengan seksama. Hanya menunggu waktu sampai Mama bertanya kenapa.

"Kamu kenapa sih dek?" Kan!

"Gak kenapa-kenapa, Mah."

"Tumben pulang? Kan sabtu kemarin udah. Lagian, biasanya ge kamu pulang sebulan cuma dua kali."

"Gak apa-apa, Mah. Emang kalo mau pulang kudu ada alesannya?" Tanya gue.

"Ya henteu sih."

"Nah mangkanya."

"Yaudah atuh, kalo ada masalah di kampus mah cerita aja ya De?"

"Iya Mah, siap!"

Selesai makan gue meninggalkan meja, naik ke kamar untuk istirahat sebentar.

Well, gue gak istirahat sih, gue hanya rebahan memandang langit-langit kamar, berusaha memahami apa yang terjadi kepada gue saat ini.

Jujur, gue takut, sumpah gue memang takut kena HIV, tapi gak pernah nyangka kalau virus itu beneran menghampiri dan tinggal di tubuh gue. Gue gak siap.

Ingin rasanya gue saat ini punya pistol buat nembak isi kepala dan mengakhiri segalanya sebelum hidup gue makin memburuk.

****

"Lo apa???!" Radith terlihat syok ketika gue menceritakan semuanya.

"Gue gak mau ngulang aib gue dua kali, Dith!"

"Kok bisa??"

"Menurut ngana??!" Seru gue kesal.

"Lo main aman kan?"

SETARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang