DUA PULUH EMPAT

3K 551 58
                                    

Gue gak ngerti hubungan gue dan Adel nih gimana. Kita gak ada kata balikan, tapi masih tetap dekat.

Dan... ada satu topik yang sekarang sering dibicarakan Adel; Krisna.

Krisna ngajak ini lah, Krisna punya ide itulah, Krisna kenal siapa lah. Pokoknya semua tentang Krisna.

Gue menangkap Adel sepertinya ingin gue mengenal Krisna, ingin gue memahami kalau dia menganggap Krisna hanya teman. Tapi, man! Gue gak bodoh. Gue cowok dan gue tahu gimana cowok kalo lagi deketin cewek. Krisna nih deketin Adel, tapi Adel menyangkal itu semua.

Gue pasrah sama keadaan saat ini. Pertama; hidup gak jelas. Kedua; status gak jelas. Satu-satunya yang jelas saat ini adalah HIV yang hari demi hari menyerang gue. Siap membunuh gue kapan saja.

Malam ini, gue mengendarai mobil ke perkumpulan. Meskipun bukan malam minggu, gak ada salahnya juga kan gue nongkrong di sana??

Gue melihat mobil Mas Tara terparkir di halaman luar. Agak senang karena setidaknya gue bakal punya temen ngobrol sekalipun rumah ini sepi.

Masuk ke dalam, gue melihat Mba Wika dan Mas Tara sedang berbincang. Menyapa mereka, gue langsung duduk di dekatnya.

"Ngapain nih?" Tanya gue.

"Lipet-lipetin leaflet, Chan. Buat di sebar pas CFD-an." Jawab Mba Wika.

"Ohhh, yaudah sini aku bantuin."

Gue menerima kertas licin yang harus dilipat menjadi tiga bagian ini. Mengerjakan tugas gue dengan tekun sambil sesekali mendengar kedua orang tua di depan gue ini bahas proyek pengembangan perkumpulan ini. Gak cuma menampung para penderita HIV, tapi juga keluarga para ODHA, agar mampu memberikan support yang dibutuhkan dan juga pengetahuan tentang penularan virus ini.

Gue ingin ikutan nimbrung ngobrol, tapi pikiran gue malah terbang ke Adel sekeluarga yang lagi liburan akhir tahun ke Eropa. Gak cuma Adel sekeluarga, tapi plus Krisna. Gue gak paham apa perannya Krisna sekarang di keluarganya Adel.

"Bengong mulu lo, Chan!" Mas Tara menyadarkan gue.

"Ehhehe asik abisnya bengong tuh." Sahut gue asal.

"Lo parah sih Chan."

"Parah kenapa Mas?"

"Iya, gue cariin beasiswa malah dilepas gitu aja."

"Ya maap, belom siap ninggalin Bogor."

"Yaudah, kerja aja Chan. Cari duit yang banyak." Mba Wika ikutan.

"Ya Mbak, kan kalo Chandra S2 peluang gajinya lebih tinggi tau."

"Bisa jadi dosen gak Mas?" Tanya gue.

"Kalo lo mau ya bisa Chan."

"Mau deh kalo gitu kuliah lagi!"

"Ah males gue nyari beasiswanya. Abis yang terakhir lo sia-siakan."

"Gitu banget sih Mas?"

"Nanti deh yaa?!"

"Yaudah, tapi bantuin cari ya Mas?!"

Mas Tara mengangguk, gue tersenyum kemudian melanjutkan kegiatan melipat yang membosankan ini.

"Udah ya? Udah dijemput Kakak." Ucap Mba Wika.

"Oh iya, hati-hati, Mbak." Kata gue.

Mbak Wika merapikan tasnya, kemudian meninggalkan gue berduaan saja dengan Pak Tara.

"Kasian ya Mbak Wika." Ucap Pak Tara.

"Iya, mantan suaminya yang brengsek, dia yang kena."

"Untung belum punya anak. Kebayang kalau punya dan anaknya kena juga? Selesai udah."

SETARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang