DUA PULUH DUA

3.2K 501 24
                                    

Gue pulang ke Bogor, meskipun tanpa keluarga, gue merasakan betul kalau Bogor adalah rumah untuk gue. Banyak orang yang gue sayang berada di Bogor. Adel dan Radith salah duanya.

Saat ini gue magang di sebuah perusahaan kontraktor, status gue masih gak jelas dan kerjaan gue pun serabutan. Bantuin ini lah, itu lah, anu lah, pokoknya gitu. Tapi berhubung ini sesuai dengan jurusan dan gue menguasai kerjaannya, jadi gue lakukan dengan senang hati. Yang penting gue dapet penghasilan tiap bulan, gak kaya jaman kuliah, dapet fee seadanya padahal ngerjain tugasnya sampe begadang.

"Aku weekend pergi ya? Ke Bali, ada proyekan di sana dan aku diajak." Ucap Adel ketika kami sedang makan malam bersama.

"Iya, jangan capek-capek ya?!"

"Kamu yang jangan capek!"

Gue tersenyum. Adel masih aja perhatian sama gue.

"Kalo ada yang ganjen, bilang!"

"Dihhhh!" Serunya sambil tertawa.

"Seriusan aku, Yaang."

"Iyaa, lagian mau siapa yang ganjen? Orang bos aku udah nikah kok, sisanya cewek juga."

"Ya siapa tau di Bali ada yang ganjenin kamu?"

"Hahaha gak bakal!"

Gue diam, udah lah, gak ada gunanya juga gue debat sama dia. Lagian kalau ada yang naksir Adel itu hal wajar kok, dia cantik, pinter dan menyenangkan. Gue cuma bisa berharap Adel bisa terus sayang sama gue dan mengabaikan orang-orang yang ganjenin dia. Amin.

"Yuk??!" Ajak gue ketika kami selesai makan.

"JJM dulu yuk?" (Jalan-jalan malem)

"Mau kemana?"

"Keliling-liling Bogor aja." Pintanya. Gue mengangguk, mengiyakan apapun permintaannya selagi bisa gue kabulkan.

Keluar dari resto, gue menggandeng Adel, membukakan pintu mobil untuknya, baru gue masuk ke jok kemudi.

"Kak Alvian mau nikah, enam bulan lagi."

"Wah? Salamin gitu, selamat buat Kak Alvian sama Kak Mila." Ucap gue senang.

"Kamu mau ikutan pas lamaran? Pas kawinan juga?"

Gue diem, bingung harus jawab apa. Gue ingin mengenal dan dikenal keluarganya Adel, tapi ada satu masalahnya.

"Liat jadwal nanti aja ya?"

"Ya kosongin lah dari sekarang, aku kan bisa kasih tau kamu tanggal pastinya. Lamaran sama kawinan kan bukan acara dadakan."

"Yaudah, iya. Aku dateng."

"Kamu kenapa sih sama keluarga aku? Kaya gak mau banget aku kenalin ke mereka??" Tanyanya dengan nada tidak suka.

"Kamu ngajak jalan-jalan supaya kita bisa debat?" Gue balik bertanya.

"Aku penasaran aja."

Gue gak mungkin buka aib gue dan aib Mamanya di saat yang sama. Apalagi bilang kalau mobil yang selama ini gue pake, yang selalu menemani kami kemanapun adalah pemberian dari Mamanya demi sebuah aksi dua remaja tak senonoh.

Gue menepikan mobil gue, menarik nafas kemudian jelaskan kepadanya sebisa gue. Gak bohong, tapi tidak jujur sepenuhnya.

"Del, kamu tahu aku kaya gimana, penyakit aku apa. Kalau aku kenal sama keluarga kamu, terus suatu hari nanti mereka menuntut kita untuk punya hubungan yang lebih, apa yang harus aku bilang ke mereka?"

"Jadi hubungan kita ini ujungnya jalan buntu?"

Mau gak mau, gue mengangguk.

"Maaf bikin waktu kamu sia-sia karena dihabiskan sama orang kaya aku."

SETARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang