Gue menculik Radith agar bisa menemani gue malam ini di sebuah club. Gue butuh alkohol untuk menghilangkan kepedihan yang dirasakan saat ini.
"Kata gue juga apa Chan? Jujur."
"Diem dulu deh lo! Gue lagi gak mau dinasehatin!" Sahut gue kesal.
Ingin rasanya gue menangis, merasa gak berguna untuk kakak gue sendiri, ngecewain mama dan harus ngejelasin apa gue nanti???
Menenggak lagi vodka yang gue pesan, gue minta tambah begitu gelas sudah kosong.
"Mau mabuk-mabukan lo??"
"Berisik lo!"
"Yaudah terserah!" Ucap Radith kemudian ia juga memesan minuman kepada bartender yang ada di depan kami.
"Bungkus cewek gak lo malem ini?" Tanya gue ke Radith.
"Gue nemenin lo aja."
Gue melirik sinis ke Radith kemudian berbalik, mengedarkan pandangan untuk mencari orang yang kira-kira bisa gue ajak ke kasur. Sudah terlalu lama gue 'main sendiri', mending gue cari orang buat nemein gue malem ini, terserah lah, cewek bayaran kek, cowok kesepian kek, siapa aja gue jabanin malem ini.
Menenggak habis minuman yang baru dituang, gue berjalan ke arena dance floor, nyoba deketin satu cewek.
"Hey!" Ia bahkan menyapa gue lebih dulu. Ternyata pesona gue belum hilang.
"Sendiri aja?" Tanya gue.
"Kalo berduaan sama kamu, boleh??"
"Boleh banget!"
Ia tersenyum, lalu mengulurkan tangan. Gue menggengamnya kemudian kami berjoget bersama menikmati musik yang ada.
Wanita asing di depan gue ini mendekatkan dirinya, gue pun melakukan hal serupa, ketika wajahnya sudah hampir tak berjarak dengan gue, seseorang menggangu kami.
"Sorry! Cowok ini punya pacar! Balik lo Chan!" Radith menarik gue, menggunakan tenaganya, membawa gue ke luar.
"Lo apa-apaan sihhh??!" Bentak gue kesal.
"Elo yang apa-apaan, lo mau make-out sama cewek tadi? Lo mau nularin dia?"
"Eh kampret! Gue pengobatan ARV! Gue rutin minum obat, gue tahu hal-hal apa yang bakal nularin, gue belum parah banget!"
Kemudian Radith nampar gue.
"Balik!" Serunya.
Ia mengambil kunci mobil dari saku belakang gue kemudian menarik tangan agar gue masuk ke mobil.
Sambil menyetir, Radih mengulurkan botol sparkling water, gue menerimanya dan langsung minum untuk melegakan tenggorokan.
"Ke mana nih?" Tanya gue saat sadar Radith tidak mengantar gue balik, dan juga gak mengarah ke rumahnya.
"Apartmen gue!" Jawabnya acuh.
Gue meliriknya kemudian menyandarkan kepala yang mulai berat ini ke kaca.
"Dith??!"
"Yak?"
"Bunuh gue dong!"
"Gak usah gila lo!"
"Yaudah bikin gue gila beneran lah, gue gak sanggup nanggung penyakit ini."
"Lo gak sendirian Chan! Lo paham kan itu??!"
Gue diam. Kepala gue sudah kepalang berat, gue udah gak sanggup membalas omongan Radith barusan. Jadi gue berusaha memejamkan mata.
Gue merasakan, Radith memapah gue sampai gue berbaring di atas kasur. Pandangan mata gue masih kabur, jadi gue memejamkannya lagi. Berusaha untuk tenang.
"Tidur Chan, istirahat, lo gak boleh banyak pikiran, banyak tekanan atau apapun, lo harus santai, oke?"
Gue mengangguk kemudian berguling. Mengambil satu bantal untuk dipeluk, gue pun memejamkan mata yang memang sudah berat ini.
Tuhan... izinkan hamba mati ketika tertidur nanti. Hamba lelah.
*****
Gue belum di neraka pas gue buka mata, apalagi di surga. Tuhan gak mau mengabulkan doa gue semalam karena pagi ini gue masih ada di dunia, di apartment Radith lebih tepatnya.
Bangun dan terduduk di kasur, gue melihat Radith yang masih tidur di samping gue. Ia terlihat lelah, yaa mungkin dia capek ngurus gue yang kaya kambing ini semalem.
Turun dari kasur, gue beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengurus urusan pribadi. Bercermin di kaca depan washtafel, gue sama sekali gak melihat diri gue sendiri pagi ini.
Kemana Chandra?
Apakah gue harus melakukan perjalanan lagi, perjalanan menemui diri sendiri dan berdamai dengan masa lalu?
Tapi gue capek kalau harus terus menerus berlaku demikian. Gue lelah dan ingin berhenti kemudian menyerah.
Selesai dari kamar mandi gue keluar, meninggalkan Radith di kasur sementara gue duduk di sofa. Di depan gue ada tas kecil yang selalu gue bawa kemana-mana. Meraihnya, gue membuka retsleting dan menemukan obat-obatan gue, juga ponsel gue.
Memeriksa handphone, ternyata ada banyak pesan baru, dari Mama dan Adel.
Adel:
Kamu di mana?
Kok gak kabarin?Woy??
Kok jadi kamu yang marah??
Tau ahhh 😥
Gue tersenyum, setidaknya Adel masih peduli sama gue, dia masih nyariin gue.
Me:
Di tempat Radith
Maaf yaa
Maaf banget, Del
Siang ini ketemu deh, mau?Setelah membalas pesan Adel, dengan nyali seadanya gue membuka pesan dari Mama.
Mam:
Dede kenapa? Kemana?
Dede gak sayang sama Kakak?
Mamah kaget Dede bisa ninggalin kita gitu ajaAir mata gue langsung mengalir membaca pesan Mama. Kalau bisa pun gue mau donorin darah gue buat Chantika. Tapi sayangnya gak bisa. Gue gak akan pernah bisa donor darah seumur hidup gue. Dan gue gak setega itu transfer penyakit ini ke Chantika. Gue gak gila.
Menyeka air mata yang mengalir, gue mengambil tube obat gue kemudian mencari air di apartment ini.
Gak cuma minum ARV, gue juga meminum obat anti stress. Ya, gue butuh dua obat ini, kalau ARV gue minum seumur hidup, kalau anti sress ya sebutuhnya, dan sering banget gue butuh kedua obat ini meskipun dokter gue bilang gak baik kalau gue ketergantungan sama anti stress.
Setelah minum obat, gue gak balik ke sofa, melainkan ke balkon yang memperlihatkan pemandangan kota kecil ini.
Gue gak pernah menyangka, kota kecil seperti ini mampu menjungkirbalikkan hidup gue sedemikian rupa. Harus dengan cara apa gue bertahan? Gue bahkan gak punya pegangan untuk bertahan.
Kemudian pikiran itu muncul.
Terjun bebas dari ketinggian ini pasti akan membuat gue tidak lagi merasakaan penyakit dan semua tekanan yang selama ini menghantam setiap inchi tubuh gue.
Mendekat ke pagar besi di depan, gue menarik nafas, berupaya untuk meyakinkan diri untuk mengakhiri segalanya. Mengakhiri setiap sakit yang gue derita.
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo*******
KAMU SEDANG MEMBACA
SETARA
General Fiction- COMPLETED- Sebuah perjalanan hidup tentang seorang manusia yang ingin dianggap SAMA meskipun tahu ia berbeda dengan orang kebanyakan. Sebuah cerita tentang penebusan masa depan karena sudah lalai di masa lalu. Dan tentu saja, ini sebuah cerita cin...