EMPAT PULUH EMPAT

2.8K 487 18
                                    

Dari 7 zygot yang dikembangkan, hanya ada 3 yang berhasil menjadi embrio. Itu aja gue udah bersyukur, abis katanya malah pasangan ada banyak yang semuanya gagal jadi embrio, sampe harus ulang ambil sempel.

"Kenapa lo gak bikin normal aja, Chan?" Tanya Kirani saat gue dan Adel menemaninya menunggu Krisna yang sedang konsul terapi.

"Lha, kan masih ada HIV di badan gue, bikin normal malah resiko nularin Adel atau nanti anaknya malah positiv HIV, bahaya." Jelas gue.

Kirani mengangguk.

Sudah sekitar 20 menit kami menunggu, sebenernya Kirani pengen nemenin Krisna, eh tapi Krisnanya malah mau sendiri. Dia gak siap bikin Kirani sedih, gitu katanya.

Menit-menit terus berlalu, akhirnya Krisna keluar dari ruang periksa dengan selembar kertas. Kirani langsung berdiri, menghampirinya dan memeluknya.

"Gimana?" Tanya gue. Ikut berdiri sambil menggandeng Adel.

"Masih perlu dilihat lagi. Yang penting jaga makanan sama gak boleh minum. Ini dapet resep suplemen, hormon sih katanya." Jawabnya acuh tak acuh. Krisna masih sensi sama gue gara-gara obrolan din hari itu. Tapi gue gak balas serupa, gue sudah terlalu tua untuk jadi ngambekan.

"Yaudah, cari makan yuk. Laper tau!" Ajak Adel dan kami semua mengangguk.

Setelah makan siang, gue dan Adel mengantar Krisna dan kirani pulang, kami balik ke rumah sakit karena pukul 3 nanti ada janji ketemu dengan dokter yang menangani program kami.

"Makasih yaa, goodluck kalian!" Seru Kirani saat kami sampai di rumah.

Adel yang menyauti ucapan Kirani sementara Krisna turun begitu saja dan gue pun pindah duduk mengambil alih kursi kemudi. Selesai acara dadah-dadah singkat, gue melajukan mobil ke jalanan yang baru saja kami lewati.

"Kamu ada masalah sama Krisna?" Tanya Adel.

"Ah, engga." Jawab gue, karena gue gak menganggap ini masalah. Lain cerita sih yaa kalo Krisna nganggep masalah....

"Kok dia kaya yang marah ya?"

Gue menjelaskan ke Adel tentang apa yang gue obrolkan berdua dengan Kirani, lalu apa yang gue sampaikan ke Krisna. Adel mengangguk mengerti, ia bahkan setuju dengan gue dan Kirani.

"Apa kita bantuin cari kerjaan aja buat Krisna? Minta tolong Mas Tara gitu."

"Gak enak ah, nyusahin Pak Tua itu terus."

"Kan Mas Tara sendiri yang bilang dia mah seneng-seneng aja kita recokin."

"Yaudah, nanti aku tanya. Masuk yuk!" Ajak gue, kami sudah tiba di rumah sakit.

Menunggu sekitar setengah jam, gue dan Adel akhirnya bertemu dengan dokter Zoey, ia mempersilahkan kami duduk sebelum membicarakan embrio kami yang sedang ia teliti ini.

Mendengarkan penjelasan dengan seksama, kami diberi pilihan, akan melanjutkan ketiganya atau memilih dua atau hanya satu. Gue menyerahkan keputusan itu ke Adel, karena dialah yang nantinya akan mengandung, bukan gue.

"Satu aja, Chan. Kamu setuju?"

Gue mengangguk, sepakat dengan apapun pilihannya.

"Jadi kapan prosesnya mau di mulai?" Tanya dokter Zoey.

"Bisa secepetnya gak dok? Soalnya saya mau pulang ke Amerika besok?" Pinta gue.

Dokter Zoye menjelaskan kalai gak bisa secepat itu, kami harus memilih yang mana dari ketiga embrio tersebut, dan ada tahap lain yang kurang gue pahami.

"Gimana? Kamu bisa sendiri?" Tanya gue.

"Bisa kok, ada Kirani."

"Maaf ya gak bisa temenin."

Adel mengangguk, gue bersyukur karena ia memahami keadaan.

"Yaudah dok, sesuai prosedur aja, Adel bakal tetap di sini kok, cuma saya yang ke Amerika." Kata gue.

Setelah membahas hal lain, Adel diberi resep vitamin dan sebagainya. Selesai mengambil semua itu di apotek, kami pun pulang.

****

Gue sudah kembali ke Amerika, sementara Adel masih di Austria. Agak beda sih kembali ke apartment tanpa Adel. Kaya ada yang kurang gitu.

Mengistirahatkan diri sebentar, gue langsung keluar lagi untuk menjemput Miwi, kasian juga dia kelamaan di pet house, lagian gue juga kangen denger suaranya.

Berjalan kaki, gue menyusuri trotoar sambil menelefon Adel, ngabarin kalau gue sudah sampai dan sekarang sedang menjemput Miwi, anak pertama kami. Ya, gue dan Adel memang menganggap Miwi seperti anak.

"Nanti kalau pulang jemput dia, video call ya Chan? Aku kangen sama Miwi."

"Iya sayang, siap. Nanti aku yang telefon kamu."

"Yaudah, hati-hati, telefon ya kalau udah di rumah."

"Okay! Bye sayang."

"Bye Chan, I love you!"

"I love you more, Del!"

Panggilan berakhir, gue masih berjalan menuju pet house, emang sih jaraknya agak jauh, tapi lebih mending jalan kaki daripada naik mobil, soalnya jalanan macet dan agak muter. Bikin males.

Miwi langsung meloncat dari pelukan penjaganya ketika ia dibawa keluar. Gue berjongkok, menyambutnya agar bisa memeluknya.

"Kangen ya? Sama, aku juga kangen!" Kata gue sambil mengusap-usap kepalanya.

Selesai mengurus biaya dan makanannya, gue berjalan pulang, menjinjing carrier Miwi sementara si kucing ini betah digendongan gue.

Sesampainya di apartment gue membiarkan Miwi mengacak-acak rumah--mungkin nandain teritorial lagi kali ya?--- sebelum ia ikut tiduran bareng gue di kasur.

"Telefon mama ya?? Kangen mama sama kamu, Miw!" Seru gue kemudian melakukan panggilan video ke Adel.

Gue, Miwi dan Adel ngomong banyak hal via telefon. Dan gue senang karena meskipun sedang terpisah jarak tapi masih berasa dekat.

Gue berharap semoga secepatnya Adel bisa kembali ke sini. Kumpul bareng gue dan Miwi karena akan terasa lebih hangat kalau kami bisa berkumpul sambil saling peluk.

Dan tentu saja, gue berharap Adel tidak kembali sendiri, tapi berdua dengan anak yang ada di perutnya.

Ya ampun, gak sabar banget gue!

******

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

SETARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang