3 Nama

5 2 0
                                    

"Ada tiga nama dalam hatiku," ujarmu sembari menatapku dengan senyum. Kemudian kau sebut tiga rangkai kata yang menunjukkan nama yang ayah berikan padaku 21 tahun lalu.

Namaku.

Aku tersenyum, sebelah tangan membelai kepalamu lalu sebelahnya menggenggam tanganmu erat. Tak ada yang bisa kukatakan selain tersenyum. Air mata menyeruak memaksa keluar, setiap saat kau berkata hal-hal yang begitu melelehkan hatiku. Namun aku selalu berusaha menahannya. Akan sangat memalukan jika aku tiba-tiba menangis tak jelas, bukan?

Satu sisi aku bahagia, ada dirimu yang begitu menyayangiku, dan aku yang menyayangimu. Di sisi lain aku sangat khawatir, segala kebahagiaan ini tak mencapai titik pengharapan. Seperti kisah-kisah yang pernah ada, di sekeliling kita. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun kandas pada detik terakhirnya. Sangat menakutkan, sayang.

Kau bilang, kau selalu ketakutan. Maka aku juga merasakan hal yang sama. Sepertinya ada sejengkal rasa saling curiga diantara kita. Ada sejengkal kepercayaan yang berwarna abu-abu. Baik dirimu kepadaku, juga aku kepadamu. Beberapakali memikirkan cara agar kepercayaan itu bulat seutuhnya tanpa lubang, agar berwarna terang tanpa abu-abu.

Malam ini aku akan mengirim surat. Selembar surat pertama. Juga rangkai kata di bawah ini;

24 August.

Seharusnya kutulis surat ini di lembar berikutnya, namun karena aku akan mengirimkan yang satu ini untukmu, entah kapan, malam nanti atau kapan, maka kububuhkan di bawah sini. Agar sekalian saja kau membacanya, mengetahuinya.

Surat di atas sudah lama kutulis. Kau ingat sepotong surat yang pernah aku beritau tanggalnya saja? Kala itu hari ulang tahun komandan Panda, aku membuat surat untuknya. Kau bilang sajakku bagus. Kemudian kau meminta aku menulis untukmu.

Ah, sayang. Tanpa kau mintapun aku selalu menulis untukmu. Namun aku tak pernah mengirimkannya. Dan surat di atas adalah salah satu yang pernah kutulis jauh hari lalu, hanya untukmu.

Aku tak pernah ingin melihat wajahmu murung. Aku tak ingin melihat kau bersedih atau marah disebabkan aku. Selalulah tersenyum dan tertawa. Setidaknya, jika kita tak bisa sering berjumpa setelah ini, aku melihatmu dalam keadaan baik saja. Atau jika hari-hari nanti kau lelah, aku selalu disini menunggu ceritamu. Memelukmu dalam resah. Berharap apa yang kupunya dalam diriku ini mengurangi sedikit bebanmu.

Saat menulis ini, detik ini. Air mataku meleleh meski segera kuseka dengan ujung jemari.

Perasaan apa ini?

Apa ini yang seringkali kau sebut "menyayangi?" Atau yang kau sebut terukir namaku dalam hatimu? Apakah begini jika terukir namamu dalam hatiku?

Aku tidak tau. Lama sekali aku membekukan hatiku untuk tidak menyayangi siapapun lebih dari kawan seperjuangan. Ataukah kau telah meruntuhkan kebekuan itu? Dirimu? Namamu?

Aku tak tau. Aku tak pernah mengerti perasaanku sendiri. Kuharap kau memahami aku yang memang begini. Memaafkanku.

Beberapa jam lalu, kau datang dengan awan mendung di matamu. Aku tak tau mengapa kau begitu. Apakah aku telah menyakitimu? Jika iya, aku meminta maaf. Aku tak pernah tau dimana letak salahku. Aku tak tau dan kau enggan berterus terang.

Kau bilang, kau pencemburu.

Aku bingung sekali, harus bagaimana. Kau jelas tau apa pekerjaanku. Siapa saja orang di sekelilingku. Dan memang begitu aku harus bersikap.

Begitu juga dirimu.

Kita seorang -O.

Layaknya artis, harus selalu tersenyum dan ceria di hadapan semua orang. Menyapa ramah, menanggapi segala obrolan, menjadi perhatian, ingin tau, dan baik hati. Seperti malaikat. Begitulah kita, aku dan kau berlaku pada semua orang. Menyelipkan nilai-nilai kepada setiap wajah di hadapan kita.

Asal kau tau saja.

Setiap kali kau bercerita dan tertawa dengan perempuan-perempuan itu, hatiku pun tergores tak berdarah. Sama sepertimu, aku tau.

Namun bagaimana?

Aku hanya diam. Aku harus mengerti dimana kita berposisi saat ini. Aku selalu berusaha menggenggam sekepal kepercayaan yang pernah kau berikan kepadaku. Meski sekelabat ketakutan seringkali datang, berkata bahwa mungkin saja kelak aku akan merasakan sakit yang sama atau lebih parah dari yang pernah kurasakan. Namun aku selalu berusaha percaya. Aku berusaha mengamini perkataanmu, bahwa kau dan dirinya adalah orang yang berbeda. Tak akan ada sakit yang terulang. Aku selalu mengingatnya, perkataanmu kala itu.

Maka aku membiasakan hatiku, membuatnya sekebal mungkin. Membutakan mataku. Memaksakan senyuman. Menahan getar amarah dalam diri.

Bagaimana lagi? Karena setiap keputusan memiliki konsekuensi, maka konsekuensi dari hubungan kita yang tak jelas ini memang begitu.

Kau harus juga melatih hatimu, sayang. Pertebal keyakinanmu atasku.

Apa yang membuatmu masih sering mempertanyakan rasaku? Atau karena kemunculannya baru saja kusadari? Ah, bagaimana aku harus jelaskan diriku padamu.

Sekali lagi, aku bukan sejenis manusia yang dengan mudahnya jatuh hati. Aku kebal terhadap segala bujuk rayu dan kata-kata manis, karena aku pernah merasakan yang termanis. Aku kebal terhadap segala pengorbanan karena aku pernah melihat seseorang yang berkorban besar. Aku kebal terhadap segala paras rupawan, keahlian, kemapanan, karena aku pernah diyakinkan oleh itu semua, yang kemudian berujung pengkhianatan.

Terkecuali dirimu. Entah bagaimana aku tak mampu membentengi diriku. Kau hadir dan terus saja hadir membongkar benteng-benteng yang kubangun bertahun-tahun.

Satu hal lagi.

Sebenarnya telah kutulis disana, surat beberapa hari lalu. Tepat saat aku menyadari aku memang benar jatuh hati, padamu.

Meski sejarah pertemuan kita begitu penuh intrik menjijikkan. Terutama kelakuanku yang mendekatimu hanya karena rasa iba dan perasaan bersalah. Bahkan sempat karena kepentingan organisasi.

Itu adalah lalu. Kuharap kau tidak menyesali hal itu.

Jika boleh meminta maaf, aku akan meminta maaf dan bersujud di ujung jari kakimu.

Bahkan hingga beberapa hari terakhir, aku tidak mengerti bagaimana perasaanku kepadamu. Aku tak mampu membacanya. Aku terlalu bodoh. Terlalu lama kututup hatiku, mungkin ia telah membeku dan butuh waktu untuk mencairkannya. Butuh waktu pula untukku bisa membaca kembali apa yang sebenarnya hatiku itu rasakan. Kuharap kau mengerti, bagaimana aku benar-benar harus mencairkan hati yang beku dalam waktu yang cukup lama.

Detik itu, beberapa hari yang lalu saat aku menatap wajahmu. Saat aku mulai merasa ketakutan akan kehilangan. Saat aku selalu memikirkanmu diam-diam. Saat kurindukan dirimu setiap detik. Saat aku marah karena hal-hal kecil yang memalukan. Saat aku mulai menyebut namamu di hadapan Tuhanku. Saat aku mengadukan kelakuanmu kepadaNya. Saat aku selalu khawatir. Saat aku merasa gelisah jika kau hilang tanpa kabar. Saat kau menjadi candu.

Kukira aku telah mencintaimu.

Maka janganlah khawatir. Sekali kulabuhkan hatiku, aku tak akan kemanapun.

Meski aku tak tampak memperhatikanmu, aku selalu memperhatikan. Meski aku tak tampak merindukanmu, aku selalu rindu. Meski aku begitu tak menghiraukanmu di hadapan banyak orang, pada dasarnya aku telah menyakiti hatiku. Melawan gerak alami tubuhku yang ingin selalu di dekatmu.

Sekali lagi itu konsekuensi.

Kita harus bersabar.

Bersabar.

Dan jangan pernah hilang, jangan pergi kemanapun tanpaku. Jangan tertawa tanpaku. Jangan menangis tanpaku.

Ah, aku mencintaimu.

Cinta sepohon strawbery kepada ulat bulu. Tak peduli ia memakan daunnya hingga tak mampu berfotosintesis dengan baik.

Write with love 🍓

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang