Sudut Hampa

21 3 0
                                    

Kutuliskan surat ini dari tanah kelahiranku yang menyimpan luka. Kelak akan kulayangkan kepadamu, agar kau tau dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Agar pula aku tau apa yang telah merasuki dirimu hingga menjadi seperti detik-detik belakangan ini. Aku sempat tak mengenalimu, atau aku sedang melihat sisi lain yang tersembunyi darimu, aku tidak tau. Kemungkinan lain, aku memang samasekali belum mengenal dirimu. Maka mari kita berkenalan.

Darimana aku akan bercerita, dimulai dengan kejujuran atau kebohongan?

Ah, aku telah banyak berbohong dan kali ini biarkan aku menulis dengan darahku yang seperti adanya, merah kehitaman.

Sebelum ini kau begitu jauh, kau pasti tahu itu. Kita dibesarkan dalam satu rumah dengan kamar berbeda, bahkan berjauhan. Kau tutup kamarmu rapat, dengan gorden dan tanpa bel pintu. Membuat kami enggan berkunjung, cukup melihatmu dari jauh dan menerka apa yang kau lakukan di dalam sana. Kau tak pernah membalas surat-surat penuh pertanyaan dari kami. Kau tak pernah mau menerima uluran sapu tangan kami untuk sekedar membasuh keringat lelahmu yang begitu kentara. Kami telah coba, dan selalu hanya sampai depan pintu kamarmu.

Hingga suatu hari nan gelap namamu berkelabat, membuatku harus menyingkap selimut dan berjalan dalam dingin. Seperti apa dia? Apa yang ia sembunyikan dari kami? Bagaimana aku harus mengetahuimu lebih jauh? Aku bertanya dan memutuskan melihatmu lebih dekat. Aku tak ingin kehilangan siapapun, saat sebuah kabar angin menegurku yang sepertinya telah melalaikan satu nyawa berharga.

Aku tak lakukan banyak hal berstrategi, cukup mengikuti bisikan-bisikan kecil dari sudut gelap dalam relung. Segalanya berjalan begitu saja, beriak-riak dengan pertengkaran kecil, perkelahian, cacian, canda dan tangisan. Waktu seolah berjalan lambat karena di sela semuanya kita sama-sama harus menunaikan kewajiban kita kepada padi-padi yang mulai tumbuh. Namun di sawah nan panas itu, kita kembali berjumpa dalam ketidaksengajaan.

Kala itu aku merasa telah menunaikan kelalaianku terdahulu. Kau dan aku tak lagi berjarak jauh, setidaknya sudah kau bukakan pintu kamarmu untukku dan semoga itu berarti untuk yang lain juga. Cukup bagiku melihatmu bisa tertawa dan menunaikan tugasmu dengan tenang. Cukup bagiku mendengar sedikit keluhmu hingga aku yakin kau menganggapku telah bertamu. Cukup bagiku, sebenarnya sudah cukup. Aku menyayangimu seperti itu, seperti sebatang pohon matahari yang akan tumbuh indah ke arah cahaya surya.

Namun sebuah skenario yang entah siapa penulisnya, mengantarku hingga titik ini. Entah bagian kamarmu yang mana, aku seperti sudah tak lagi duduk sebagai tamu. Kau tunjukkan aku bantal dan selimutmu yang hangat. Kau ceritakan kisah tikus-tikus yang sesekali mengusik kamarmu itu. Kau ajak aku meraba gelap dan pengapnya kamarmu. Kau minta aku membuka jendela yang bertirai tebal, agar kita bisa bernafas lega bersama-sama.

Sebelum itu, sebelum kau posisikan aku lebih dari seorang tamu, lagi-lagi di malam gelap yang benar-benar gelap. Kita bersitegang mempertahankan keinginan masing-masing, merasa benar, memperebutkan posisi waktu. Tak ayal, mereka kata kau pegang kartu As-nya. Maka malam itu kau menang atas segala kehendakmu. Kami mengeram marah, aku kecewa dan tak tau harus apa. Sebelum kemudian mereka mempercayai aku untuk kembali bertamu ke kamarmu, memintamu meminjamkan kartu As untuk mengubah waktu.

Membawa misi baru, aku kembali bertamu dan mendengarmu bercerita. Kukerahkan segala apa yang kupunya demi tercapainya misi kami. Aku pernah tangani berbagai jenis manusia, tapi tidak yang sejenis denganmu. Kau benar berbeda, aku harus lakukan hal-hal yang tidak pernah sekalipun kulakukan. Aku harus diam, menahan air mata dan debaran jantungku sendiri. Membiarkanmu dengan segala kemauanmu, untuk kemudian aku berbalik memintamu memenuhi keinginanku setelah aku penuhi dirimu.

Saat aku berhasil, aku memutuskan untuk sejenak berhenti berpikir. Aku terlalu enggan memikirkan kerumitan yang kuciptakan sendiri. Kau terus mempertanyakan bagaimana kelanjutan debaran yang pernah tiba-tiba ada. Aku hanya megikuti, menikmati setiap langkah, masih berusaha menjagamu hingga segalanya usai. Sayangnya, menunggu usai adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam kurun itu, semakin banyak yang terjadi.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang