Ghost Story

5 2 0
                                    

Mereka ada dan tak terlihat. Sesekali nampaknya ingin memperkenalkan diri.

Gadis berambut lurus sebahu itu diam mematung. Hamparan danau tenang di hadapannya sesekali beriak oleh ikan-ikan kecil yang mencuri nafas. Angin sepoi sore hari memainkan ujung rambutnya yang begitu ringan. Sementara sore tak secerah hari biasa, awan mendung menggelayut menutupi jingga di langit barat. Sebentar lagi adzan maghrib, namun ia tetap bergeming.

"Sudahlah, kau akan baik-baik saja, ada aku."

Seorang laki-laki bertubuh jangkung duduk di sebelah gadis itu. Memperhatikan setiap ekspresi sang gadis yang terus berubah-ubah. Sesekali nampak ingin menangis, sesekali kosong tanpa pikiran. Ia merasa harus memperhatikan Edja, nama gadis itu, dalam beberapa hari ke depan. Kondisi emosionalnya belum membaik sejak kejadian mengerikan beberapa hari lalu.

"Aku memang baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir," sahut Edja datar. Matanya masih menatap lurus.

"Jangan kemanapun tanpaku, kondisimu belum benar-benar baik, Dja."

"Aku baik."

"Terserah bagaimana kau menganggapnya. Aku hanya tak ingin merepotkan diriku jika hal itu terjadi lagi. Jiwamu masih rentan."

"Tak perlu, aku juga tak ingin merepotkanmu."

"Edja, bukan begitu_"

"Sudahlah!"

Edja memotong cepat. Ia menoleh ke arah laki-laki bernama Fatan yang duduk dekat sekali dengannya.

Gadis itu menatap Fatan dengan mata berkaca-kaca. Nampaknya ia berusaha menahan air mata sementara Fatan menatapnya tajam. Dalam beberapa detik mereka saling tatap. Waktu seolah berhenti. Debaran jantung keduanya mengumpulkan seluruh irama bumi menjadi satu. Sementara langit terus menggelap. Angin beraroma hujan  mulai berhembus menggoyang dahan-dahan pohon lebih keras.

"Ada apa denganku, Fatan?" Edja berseloroh pelan. Air matanya menyeruak perlahan, berjatuhan.

Fatan segera menarik kepala gadis itu ke dalam bahunya. Mengusap rambut pendek itu perlahan, berusaha memberikan ketenangan.

"Kau baik saja. Ada aku."

Edja mengangguk dalam pelukan Fatan. Gadis itu nampak gelisah dan ketakutan, namun ia selalu berusaha tegar. Seolah tak terjadi apa-apa dan seolah tak membutuhkan siapapun untuk bersandar. Namun Fatan tau, begitulah perangai gadis dalam pelukannya itu.

"Mari pulang..."

Fatan mengecup kening Edja sebelum mengajaknya beranjak berdiri meninggalkan danau. Langit telah gelap dan sepertinya hujan akan turun. Mereka berdua bergandengan menuju motor yang terparkir. Melesat menuju rumah kontrakan yang jaraknya tak begitu jauh.

Sebuah rumah dua lantai, dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Cat luar rumah berwarna biru muda, memadu dengan cat putih dan bingkai jendela cokelat tua. Cat di dalamnya berwarna putih, bersih tanpa noda tembok. Lantai keramik berukuran 60x60 centimeter juga berkilat, perabot bersih tanpa debu. Hanya beberapa tampak berantakan karena belum diletakkan sesuai dengan tempatnya. Mereka berdua baru saja pindah, barang-barang dari rumah kontrakan lama cukup banyak. Edja beberapakali mengeluh belum sempat memindahkannya sesuai tempat. Sementara Fatan, jika sudah tiba di rumah, tak akan peduli lagi pada perabot-perabot itu. Ia hanya akan tiduran di atas ranjang sambil memanggil-manggil Edja untuk menemaninya. Mereka berdua hobi bermalas-malasan dalam rumah.

"Aku lapar," keluh Edja sembari mengusap-usap rambut Fatan yang semakin panjang, sudah mendekati gondrong.

"Makan." Fatan menjawab sekenanya.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang