Shortcake

8 1 0
                                    

Surat malam itu, tengah malam menjelang dini hari. Di sela kesibukanku kesana-kemari, pesan yang kau kirim menggodaku untuk segera mengakhiri aktifitas dan pulang.

Benar saja, bahkan setelah pulang sekalipun, sembari dan setelah membaca suratmu aku tak bisa cepat memejamkan mata. Kata demi kata yang menggelitik, aku harus tertawa. Kubilang untai katamu itu seperti tulisan anak-anak TK. Polos sekali, seperti curhatan hati yang begitu jujur. Meski aku tak tau seberapa jujur setiap katamu itu, aku berusaha menganggapnya tulisan kejujuran. Yah, semoga saja anggapanku tidak menemui kesalahan.

Aku tak pernah tau bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya. Karena aku seringkali menulis -bukan berarti seorang penulis profesional seperti katamu- aku sangat mengerti bahwa kata bisa saja sangat berbohong atau sangat jujur. Mereka bilang, kata adalah bungkus terluar dari sebuah rasa yang ingin diungkapkan. Mereka juga bilang bahwa kata merupakan bingkai tercantik dari kebohongan. Maka yang manakah makna tulisanmu malam itu?

Aku tak ingin bersuudzon panjang karena hanya akan menggerogoti diriku sendiri, menggelapkan jiwaku dan menciptakan awan-awan mendung di atas kepalaku. Maka kutegaskan pada hatiku bahwa mungkin saja -semoga saja, tulisan itu adalah kejujuran. Setelahnya, kau tau, aku bisa kembali bergerak normal. Memulai aktifitas dengan keyakinan-keyakinan. Ketakutanku mulai berpendar hilang, meski tak sepenuhnya kuserahkan seluruh kepercayaan itu.

Rupanya tetap saja, aku belum berani berkomitmen kepada hatiku sendiri, sebesar komitmen yang pernah kulakukan pada cerita silam. Bukan berarti aku tak mempercayaimu, hanya aku tak percaya akan kekuatanku sendiri.

Sayang, menulislah di setiap kesempatanmu. Aku menyukainya. Kirimkanlah kepadaku. Hapuskan ketakutan-ketakutan ini. Boleh? Maukah kau? Apakah itu akan membebani dan mengganggumu?
Jika iya, lupakan saja permintaanku.

Aku baik saja ⚘

Hari ini di belakang jalanan fakultas peribadatan, di bawah pohon besar yang mengeluarkan bunyi serupa aliran air dan menggugurkan daun serupa butiran salju kecokelatan. Awan mendung sekali seperti hujan akan mengguyur, manusia berlalu-lalang menuju kesibukannya. Rupanya, kisah kita akan berjalan di pangkal musim penghujan.

Aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku bukanlah perempuan hebat seperti yang kau kira. Aku tak pandai melakukan apapun, jangankan pandai, bodoh saja mungkin aku tak punya. Namun di setiap kesempatan, aku tetap selalu berusaha mempelajari banyak hal agar tak mengecewakanmu. Setidaknya, jika aku tak mampu mengurangi beban-bebanmu, akan tidak menjadi beban itu sendiri. Aku bukan perempuan cerdas yang mampu melakukan banyak hal dengan cakap, aku tak pandai berkata-kata, namun aku tak pernah mau berdiam diri dalam segala kerendahan itu. Meski perlahan, aku selalu berusaha memperbaiki diri, berusaha agar kelak di hari-hari berikutnya jika memang Tuhan berkenan menyandingkan kita, aku tak melihat banyak semburat kekecewaan di matamu.

Maaf jika aku belum mampu mengendalikan segumpal darah dalam relungku itu, aku masih berusaha. Selalu, mengingat setiap katamu sebagai lapisan-lapisannya, sebagai perekat puzle-puzlenya. Maaf jika aku justru menjadi batu ganjalan dalam beberapa langkahmu, maafkan aku. Semoga di hari-hari ke depan aku tak melakukannya lagi, aku akan berusaha sebaik mungkin, mendewasakan diri.
_________

Maaf sayang, sepertinya memang sudah beberapa lama aku tidak menulis tentang getar-getar rasa ini. Kesibukan mulai berdatangan, kehidupan telah kembali normal kecuali kisahku denganmu yang tak pernah sama seperti sedia kala.

________________

Ada kisah tentang definisi keren di depan tong sampah silver pinggir jalan Malioboro. Juga halte Trans Jogja yang di dalamnya terparkir sepeda motor ditemani penjaga halte. Keduanya tertidur lelap berselimut dingin, menanti esok hari menjemput mengantarkan kepada tugas menjaga lalu-lalang bus kecil itu.

Ada cerita tentang oksigen yang dihirup banyak orang dan seorang bapak tua pengayuh becak yang melintas perlahan seperti slowmotion sinema-sinema di televisi.

Jadi, siapa diantara keduanya yang lebih keren? Oksigen atau si bapak tua?

Malam selepas membicarakan tentang teori-teori kehidupan, kita berdebat panjang. Kau tetap menjadi pengacara untuk oksigen dan aku terus berusaha memenangkan bapak tua pengayuh becak.

Namun rupanya mereka memiliki kelas yang berbeda hingga tak bisa disandingkan untuk dipertarungkan. Oksigen sebagai kelas primer yang memang telak dibutuhkan semua orang, si bapak pengayuh becak berada di kelas sekunder dengan seni hidupnya sendiri. Oksigen adalah materi yang ada namun tak ada, si bapak adalah materi yang ada dan ada. Bahkan keberadaan mereka di dunia terlampau jauh berjarak. Oksigen ada sejak manusia bahkan belum ada, bapak tua itu baru sekerjap mata saja menjejakkan kaki di bumi.

Definisi keren malam itu tak diketemukan, hanya argumen-argumen tentang oksigen dan bapak tua yang justru bertebaran.

Ah lupakan tentang keduanya, aku ingin melihat dari satu sudut lagi kisah malam itu. Bagaimana kau tertawa adalah hal yang terutama. Saat kau tak lagi menunjukkan wajah lelahmu adalah yang terbaik. Saat kita selangkah lagi sedikit lebih dekat adalah yang selalu kudamba. Karena hingga sejauh ini, aku belum mampu benar-benar melihatmu. Masih saja selembar kelambu hitam menutup dirimu dariku. Ingin aku menyingkapnya dan melihatmu secara utuh, mendengar kisahmu tanpa sepotongpun tertinggal.

Bisakah?

071918

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang