Dua Gelas Jahe

11 1 0
                                    

00.06

Saat ini kau duduk di depanku, sebelah kanan. Terbatuk. Ah, batukmu itu mengapa tak sembuh-sembuh?

Aku ingin mengajakmu pergi ke dokter, seperti engkau mengajakku juga pergi ke dokter, memastikan apa yang terjadi, tapi aku malu.

Malu.

Aku memang begini.

Entah bagaimana aku seringkali harus menemukan diriku malu di hadapanmu. Berbeda dengan aku kepada kebanyakan orang, tak punya malu.

Begitu.

Aku juga tak tau.

Kau begitu serius malam ini, membicarakan beberapa permasalahan yang tak kunjung usai. Anak-anak asuhmu itu, semakin kesini semakin tak tahu diri.

Mereka kembali keterlaluan.

Jeda.

Kita sama-sama asyik bermain gawai.

Aku menulis ini dan kau, entah, aku tak tau.

Sebenarnya aku selalu ingin tau, tapi aku merasa tak berhak. Aku malu. Siapa aku? Beraninya.

Maka kubiarkan engkau dan aku menyibukkan diri. Aku tak pernah seperti ini saat duduk ngopi dengan siapapun. Aku selalu mengasyikkan, aku tau itu. Aku selalu bisa memperpanjang obrolan.

Denganmu.

Berbeda.

Aku diam, entah sosok bagian mana dari dalam diriku yang keluar.

Kau batuk dan kau merokok. Cobalah berhenti agar kesehatanmu baik.

Begitu, aku ingin katakan setiap hari.

Lagi-lagi, aku malu.

Siapa aku?

Dan segala yang ingin kulakukan akan menembus batas kewajaran kita selama dua tahun sebagai teman. Kurasa akan sangat canggung dan aku enggan merasakannya.

Kenapa kita ada di garis-garis seperti ini?

Baru saja sekitar satu jam lalu, atau setengah jam, atau 45 menit, kita membahas hal-hal yang sebenarnya seringkali kita bahas.

Kehilangan.

Ketakutan.

Ketidakyakinan.

Mungkin begitu aku menafsirkannya. Entah bagaimana denganmu.

Malam-malam belakangan ini aku mengadu habis-habisan kepada Tuhan yang sebenarnya tengah kukhianati. Cintanya begitu besar, kau tau. Bahkan setelah aku berselingkuh denganmu, Ia tetap ada mendengarkan di sepertiga malam. Ia tetap ada menenangkan, menampung seluruh air mata.

Selain dirimu, aku mencintaiNya.

Meski aku hina. Seperti tak tau diri. Ah, aku juga malu padaNya.

Malam tadi ia katakan aku seperti keledai. Sebuah pepatah berkata, hanya keledai yang bisa jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Sepertinya aku sebodoh itu.

Keledai.

Aku si keledai yang pernah jatuh terpuruk bertahun-tahun setelah menggenggam sekepal kepercayaan bertahun-tahun pula.

Kala itu, aku setengah gila. Menyakitkan sekali. Aku hampir mati. Aku berkenalan dengan banyak makhluk, tanpa takut. Aku kehilangan akal sehat. Teman-temanku tak lagi manusia, aku tak percaya. Aku benci semua manusia.

Kemudian aku berdamai.

Dan hanya membenci semua laki-laki. Bertahun-tahun.

Sebelum kemudian aku benar-benar berdamai. Kembali menyapa hangat semua orang.

Satu hal.

Aku meletakkan perasaanku dalam berangkas yang kuncinya kubuang jauh ke lautan. Atau sandinya, kutekan sembari menutup mata.

Aku memutuskan untuk tidak mencintai lagi, siapapun.

Sebelum kau datang, membongkar paksa berangkasku. Menemukan kuncinya di salah satu kapal karam tengah lautan. Mengacak sandi hingga terbuka tanpa sengaja.

Ah. Menyebalkan.

Aku harus bagaimana?

Ingin sekali aku menolak, membawa lari apa-apa yang telah kau curi. Namun langkah terhenti. Aku kembali, selalu ingin di sisimu.

Maka kita lewati hari-hari dengan cerita berbeda dari biasanya. Setiap jengkal tubuhmu, seperti opium. Aku tak bisa kemanapun. Aku terjebak.

Kau suguhkan sekepal kepercayaan. Mengingatkanku kepada masa lalu yang kelam, selalu.

Aku ketakutan.

Selalu.

Apa kau benar memberikan kepercayaan ini tanpa akan kau hancurkan sendiri suatu saat nanti?

Atau aku akan merasakan sakit yang sama. Kegelapan. Keterpurukan. Kenistaan. Air mata. Luka.

Jika iya.

Maka kali ini akan sangat menakutkan. Pasti.

Mungkin aku akan pergi jauh dari bumi, berusaha melupakan sakitnya.

Ah.

Menakutkan.

Aku menceritakan ketakutan ini padamu. Apa kau percaya? Aku benar-benar takut.

Kau lihat air mataku menetes tadi?

Aku memang sering menangis. Hatiku begitu rapuh setelah pernah hancur dan kurangkai kembali.

Aku ingin katakan, melalui air mata itu bahwa aku sangat ketakutan.

Aku tak pernah pandai berkata-kata dengan lisan. Maka aku sampaikan melalui air mata.

Aku sampaikan.

Malam ini.

Malam takbir Id Adha di Yogyakarta, Ngentaksapen.

Aku ketakutan.

Aku takut.
Kehilangan.
Fay.
Dirimu.
Fay.

Mari pulang dan melepas rindu, sayang.

00.44

⚘220818

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang