Sebelum 3142 Mdpl

10 2 0
                                    

Suhu sangat dingin kala itu. Jemari membeku, bibir kaku dan belulang tak mampu banyak beranjak. Tanpa ampun angin dingin berhembus merasuki pori-pori, mengikuti aliran darah, menyisir setiap jengkal tulang, memastikan semuanya rata mendapat dingin.

Semburat sore menghias langit barat, indah sekali tampaknya. Bersenja dengan tenang di atas awan-awan kekuningan dan bunga Edelweis yang mekar putih. Meski harus bergemigil di balik jaket tebal, keindahan sebelum puncak tertinggi menggoda agar hari segera larut. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju klimaks keindahan, puncak 3142 Mdpl.

Siluet tubuhmu kala itu, aku benar mengingatnya dengan baik. Berdiri tegap diantara deru angin yang tak kenal kehidupan. Menggoda tubuhmu untuk bermanja dalam hangat, namun kau bergeming. Gerakan demi gerakan ritual ibadah itu kau lakukan tanpa peduli dingin. Rukuk, sujud, dan dudukmu kuperhatikan dari depan tenda yang bergoyang oleh angin.

Sempurna, kau tau.

Dingin ini, senja, dan gerak ibadahamu yang kukuh. Aku memujanya dalam bingkai ingatanku sendiri.

Sabana dua, Merbabu.

Ada banyak sekali manusia berkeliaran. Mereka bilang, ingin melihat keindahan ciptaan Tuhan, mensyukuri nikmat. Agar tak lupa akan apa yang telah Tuhan berikan diantara kehidupan. Melihat awan berada di kakimu akan mampu melepas penat dan segala kerancuan hidup. Begitu kira-kira mereka berpikir hingga bersusah payah menyentuh dingin dan ketinggian.

Namun beberapa hal mereka telah nafikkan. Tuhan tak perlu dikagumi dengan cara seperti itu, terutama jika ibadah yang seharusnya lebih utama dari apapun kau tinggalkan demi menikmati keberadaan Tuhan dengan cara lain. Ah, aku tak mengerti.

Kau tau mengapa aku seringkali melirik prosa hidup yang kau kerjakan?

Dalam dirimu, seburuk apapun, kau selalu sematkan keberadaan Tuhan. Seburuk apapun, kau selipkan ayat demi ayat yang kudengar merdunya. Sesibuk apapun, kau sisihkan waktu untuk menghadap pusat semesta. Aku tak menemukannya dalam sosok manapun, hanya padamu.

Atau mungkin aku kurang melebarkan penglihatan? Aku tak pernah tau. Namun Tuhan menghendakiku melihat kearahmu. Selalu kearahmu, semoga.

Senja menyingsing hilang, tenggelam di kaki ketinggian. Gelap merayap perlahan tanpa lupa mengundang hawa dingin, lebih dingin dari sebelumnya. Malam itu setengah mati kita berusaha menyalakan bara api. Mengharap ada sedikit kehangatan untuk tubuh yang mulai menggigil membiru.

Sekali lagi aku melihatmu dengan segala tekad dan keuletan itu. Bagaimana bisa kau miliki keyakinan atas apapun berskala tinggi? Aku mengaguminya karena aku tak punya.

Dengan gerak tubuhku yang lambat, aku membantumu menyalakan api. Tak banyak berguna tentu, namun aku berharap kau menghargai segala usahaku nan lemah. Hingga bara itu menyala, aku masih melihatmu menguntai kata-kata pemujaan atas dirimu sendiri. Memuakkan nan menggemaskan mendengarnya.

Padam.

Tersisa lepuh abu yang segera membeku oleh angin dingin, menjadi gumpalan tanah basah.

Gemerisik suara tenda menggoda untuk kami segera masuk, menghangatkan diri, terlelap.

Barisan empat sekawan. Aku berbaring tepat di sampingmu. Tak ada hal aneh yang kupikirkan. Saat itu hanya ingin segera terlelap hingga mentari esok hadir mengubah dingin menjadi sedikit kehangatan.

Namun malam-malam berubah. Mentari kalah cepat. Kehangatan itu, tiba sebelum waktunya.

Bagaimana aku akan menolak? Sementara bibirku membeku.

Bagaimana aku akan bergerak cepat untuk menjauh? Sementara belulangku ngilu.

Bagaimana aku akan marah? Sementara aku terus saja melihatmu dari kejauhan, selalu mengharap kau datang membawa sebuket kisahmu.

Namun malam itu.
Sepertinya kita telah menumbuhkan candu.

Tak syahdu memang.
Untuk kali pertama, rasaku kembali dihidupkan setelah kubunuh sekian tahun silam.

Untuk kali pertama.
Kau curi helaan nafasku.

Tepat sebelum 3142 Mdpl.
Di dalam tenda, tanpa sengaja.

🍁220818

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang