Sasuke tersenyum tulus, memandang wajah Sakura dengan raut paling sempurna yang pernah Uchiha satu itu tunjukkan. Orang bilang, saat tertidur adalah saat dimana kau akan menunjukkan wajah paling jujur, dan tulus.
Sekarang, Sasuke mendapatkannya.
Gadis Haruno itu, dalam posisi tertidur seperti ini, tampak begitu manis, cantik, dan polos. Tak ada taut terluka yang memancar dari matanya, atau emerald yang bercucuran karena kekecewaan akan sikap Sasuke yang selalu menyakitinya. Sakura terlelap begitu tenang, tanpa beban, seolah-olah kini ia tengah dikelilingi kebahagiaan walau munhkin hanya dalam dunianya sendiri.
Sasuke mendesah, duduk disamping Sakura, meletakkan kepala gadis itu kedalam bahunya yang lebar, lantas Sasuke turut memejamkan mata, menindih kepala Sakura dengan kepalanya sendiri.
Dan, lagi-lagi, Sasuke menyesal.
Sakura tak ada sangkut pautnya dengan masalah masa lalunya dengan Sasori. Mungkin, Gaara benar. Seharusnya Sasuke menghadapi Sasori, bukan bertindak pengecut dengan melukai hati Sakura.
Dahulu, Sasuke bukan hanya bersahabat dengan Gaara, melainkan juga dengan Sasori, dan seorang gadis cantik berambut coklat, Kazekage Matsuri. Persahabatan mereka dibangun sejak Sasuke duduk dibangku Junior High School, dan semuanya berlangsung sempurna dan baik-baik saja.
Hingga Sasuke menyadari satu hal, ia menyukai Matsuri lebih dari sahabat. Ia mencintai gadis itu, yang menyakitkan karena Matsuri menolak Sasuke, karena gadis itu justru mencintai Sasori. Mulanya, Sasuke berfikir mungkin ia bisa melepas Matsuri kalau dengan itu satu-satunya gadis yang ia cintai akan mendapat kebahagiaannya.
Sayangnya, Sasori yang memilih persahabatan diantara mereka tidak mau menerima Matsuri, dan dimalam yang sama, Matsuri yang berfikir dangkal memilih berusaha melupakan Sasori dengan pergi ke-pub, dan pulang dengan mobilnya secara ugal-ugalan. Naas, gadis itu kecelakaan. Dan meninggal menyisakan kepedihan pada diri Sasuke, serta tumbuhnya kebencian si Uchiha pada Sasori.
Kematian Matsuri juga merusak persahabatn mereka. Dan Sasuke, berfikir akan membalas kematian Matsuri saat tahu kalau Haruno Sakura, adik Sasori, menyukainya. Dalam kepala Sasuke, jika ia menyakiti Sakura dengan begitu hebatnya, dendamnya sempurna terbalas.
Tapi, Sasuke salah.
Sasuke tak mempertimbangkan, kalau akhirnya ia juga jatuh dalam pesona Sakura. Ia, tanpa sadar-, mulai jatuh cinta kepada Sakura.
Tegakah ia menyakiti orang yang ia sayangi hanya untuk sebuah dendam yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan Sakura?
Sasuke menghela nafas, menatap langit biru yang membentang diatas kepalanya. Merasakan dadanya nyeri, dan bersalah. Sebuah pertanyaan sentimentil kini mengacaukan logikanya.
Sekuat apalagi Sasuke harus menyakitinya?
Sasuke tidak bisa menjamin semuanya, bahkan saat ia merasakan kepala dibawahmya bergerak-gerak, sebelum terlonjak dan menatapnya ketakutan.
.
.
❄❄❄
.
.
Sakura menguap, berfikir ia sudah lama tertidur ditribun saat terasa kepalanya begiti berat. Ketika ia membuka mata, gadis itu terlonjak menatap tubuh jangkung tempat sandarannya tertidur.
Sasuke.
Uchiha Sasuke!
"Gomen." Sakura menatap Sasuke ketakutan, menggeser duduknya hingga jarak diantara mereka menebal "Gomen, Sasuke-san."
"Sasuke-kun."
"Eh?" Sakura menatap bingung Sasuke, melihat pendar kehangatan yang jarang dari mata Sasuke "Sasuke-kun?"
"Hn."
Lekas Sakura menundukkan wajahnya saat paham Sasuke memintanya memanggil dengan embel-embel 'kun'. Merasa kikuk dan atmosfer canggung mengambang kentara diantara mereka, Sakura membacakan daftar soal yang ia buat, mencatat apapun yang keluar dari mulut Sasuke tanpa membantah.
Setelah selesai, Sakura beranjak bangun, menundukkan tubuhnya dalam-dalam "Arigatou, Sasuke-kun. Kalau tak ada kau, mungkin Tsunade-sama akan menghukumku."
Sasuke diam saja, tak membalas. Sadar Sasuke tak berniat basa-basi apapun padanya, Sakura berbalik dan hendak menuruni tribun saat suara pemuda itu menyela.
"Mau kemana?"
"Ano, keruang Tsunade-sama, Sasuke-kun." Sakura tersenyum tipis, diam menunggu balasan Sasuke. Pemuda raven itu bangkit, hanya berjalan melewati Sakura bahkan tanpa meliriknya lalu menuruni tribun lapangan basket. Ditempatnya, Sakura menahan nafas kecewa.
Memangnya apa lagi yang diharapkan Sakura? Bukankah selama ini Sasuke selalu begitu padanya?
Tapi Sakura tidak tahu, kalau dihati Sasuke sedang ada perubahan warna besar-besaran.
.
.
❄❄❄
.
.
Sakura berjalan menyusuri koridor sekolah sambil bersenandung setelah keluar dari ruang Tsunade-sama. Gadis Haruno itu mengwlap peluh didahinya, setelah baru saja mendengar rentetan nasihat dari si guru gemuk yang menyebalkan baginya.
Langkah Sakura terhenti digerbang sekolah, lalu menatap langit. Mendung, ditemani awan kumolonimbus yang bergulungan dengan anggun. Sakura mengernyit, merentangkan tangannya didepan dada, merasakan gerimis kecil-kecil.
"Huh, padahalkan tadi cerah!" Tak sadar, Sakura menggerutu. Berfikir ia bisa cepat sampai rumah sebelum hujan deras, Sakura nekat menerobos. Baru setengah jalan, langit bocor dan menderas. Kilat menyambar nyambar disertai guruh yang menggelegar.
Terlanjur basah, Sakura tetap berjalan dibawah hujan. Tapi gadis itu menyerah saat merasakan dingin sudah menyelundup dalam pori-pori kulitnya. Ia menepi, jongkok dibawah naungan kedai kopi sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Air menetes lembut dari seragam dan rambut merah jambu Sakura.
"Dingin?"
Sakura menoleh saat mendengar suara dari kanannya, hampir mati kaget melihat Sasuke berdiri menjulang disampingnya. Tak memberi kesempatan Sakura bicara, Sasuke turut jongkok disamping Sakura, lantas menyampirkan jaket hitam kearah mereka berdua, hingga Sakura dan Sasuke tenggelam dalam himpitan kain besar itu.
Sakura terhenyak kaget saat tangan Sasuke merengkuh bahunya, dengan sukarela berbagi kehangatan. Gadis itu bersitatap dengan onyx Sasuke.
"Sasuke-kun, kenapa?" Sakura heran dengan perubahan sikap Sasuke. Apa jangan-jangan pemuda itu tengah mempermainkannya sekarang?
Sasuke diam, tidak menjawab dan memilih memandang hujan yang turun dengan deras. Meresapi aroma tanah yang menyegarkan dengan Sakura disampingnya.
Dan Sasuke, ingin sekali ini saja, menjadi egois. Memiliki sesuatu yang benar-benar ia sukai.
Walau itu berarti harus kehilangan logika dan prioritasnya.
.
.
❄❄❄