"Kau buta."
Hening. Hanya ada tarikan nafasku yang mengalun pelan, seolah-olah sedang berusaha menanggapi banyolan aniki-ku tersebut.
"Oniichan.." kataku, dan entah mengapa suaraku menjadi serak, "Oniichan ini tak lucu. Aku.. aku takut gelap, oniichan. Tolong nyalakan lampunya!"
Tapi aku tak mendengar jawaban. Hanya tarikan lembut seseorang dengan kepalaku merajuk kedalam dekapannya. Aroma musk yang kental, yang sebelum-sebelum ini mampu membuatku berasa lebih aman dari segala tempat didalam dunia ini.
Seseorang dengan mata hitam yang selalu tajam memandang dengan kelembutan. Yang memiliki bahu kokoh dan dada yang bidang yang selalu menawarkan rasa aman kepadaku. Tangan yang besar dan hangat, yang selalu setia menangkup pipiku, menyeretnya untuk menghapus segala air mata.
Kepala-ku berputar-putar saat sekelebat memori tentang dia hadir menemani kegelapan. Aku tahu Sasuke ada disini. Aku tahu Sasuke didekatku, memelukku seolah-olah mengatakan semua baik-baik saja. Aku tak bisa melihat kehadirannya. Tak bisa menatap wajahnya yang tenang dan membuatku bahagia.
Aku hanya melihat gelap.
"Tidak!! Tidak mungkin!!" Aku meraung-raung, merasakan infus dalam tanganku terlepas dan menyisakan perih. Aku tak peduli. Oh, bagaimana aku bisa peduli jika melihatnya sajapun aku tak kuasa?
Sasuke memelukku erat, yang masih sibuk meronta-ronta. Aku ingin berjalan kearah manapun, siapa tahu hal itu bisa mengantarku ketempat yang luas dan bermandikan cahaya matahari. Dimana aku bisa mendongak dan menatap langit biru yang bersih, ditemani jutaan partikel air yang menyatu secara kimiawi menjadi awan.
"Tidak!!" aku meraung, kutepis tanganku kearah mana saja, dan kurasakan punggung tanganku menabrak vas, yang sepertinya langsung hancur terjatuh karena kudengar suara prang yang keras.
"Pergi!!" Aku melompat dari kasurku, yang langsung dihujami rasa pusing dikepala, "Pergi!! Aku ingin sendiri!! Pergi!!"
"Sakura.."
"Pergi!!" Aku meronta-ronta kesegala arah. Nafasku memburu saat kurasa Sasuke sudah tak ada disekitarku. Dengan kalap aku berusaha menjangkau-jangkau udara, hingga aku menemukan sebuah kursi, kujatuhkan diriku dilantai. Menangis hebat disana.
Sekelilingku hening. Hanya terdengar suara nafas dan tangisku sendiri, serta sayup-sayup derai tabung oksigen. Baguslah, aku sendirian.
Sekarang semua orang pergi, seperti cahaya yang tak akan pernah mampu kulihat lagi.
.
.
❄❄❄
.
.
Sasuke's Point of View
.
Aku tergugu, serasa bumiku meluruh saat melihat Sakura duduk didekat kursi sambil menangis.
Aku ingin menjangkaunya, menariknya kedalam pelukanku yang hangat dan mengatakan kata-kata penghiburan. Menyatakan kepada Sakura kalau semua akan baik-baik saja. Ia tak perlu takut menghadapi gelap, karena aku akan selalu ada disisinya.
Tapi Sasori menarikku supaya menjauh dahulu, agar Sakura mampu menenangkan dirinya yang panik. Supaya ia bisa berdamai dulu dengan keadaan.
Aku menghela nafas, saat melihat Sakura mulai tenang. Ia sudah tak menangis lagi, sementara sekarang sedang susah payah bangun dan menjangkau-jangkau udara untuk kembali keatas tempat tidurnya. Sasori yang sedari tadi berdiri dipojok ruangan lantas menghela nafas, berniat membantu Sakura tapi aku mendahuluinya.
Aku memapah Sakura, dan untungnya ia tidak menolak. Gadis itu diam saja saat sudah duduk diatas bankar.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku hati-hati. Sakura tersenyum, dan kurasakan hatiku remuk saat ia tersenyum kearah lain karena tak melihat keberadaanku.
Rasanya aku rela menjadi penuntun hidupnya selama-lamanya.
"Istirahatlah.." kudorong lembut bahunya supaya Sakura tertidur, tapi ia menolak.
Suaranya dingin dan kering. Begitu layu, "Apakah ada bedanya aku tidur atau tidak? Semuanya gelap. Apa gunanya?"
"Sakura.."
"Apakah ada gunanya aku memejamkan atau membuka mata?" Ia tertawa sarkastik, "Semuanya hitam. Adakah ide lebih baik daripada kau menyuruhku istirahat, Sasuke-kun?"
"Sakura.."
"Jadi apa aku masih punya kesempatan?" Sakura mulai menangis lagi, "Atau aku harus pasrah kalau sekarang hal yang kulihat sampai mati hanya ini-ini saja? Gelap. Menyeramkan. Untunglah aku tidak mengidap Lygophobia* parah."
"Sakura.." aku meletakkan jariku dibibir merah mudanya saat Sakura hendak menginterupsi lagi, "Apa yang harus kau lakukan supaya kau merasa lebih baik."
Wajah Sakura mengeras, ia menatap lurus kedepan walau kuyakini hanya gelap dimatanya, "Kau harus.."
Sakura diam sebentar, tampak ragu. Dan aju menunggu tanpa niat menyela.
"Kau harus pergi dariku. Karena aku sudah tak mau melihatmu." jawabnya lugas. "Ah, aku bukannya tak mau, aku tak bisa."
"Sakura, jangan begitu." kataku. "Aku tak bisa hidup tanpamu.."
"Kau kan bisa bersama Karin."
"Sakura.."
Sakura diam saja, tak mau mendengarku. "Kau serius?"
"Ya."
"Kalau begitu," aku memajukan muka, mengecup dahinya lama dan dalam, "Aku akan pergi darimu."
.
.
❄❄❄
.
.
Author's Point of View
.
"SAKURA!!"
"Sakura-chan, bagaimana kabarmu?"
"Saku-chan, aku bawakan ramen lho!"
"Sakura, kau tak apa?"
Sakura menoleh kearah suara dengan datar. Membuat Ino, Hinata, Naruto, dan Sai berhenti melangkah, tampak bingung demgan raut wajah si Haruno itu.
Sasori yang sedang duduk disamping Sakura berdeham, dengan isyarat menunjuk matanya sendiri, membuat keempat anak muda itu terhenyak kaget saat tahu apa maksudnya.
"Saku-chan?" Naruto berjalan mendekat, melambai-lambaikan tangan didepan wajah Sakura yang hanya membatu. "Sakura-chan, ini aku.."
"Sakura!!" Ino meraba Sakura, membuat Sakura yang memang bingung menyadari kehadiran sahabat-sahabatnya yang berniat menjenguk tersentak, lantas tersenyum lebar.
"Iya, apa kabar?"
"Sakura-chan, kami disisi kananmu. Mengapa Sakura-chan tersenyum kearah kiri?" Hinata bertanya polos yang langsung disusul lenguhan karena dijitak Ino.
"Ah, gomen." Sakura menelengkan kepalanya yang terletak diatas bantal, "Aku sekarang sudah tidak seperti dulu.."
"Yah, padahal kan aku mau lihat Sakura-chan makan ramenku," Naruto mengeluh.
"Nanti kumakan kok." jawab Sakura, ia tersenyum lagi. Walau tentu saja dalam kepala Sakura ia sedang tersenyum.kearah kegelapan.
"Sakura, kau tak apa-apa?" Keheningan dipecah oleh suara penuh kekhawatiran Sai, "Dimana Sasuke."
Hening. Sasori menghela nafas.
"Jangan sebut dia lagi." Sakura mendengus, "Lupakan."
Lantas, hening menggagap lagi. Tidak terlalu nyaman, hingga seorang dokter berperut buncit masuk dan hendak memeriksa Sakura.
Saat sang dokter sedang mengecek rekam medik, Sai memilih keluar. Dan ia mendapati Sasuke duduk terpekur didepan ruang tunggu. Wajahnya pucat dan tampak kacau.
"Sedang apa kau?"
Sasuke menoleh, membuang nafas, "Menyalahkan diri sendiri."
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Ini kecelakaan." Mendadak kebencian Sai menguap entah kemana saat melihat raut frustasi bercampur penyesalan diwajah Sasuke, "Lebih baik kau masuk dan temani dia. Sakura pasti ingin sekali kau berada disampingnya."
"Dia tak ingin aku berada didekatnya." Suara Sasuke hampir mau menangis.
"Dan kau menyerah?"
"Tentu saja tidak!" Sasuke menatap Sai, "Kalau aku tak bisa didekatnya, aku akan menjadikan diriku jalan untuk Sakura bisa melihat lagi."
Sai menaikkan alis bingung, "Maksudmu?"
"Aku akan mendonorkan mataku."
.
.
❄❄❄