Secret 02 - PMS

751 75 5
                                    

Pembaca yang baik hati dan tidak sombong. Sudahkah kalian follow aku? 🙊

Happy reading 😍

****

"Lu ngapain aja sih, Bal. Lama banget!"

Belum kelar mesin motor gue berhenti, tapi semprotan udah menyapa gue. Keren banget kan jodoh gue yang satu ini.

"Lu kaya nggak tau Jakarta aja deh. Macet di mana-mana," bela gue.

"Kalau lu udah tau Jakarta macet, kenapa lu mesti mandi? Biasa juga nggak doyan mandi."

Sabar. Orang sabar pantatnya lebar. Kagak! Pantat gue tepos kalau kalian mau tau. Meski tepos, tapi pantat gue enak kalau diremas. Aah! Kagak boleh mesum, masih siang.

Gue tau, ini cewek pasti lagi badmood. Keliatan garang banget, macan aja kalah sama Anjani. Jadi percuma gue ladenin yang ada malahan tambah panjang. Jadi cukup dengerin aja, biar jantung gue tetep sehat dan panjang umur.

"Terus ini mau ke kampus atau mau marah-marah?"

"Ke kampus lah ...."

Wajah sebel Anjani itu kadang bikin gue gemes. Gemes pengen nyaplok!

"Kalau gitu lu naik sekarang dan jangan lupa tutup mulut manis lu sebelum gue cium," goda gue yang langsung dibalas dengan pukulan maut. Lebih tepatnya gue dipukul pake helm.

Jahat, bukan? Tapi gue sayang, mau gimana coba?

"Ayo buruan. Udah telat ini."

"Siap Kanjeng Putri," ejek gue, dan kembali dapat hadiah pukulan di kepala.

"Lu belum jadi istri gue udah KDRT ya, An. Ngenes banget nasib gue kalau jadi suami lu," teriak gue.

Angin sialan! Kalau pita suara gue rusak karena teriak-teriak awas aja.

"Siapa juga yang mau jadi istri lu?" teriak Anjani.

Lama-lama gue sama Anjani itu mirip manusia hutan. Suka banget teriak.

"Bal," teriak Anjani.

Gue lihat dari kaca spion Anjani lagi meringis macam orang nahan boker. Jangan-jangan ini cewek mau boker lagi. Aduh. Mana nggak ada toilet. Di jalan ini, coy.

"Kenapa? Lu mau boker? Tahan dulu, pom bensin masih jauh, An."

"Sa-sakit, Bal," rintih Anjani.

Sialan! Anjani bukan mau boker tapi dia lagi nahan sakit. Mendengar rintihan dia, gue jadi panik.

Menepikan motor, gue coba menoleh ke belakang, memastikan Anjani baik-baik saja. Lain sama yang gue bayangin, wajah Anjani terlihat pucat seperti orang kekurangan darah.

Jangan sekarang tolong .... Gue paling benci kalau Anjani jalan-jalan. Jalan-jalan yang gue maksud di sini bukan pergi secara nyata, melain ruh atau jiwa Anjani yang berkelana. Cewek gue yang satu ini memang punya kelebihan itu dan gue selalu nggak bisa lepasin pandangan gue dari dia.

"An, lu kenapa? Kok muka lu pucat?" tanya gue panik.

"C-cari apotek, Bal. Gue nggak kuat," rintih Anjani.

Kembali menjalankan sepeda motor kesayangan, gue mencoba mencari apotek terdekat. Melihat Anjani meringis kesakitan bikin gue ikut sakit.

Gue menggenggam tangan Anjani erat. Mencoba menyalurkan kekuatan sebisa gue untuk mengurangi sakit yang diderita Anjani. Sementara itu, Anjani hanya menyandarkan kepalanya pada punggung gue.

Sabar, Sayang ....

Setelah menempuh waktu kurang lebih 10 menit akhirnya gue menemukan neon box yang bertulisan K24.

"Tahan ya, itu apoteknya udah keliatan."

Memarkirkan motor di depan apotek, gue membantu Anjani turun.

"Duduk di sini aja biar gue yang belikan obat," tawar gue yang dibalas gelengan sama Anjani.

"Nggak usah, Bal, biar gue aja."

"Tapi lu pucet banget, gue takut lu pingsan entar," kata gue cemas.

Gimana nggak cemas, muka Anjani udah pucet banget. Udah gitu keringet dingin terlihat membasahi kening Anjani.

"Emang lu tau gue kenapa?" tanya Anjani.

Ya jelas gue tau dia kenapa, "Lu sakit perut kan?"

"Gue emang sakit perut, tapi penyakit gue langka," ujar Anjani.

"Langka?"

Emang ada gitu penyakit langka? Dia kira bunga pakai acara langka segala.

"Lu nggak usah toa deh, Bal. Bikin malu aja!"

Gue aja nggak sadar kalau suara gue udah macam toa. "Kalau sakit lu parah, mending sekarang kita ke rumah sakit!"

Gue nggak ngerti ini cewek satu maunya apa. Lebih baik gue bawa Anjani ke rumah sakit.

Tanpa menunggu lama, gue langsung menarik tangan Anjani.

"Isshh ... lu tuh ya, berhenti nggak!" Anjani memberontak. Mencoba menahan tangan gue yang menariknya pelan. "Langka yang gue maksud itu, penyakit ini itu cuma diderita oleh kaum cewek. Cowok mah kagak!"

HUH? Maksud dia apa coba?

"Udah deh, An, nggak usah muter-muter. Lu itu butuh diobatin. Sekarang lu bilang lu sakit apa, biar gue belikan obatnya," kata gue nggak sabar.

"Gue sakit haid, puas?!" teriak Anjani. Dia mungkin sama frustrasinya kaya gue.

"A-apa ... haid?"

Tidak hanya kaget. Gue juga macam orang bego dengan mulut menganga karena syok.

"Lu lagi haid?" tanya gue memastikan.

Anjani mengangguk sebagai jawaban. Ada rasa lega, meski gue masih panik. Anjani bukan mau jalan-jalan, tapi penyakit bulanan dia lagi kumat.

PMS kampret!

Kenapa itu penyakit suka banget datang kaya jelangkung. Dan .... Kenapa gue selalu terjebak sama Anjani dalam kondisi seperti ini? Keliatan banget kan dia lagi cari tumbal. Sialan emang ini cewek satu.

"Beliin gue obat pereda nyeri, Bal. Buruan!"

"Iya, iya. PMS sialan! Habis deh hidup gue jadi tumbal. Kampret!"

"Udah buruan. Nggak usah pake ngumpat. Sakit ini!"

"Iya, Kanjeng Putri. Hamba siap laksanakan perintah."

To be continue.

Forbidden SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang