Secret 19 - Hutang yang harus dibayar lunas

260 37 9
                                    

Hay guys.

Sorry baru update, baru kelar kerjaan. Hampir aja lupa. hiks 😅

Pas banget moment di malam jumaat kliwon. Jangan lupa berdoa 😌

Happy Reading 😀😀

Bang Karto meminta gue duduk bersila membelakanginya. Selain berprofesi sebagai tukang bubur, tapi Bang Karto juga bisa memijat. Hanya saja, itu kerjaan sambilan.

"Lemesin badan lu, Bal."

Jari tangan kanan Bang Karto menekan tulang rusuk gue, dengan gerakan menarik ke atas. Tersengat. Itu yang gue rasakan di sekujur tubuh. Seakan ada muatan listrik dalam jemari Bang Karto.

Napas gue sedikit tersengal, ketika gerakan Bang Karto menarik leher gue ke atas sampai ke dagu. Tekanan itu makin keras hingga gue kesulitan untuk bernapas. Setelah itu, yang gue rasakan hanya gelap.

Tes ....

Tes ....

Tes ....

Suara tetesan air menyadarkan gue. Kepala gue terasa berat, seakan dijatuhi banyak karung beras. Sedikit mengerjap, gue mencoba menyesuaikan dengan pandangan yang ada di sekitar.

Gue ada di mana?

Aroma anyir campuran dengan besi karatan tercium di hidung gue. Darah. Tetesan yang gue dengar tadi bukan tetesan air, melainkan darah. Banyak darah menggenang di lantai yang gue pijak. Mengangkat kaki, warna merah menutupi telapak kaki gue.

Gue mencoba berjalan di antara lorong panjang. Gue berada di sebuah gua dengan lorong panjang dengan genangan darah di sepanjang jalan. Bersama keraguan disertai rasa cemas, gue berjalan dengan langkah pelan.

Pernah Bang Karto mengatakan bahwa orang yang sensitif indranya bisa terluka jika di alam mimpi kita terluka. Sudah sewajarnya gue berhati-hati kalau bermain di alam lain. Baik di alam mimpi atau dimensi lain.

Mengikuti lorong yang cukup panjang dan melelahkan, gue sampai di persimpangan. Gue memilih lorong kanan yang memiliki sedikit berkas cahaya.

Mungkin saja itu cahaya rembulan. Gue mencoba bertanya dalam hati.

Suara jerit kesakitan terdengar memilukan menyambut, ketika langkah gue berhasil menapak pada jalan keluar.

Aroma busuk tercium pekat di hidung gue.

Sebenarnya tempat apa yang gue kunjungi?

Hingga sebuah tangan melempar sesuatu ke arah gue.

Sedikit terkejut. Gue mendekati sosok yang terlempar ke arah gue.

Kenapa gue bilang sosok, karena yang dilempar ke gue itu memang sosok manusia. Akan tetapi bukan manusia seutuhnya, melainkan hanya tulang berbalut daging tanpa kulit.

Ketika gue hendak meraih, sosok yang tadinya tertelungkup, bergerak membalik.

Ya Tuhan ....

Gue jatuh terjungkal ke arah belakang saat mengenali sosok tersebut.

"K-kakek ...."

Gue berteriak kala satu sosok lagi di lempar ke gue.

"Mbah Ti!"

Mbah Ti itu adalah Kakak Perempuan dari Kakek gue.

Gue bisa merasakan gemetar di kedua tangan.

Gue bangkit berdiri. Di saat gue hendak mendekati keduanya, sesosok makhluk hitam mendekati gue.

Tanpa menunggu lama, gue langsung berbalik dan lari.

Ya Allah ....

Ya Allah ....

Ya Allah ....

Tolong Iqbal, Ya Allah ....

Gue hanya bisa berdoa sembari menangis. Seribu kali gue bertanya dalam hati tentang apa yang terjadi dalam hidup gue. Gue masih saja belum mengerti. 

Apa ini?

Kenapa bisa seperti ini?

Apa yang salah?

Apa yang terjadi dengan keluarga gue?

Sosok di belakang gue masih saja mengejar gue. Hingga gue sampai pada jalan panjang tanpa batas.

Di mana ini?

Ketika gue menoleh ke belakang, sosok yang gue cari sudah pergi. Akan tetapi, baru dua langkah gue berjalan, ada sosok lain mendatangi gue.

Kali ini seorang pemuda. Bisa dibilang cukup tampan, meski gue lebih tampan.

Sosok itu berjalan mendekati gue. Sementara gue hanya terdiam ketika pemuda itu berdiri di hadapan gue.

Tiba-tiba pemuda itu berkata, "Ini adalah jalan takdir."

"Di mana yang namanya hutang, wajib dibayar lunas."

Belum sempat gue menjawab pernyataan pemuda itu, atau sekadar menanyakan siapa dia. Gue sudah tertarik kembali ke alam nyata.

"Istigfar, Bal."

Suara Bang Karto terdengar begitu gue membuka mata.

Bergerak dengan sangat pelan, karena badan gue rasanya sakit semua.

"Ini minum."

Gue menerima air putih yang diberikan Bang Karto dalam gelas. Rasanya menenangkan ketika air itu tertelan.

"Gimana?" tanya Bang Karto.

"Mengerikan, Bang."

"Apa aja yang lu liat, Bal?"

"K-kakek," lirih gue.

"Selain itu?"

"Mbah Ti."

"Jadi lu nangis karena itu?"

"Lu liat gue nangis, Bang?"

"Salah satu sukma lu lari sambil nangis."

Gue hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Bang Karto. Manusia memang memiliki beberapa sukma. Dari yang gue tau, sukma atau ruh emang terdapat dalam tubuh manusia. Tetapi, berapa yang kita miliki, itu bukan menjadi urusan kita sebagai manusia. Karena ruh atau sukma adalah milik Allah dan manusia hanya sedikit mengerti tentang hal itu.

Berbeda dengan orang yang mendapat keistimewaan ilmu penglihatan atas apa yang Allah berikan.

"Gue tadi sampai di jalan panjang, Bang."

Gue menatap Bang Karto sejenak. Dia menatap gue dengan tatapan yang gue artikan sebagai belas kasih.

"Jangan kasihani gue, Bang. Gue nggak pa pa."

Bang Karto berdeham. "Maafin Abang kalau lu ke ganggu. Gue hanya perihatin aja liat kondisi lu, Bal."

"Gue nggak pa pa, Bang."

Bang Karto mengangguk. Mengerti.

"Terus, ada apa di jalan panjang itu?"

"Katanya itu jalan takdir."

"Kata siapa?"

"Gue didatangi sosok pemuda, Bang. Dia bilang itu jalan takdir. Dan dia juga bilang bahwa yang namanya hutang, wajib dibayar lunas."

"Dibayar lunas?" tanya Bang Karto lagi.

"Iya, Bang. Harus dibayar lunas?"

Apa mungkin?

Nggak!

Gue berharap yang ada dalam pikiran gue nggak akan terjadi. Baik dalam hidup gue ataupun kekuarga gue.

To be continue.



Forbidden SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang