Terjebak di Kampung Setan

2.5K 119 8
                                    

Mereka terus berlari tanpa henti. Setelah yakin mereka telah jauh dari warung dan setan itu tidak mengejarnya, Kiki mengajak Bayu untuk berhenti. Terengah-engah, nafas Kiki tidak beraturan, jantungnya seperti mau pecah. Saking ketakutannya, Kiki lupa kakinya sedang kesakitan hebat.

“Kayanya kita sudah selamat dari setan itu Bay, kita jalan aja ke Kampung itu ya?” tunjuk Kiki ke arah cahaya yang semakin dekat jaraknya dengan mereka.

Bayu mengangguk dan mereka kembali berjalan.

Memasuki perkampungan, Kiki tidak melihat banyak rumah di sana.  Semua rumahnya terlihat tua dan reyot. Gentengnya sudah banyak yang pecah. Begitupula dengan pagar-pagarnya, sudah banyak yang rapuh dan patah sebagian.

Dan yang paling menarik perhatian Kiki, semua jendela yang ada di rumah itu ditutupi palang kayu yang dipaku silang. Bukan kaca jendela atau terali seperti rumah-rumah lain pada umumnya.

“Ngolek sopo Le?”

Sebuah sapaan membuat Kiki terlonjak.

“Duh Mbah ini bikin saya takut aja deh.”

Seorang nenek dari balik punggung Kiki sedang menatapnya. Kiki berusaha meredam ketakutannya ketika menyadari orang yang menyapanya benar manusia. Kiki mengamati dengan cermat penampilan orang yang menyapanya. Warna kebaya yang dikenakan nenek itu sudah terlihat pudar sehingga warna putihnya pun sudah berubah lusuh. Begitu juga kain jarik semata kakinya juga.

“Loh, bukannya Mbah yang tadi ketemu Saya di bawah yah?” Kiki langsung mengenali nenek yang berada di depannya. Kakinya yang kotor, tetap tidak menggunakan alas kaki, diingatnya dengan jelas.

Nenek itu mengangguk mengiyakan. Kemudian ia bertanya, “Kalian butuh tempat istirahat?”

Sudah kepalang basah. Pikir Kiki. Tubuhnya sangat letih dan dia butuh istirahat. Kiki merasa tidak memiliki pilihan selain meminta bantuan nenek itu. “Iya Mbah, tadi kita jatuh di tebing sana dan kaki Saya terkilir. Boleh Saya dan kawan saya menginap semalam saja Mbah?”

Nenek itu mengangguk. Tanpa berbicara, ia berjalan menuju salah satu rumah. Rumah yang  jendelanya juga ditutupi palang kayu.

Nenek itu membuka pintu kayu yang berderit mengerikan.

Ia menunjuk sebuah kamar. “Kalian bisa tidur di situ.”

Kiki dan Bayu mengangguk berbarengan.

“Saya istirahat dulu.” Kata nenek itu lagi sambil masuk ke kamar yang lain.

Kiki dan Bayu pun masuk ke dalam kamar. Kamar kecil yang berisi satu dipan untuk mereka bagi berdua.

“Lo tidur duluan aja Bay, gue mau ke toilet dulu.”

“Oh ya toiletnya tadi gue lihat ada di luar rumah Ki. Ada di sebelah kiri rumah.”

“Iya gue juga lihat tadi waktu kita di luar.”

Kiki hendak menuju kamar kecil yang ada di luar rumah, ketika melihat sesuatu yang aneh pada temannya. Belum lama mereka bercakap, Bayu sudah berbaring dan memejamkan matanya. Wajahnya tampak pucat. Tangannya ia sedekapkan persis seperti posisi orang sedang shalat.

Berpikir mungkin sahabatnya terlalu letih untuk terjaga, Kiki tidak mengambil pusing tentang itu.
Ia berjalan keluar menuju kamar mandi yang dimaksud Bayu.

Sama seperti halnya penerangan di dalam rumah, yang hanya menggunakan petromax, di sini pun tidak ada lampu buat penerangan hanya ada petromax di depan pintu kamar mandi.

Kiki masuk ke kamar yang berukuran sangat sempit itu dan menurunkan celananya. Tidak lama terdengar orang menggedor-gedor pintu tanda tidak sabar.
"Sebentar saya lagi kencing!"

Kiki berteriak. Menghentikan orang yang mengedor pintu. Gedoran pintu terhenti dan keadaan hening sesaat. Tapi saat Kiki hendak mengaitkan celananya kembali. Gedoran tidak sabar dimulai lagi. Semakin lama semakin kencang hingga mengguncang pintu reyot kamar mandi itu.

"Iya iya, Saya keluar!" teriak Kiki sembari membuka pintu. Kiki merasa ganjil ketika ia membuka pintu tidak ada seorang pun di luar.

Ia melihat-lihat sekitarnya. Hanya ada sepi dan angin dingin di Gunung yang menerpa wajahnya. Kiki enggan berada di luar sendirian, ia berniat untuk segera masuk ke dalam rumah. Saat itu ia mendengar suara kresek-kresek.

Kiki menduga bunyi berisik itu berasal dari belakang rumah.

Dia hendak mengabaikan suara-suara yang menganggu itu. Tapi ketika suara itu menjadi semakin ramai, seperti suara orang yang sedang mencabik dan mengunyah dengan rakus. Ia menjadi sangat penasaran.

Dengan sangat perlahan ia mendekat ke arah belakang rumah. Tempat ia dapat mendengar suara kunyahan dan decakan lidah yang semakin keras. Jelas seseorang menyantap hidangan dengan sangat lahap.

Kiki bersembunyi di balik sebuah pohon demi bisa melihat asal dari suara yang didengarnya.
Kiki menahan nafas, terkejut ketika melihat nenek pemilik rumah sedang berjongkok membelakanginya.

Rambut putihnya, warna kebaya serta kain jarik yang nenek pemilik rumah kenakan ia kenali dengan jeli.

Sedang apa mbah itu? Bukannya ia sedang tidur di dalam. batin Kiki berbisik ngeri.
Suara berisik melahap itu pun terhenti.

Sadar seseorang sedang mengamatinya, Nenek itu berbalik cepat.

Kiki tersentak, ia terkejut dan jatuh terduduk. Matanya terbelalak melihat tangan dan mulut nenek itu berlumuran darah. Mata nenek itu terlihat sangat marah. Kuku-ku tangannya yang panjang seperti cakar harimau hendak menerkamnya.

Tanpa banyak berpikir, Kiki segera berlari pergi dari tempat itu dan masuk ke dalam rumah.

“Bay, bangun Bay! Ayo kita pergi dari sini.”

“Kenapa lagi sih Ki?”

“Cepet keluar, nanti gue jelasin. Pokoknya kita harus cabut dari sini!” Kiki memaksa Bayu keluar dari rumah itu.

Berlari menjauhi rumah, Bayu menunjuk ke arah rumah-rumah yang ada di dekat rumah nenek itu.

“Ki lihat di jendela!”

Pemandangan di depan mereka sangat mengerikan. Di antara celah jendela yang terpalang kayu, Kiki bisa melihat banyak wajah mengerikan yang sedang mengintip mereka. Wajah mereka begitu rusak dengan luka-luka sobekan bekas cakaran hewan buas. Matanya berlubang besar, tanpa bola mata.

Ditambah lagi jeritan-jeritan minta tolong yang datang dari mulut mereka, membuat bulu kuduk Kiki meremang.[]

PULANG DALAM DEKAPAN GUNUNG SALAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang