"Dasar anak tidak tahu diri!"
Daniel memandang remeh Ashilla yang sedang berdiri dihadapnnya dengan penampilan yang sangat membuatnya marah.
Gadis itu baru saja merayakan hari kelulusannya, tentu saja ia menerima ajakan kawan-kawannya untuk mencoret baju serta pawai keliling kota dengan baju yang sudah berwarna-warni tersebut.
Awalnya semua berjalan lancar dan baik-baik saja, hingga akhirnya polisi menilang Ashilla dan beberapa temannya karena sudah membuat kerusuhan di jalan. Hal itu yang membuat Daniel marah besar kepada Ashilla—membuat malu keluarga dengan masuk kantor polisi, pikirnya.
Bugh
Gagang sapu yang berdiameter 5cm itu mengayun kencang lalu mengenai tubuh Ashilla yang rapuh. Gadis itu masih tetap terdiam hingga pukulan kedua ia tidak merasakan rasa sakit yang menjalar itu lagi. Yang ia rasakan hanya pelukan kencang dari seseorang.
Itu ibu nya. Elena Ravile.
"Sudah Ayah," gumam Elena sambil sesekali segukan, "Jangan pukul Ashilla lagi, hiks... dia masih dalam masa pubernya wajar kalau hiks, dia seperti ini."
Ashilla tanpa sadar ikut menangis.
Selama ini Ibu nya yang selalu menjadi tameng disaat Ayah selalu menyiksanya disaat Arjuna tidak ada di rumah.
"DIAM KAMU ELENA!" bentak Daniel, Pria berperawakan tinggi besar itu menunjuk Ashilla yang sudah menangis dipundak istrinya, "Ini yang aku tidak suka darimu! Kau selalu memanjakan Dia, beginilah akhirnya! Dia tumbuh menjadi anak tidak tau diri dan selalu melawan kepada orang tua!"
"Kalau begitu, pukul aku! Hukum aku saja, jangan anakku." Elena berdiri dengan tegak menghadap kearah Daniel. Masih dengan air mata yang berjatuhan, ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku mengandungnya selama 9 bulan, tentu saja aku tidak akan rela anak-ku yang selama ini aku perjuangkan di sakiti oleh orang lain, termaksud kau! Suamiku!"
Plak
Tamparan itu mengenai sasaran. Ashilla terkejut namun hanya sebentar, memang ini bukan pertama kali-nya ia melihat sang ayah yang ringan tangan pada keluarganya.
"Pukul aku sampai puas," gumam Ashilla dengan nada datar. "Tapi tidak untuk menyentuh ibuku!"
"KAU DAN IBU-MU SAMA SAJA! KERAS KEPALA DAN SELALU MELAWAN, HAH!"
Daniel pun kembali meninggalkan ruang tamu, Elena kembali menangis membuat Ashilla merasa sangat bersalah.
"Ibu... maafin, Shilla."
••
Ashilla mengepalkan tangannya menahan amarah saat ia kembali mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu itu, sebenarnya itu hanyalah sebagian kenangan buruk yang ditorehkan oleh sang Ayah. Rongga dada-nya seakan terisi penuh dengan pasir sehingga membuatnya sesak dan tidak bisa bernafas. Saat bayangan terlintas bagaimana sang ibu menjadi tamengnya membuat satu tetes air mata lolos begitu saja. Ia pun segera menghapus jejak air mata itu, lalu mencoba untuk bernafas senormal mungkin.
Dilihat nya sekali lagi map merah dengan lambang sekolahnya itu. Map tersebut berisikan Ijazah-nya dengan nilai Ujian Nasional. Untuk sebagaian orang, pasti mengatakan selamat jika melihat nilai yang sudah dicapai oleh Ashilla. Tapi, tentu saja berbeda dengan Ayah-nya.
Ashilla mendesah frustasi. Bahkan, hubungan dirinya dan sang Ayah sedikit merenggang, mereka akan berbicara jika ada hal yang penting dan patut diperbincangkan saja. Setelah itu? Tidak ada lagi.
Ayah pasti akan marah lagi jika melihat nilai ini.
"Kamu, tidak apa-apa?"
Gadis itu terkejut, ia menoleh dan melihat Rain yang sedang tersenyum padanya. Ashilla pun membalas tersenyum, "Iya, aku gak papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl
Teen Fiction"Seburuk apapun takdirnya, semua orang berhak untuk bahagia walau hanya sementara." Meskipun dia lahir dari ayah yang brengsek dan ringan tangan. Ashilla Raville berhak bahagia. Gadis remaja yang membenci Ayahnya. Karena sudah tidak sanggup tingg...