TIGA

5.5K 637 28
                                    


Hari yang ditunggu pun akhirnya datang. Perpisahan kelas yang di selenggarakan disalah satu hotel mewah di Jakarta.

Ashilla datang dengan gaun berwarna hitam panjang begitu memukau teman-teman sekelasnya. Ataupun Rain.

Ini-lah yang mereka tunggu. Perpisahaan sesungguhnya, karena setelah hari ini berakhir maka satu-persatu teman sekelasnya akan berangkat dan mulai menata kehidupannya.

Banyak dari mereka yang sudah berbicara tentang kelanjutan pendidikan mereka, ada yang memilih untuk tetap stay di Jakarta dan kuliah disini, ada juga yang memilih keluar kota atau bahkan keluar negeri.

"Trus, Lo sendiri gimana Shill?"

Ashilla tersentak, ia menoleh kearah Dewi, sekertaris dikelas nya. "Gue sih... mau-nya kuliah terus di luar Jakarta. Tapi nanti liat deh," ia tersenyum kecut.

Mana mungkin sang Ayah mengijinkannya untuk kuliah? Katanya daripada Kuliah mending ia mendaftar sekolah kedinasan seperti Polisi ataupun Ipdn. Ashilla tidak tau, kenapa sang Ayah sangat tergila-gila mempunyai anak yang berseragam--maksudnya mempunyai pekerjaan tetap dan berpangkat. Seperti sang Kakak Arjuna, ia terpaksa menolak beasiswa untuk kuliah di Singapore hanya untuk mengikuti perintah sang Ayah untuk mendaftar menjadi Tentara.

Hah, Ashilla sampai pusing memikirkan sifat Ayahnya selama ini.

"Semangat deh, bokap lo pasti mau lo jadi Polwan kan? Yaudah kenapa lo gak mau?"

"Gue cuma rasa passion gue bukan disitu, melainkan di Bahasa. Lo tau gak sih, fisik gue itu lemah. Gak bisa push-up juga,"

"Ya belajar dong!" ujar Tris dari belakang Ashilla. "Gue juga mau tes Polwan nih, kita samaan aja. Pasti lo bangga deh, kalo pake seragam sama pangkat gitu."

Ashilla mendengus, "Nanti liat aja," ucapnya malas.

Acara kembali berlanjut hingga pukul 11:30 malam. Ashilla melihat kearah ponselnya dan terbelalak saat melihat 4 panggilan tak terjawab dari Ayah.

Baru saja ia ingin menelepon balik, namun terlambat. Di layar ponselnya sudah tertulis

Ayah calling...

Dengan ragu, Ashilla mengangkat sambungan tersebut.

"Hall—"

"PULANG SEKARANG!"

Tut.. tut.. tut..

Sambungan itu lansung terputus saat Daniel sudah selesai berteriak diujung sana. Ashilla mendesah—untuk kesekian kalinya—setelah itu, ia berjalan mendekat kearah Dani, sang ketua kelas.

"Dan, acara udah selesai kan?"

Didepan sana, beberapa teman sekelasnya sedang asik bergojet ria mengikuti irama lagu. Banyak juga yang sibuk berpelukan untuk kesekian kali-nya, atau bahkan membuat video.

"Iya, lo mau pulang?"

Ashilla mengangguk.

"Rainhard Adiwijaya. Pacar lo mau pulang ni," teriak Dani pada Rain yang sedang asik berfoto ria dengan beberapa teman cewek-nya dalam kelas.

Fyi, Rain itu cowok most wanted dan terganteng di kelas mereka. Wajar saja kan kalau teman-teman sekelasnya minta foto bareng dia.

Ashilla melihat Rain yang berpamitan pada beberapa teman cowoknya lalu berjalan mendekat kearah Ashilla dan Dani.

"Aku gak bakal bosen bilang kalau kamu cantik, Shill."

"Makasih," Ashilla menunduk untuk menyembunyian rona wajah-nya.

"Huekkk"

Sepasang kekasih itu menatap Dani yang pura-pura ingin muntah. Lalu mereka tertawa bersama, "Makanya jadian sana sama Dewi."

"Ah, lo mah! Sana pulang deh, anterin nih jodoh gue."

"Bye."

Setelah berpamitan dengan seluruh teman-teman sekelasnya, Ashilla dan Rain pun pulang.

••

"Makasih ya," gumam Ashilla pelan.

Kini, mobil hitam Rain sudah sampai didepan rumah Ashilla. Gadis itu melirik kedalam rumah-nya yang sudah gelap, mengingat ini sudah memasuki tengah malam. Selama di perjalanan tadi, Ashilla tidak berhenti melihat kearah jam tangannya, dalam hati pun ia merapalkan doa agar sesampainya di rumah tidak di marah atau bahkan di pukul.

Rain tersenyum lembut, "Jangan bilang makasih, udah kewajiban aku anterin kamu pulang dengan selamat."

"Sana masuk," Rain mengacak pelan rambut Ashilla. "Aku sayang kamu Shill."

"Aku juga."

Ashilla pun turun dari mobil Rain, ia menunggu mobil itu jauh dari pekarangan rumahnya baru ia berjalan mendekat kearah pintu rumah.

Pintu itu terkunci. Dari dalam.

Gadis berrambut sebahu itu pun mendengus. Lalu apa guna-nya ia disuruh pulang kalau pada akhirnya di kunci juga?

Tok..tok..tok..

Ashilla mencoba keberuntungannya untuk mengetuk pintu itu, berharap sang Ibu mendengarkannya lalu membuka.

Namun, hasilnya nihil. Sudah 10 menit ia terus mencoba mengetuk pintu itu namun tetap tidak terbuka.

"Buuu!!"

Tidak ada tanggapan.

Ashilla pun mengambil ponselnya dan berniat menelepon sang Ibu. Tetapi, gerakannya terhenti saat mendengar suarah bentakan dan teriakan dari dalam rumahnya. Ia yakin, itu semua ulah sang ayah.

Suara kegaduhan itu semakin terdengar, hingga Ashilla mendengar Ibu-nya menangis karena dirinya untuk kesekian kali.

Gadis itu terduduk dilantai yang dingin, disandarkan punggungnya di pintu lalu ia menekuk lututnya.

Satu tetes air mata kembali jatuh, mengingat selama ini Ibu-nya selalu membelanya. Tapi, selama ini juga Ashilla masih sering durhaka kepada sang ibu. Ah, ingatkan dia untuk menjadi anak yang lebih berbakti lagi pada sang Ibu.

Ceklek

Ashilla refleks berdiri saat mendengar suara kunci terputar. Ia menatap dengan senyuman lebar kearah pintu yang memunculkan sang ibu dengan wajah sembab serta pipi yang merah.

"Bu..." senyuman Ashilla lansung luntur.

Elena mencoba tersenyum meski air mata masih saja jatuh di pipi-nya. "Kita di luar dulu ya,"

Ashilla mengernyit. "Kenapa Bu?"

"Ayah kamu larang kamu masuk sampai matahari terbit. Ibu gak tega liat kamu sendirian disini, jadi ibu temani kamu ya."

Dada Ashilla bergerumuh. Ia menatap tajam kearah pintu rumah yang sudah tertutup, dalam hati ia mencaci maki sang Ayah, anggaplah dia anak durhaka. Tetapi, siapa yang tidak benci dentan sikap sang Ayah yang sudah sangat keterlaluan itu?

Tuhan tolong, dengar ucapakan ku ini. Aku benci Ayah! Aku membencinya sungguh!



•••

regards,
Ind

Sad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang