KELAM 2

595 27 0
                                    

🌸🌸🌸

Nadine sudah sampai di tempat yang dijanjikan namun sosok yg ditunggu sepertinya belum datang. Nadine melangkah menuju sebuah swalayan yang tak jauh dari sana untuk sekedar membeli minuman dan 'ngadem'. Diambilnya ponsel dari tas kecilnya.

[Aku beli minum dulu. Kamu minum apa?]

Tak lama muncul balasan singkat.

[Kopi dingin]

Nadine memasukkan kembali ponselnya dan berjalan cepat. Masuk swalayan, mengambil satu kopi dingin siap minum dan sebotol minuman isotonik, lalu mengantri di kasir. Untunglah saat itu pengunjung tidak terlalu ramai.

Baru saja Nadine mendorong pintu keluar, klakson Honda jazz hitam sudah menyambutnya. Mobil itu hanya sedikit menepi dari jalan raya. Nadine melambaikan tangan dan berlari kecil sampai tangannya berhasil meraih pintu mobil.

Setelah mendaratkan pantat teposnya dan menutup pintu, Nadine menarik nafas lega. Ia melongok ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada orang yang ia kenal.
"Sepupumu itu sudah datang?" tanya si pengemudi. Erik. Seorang pria yang terlihat berusia 20 tahunan dengan kulit putih bersih. Kemeja hitam polos yang ia pakai menambah kesan cerah warna kulitnya.

" Sudah. Tapi aku belum melihatnya. Aku tak peduli," jawab Nadine ketus. Ingin ia berteriak pada pria itu bahwa yang datang adalah anak haram papanya, bukan sepupunya. Namun akal sehatnya memaksa untuk mengikuti perintah. Orang luar hanya boleh tau kalau Hasan muda itu adalah sepupu mereka dan tak ada yang bisa membantah.

"Yang lain kemana Da? Kok Uda sendiri?" tanya Nadine setelah sadar kalau di dalam mobil hanya ada mereka berdua. Tak seperti biasanya.
"Pada sibuk. Hendra sedang kerjaa, Widia sedang ke salon, Budi tak ada kabar," jawab Erik. Nadine yang kesal karena teman-temannya tak datang, ingin mengomeli mereka satu persatu. Buru-buru Nadine mengambil ponsel dan mencari kontak Widia. Namun sebelum sempat tersambung, tiba-tiba Erik merebutnya hingga ponsel itu terjatuh. Nadine kaget.

"Kenapa?"

Nadine berusaha menenangkan fikirannya yang mulai campur aduk.

"Sudahlah, sekali-kali kita jalan berdua," jawab Erik santai.
Nadine menghempaskan punggungnya ke sandaran jok. Namun teringat ponselnya yang kini tepat dibawah sepatu Erik.

" Ga bakalan aku injak, kok. Tau... hape mahal," seloroh Erik seolah bisa membaca fikiran Nadine.
Nadine tersipu. Diliriknya arloji kecil yang selalu ia pakai sedang menunjuk pukul 2.15 sore.

"Jangan jauh-jauh ya Da, aku punya jam malam," ucap Nadine dengan nada datar.

"Jam 10?"

"Gak... Kemaleman?!"

"Jam 9?" Erik terus menawar.

"Jam 7!" Jawab Nadine ketus.

"Ayolah Diak, kayak anak SD aja," bujuk Erik lagi

"Aku ga mau dibunuh Pak Hasan," jawab Nadine. Kali ini dengan nada yang sedikit lebih lembut. Erik terkekeh.

"Oke, setengah delapan sampai pintu," balasnya. Nadine hanya geleng-geleng kepala.

🌸🌸🌸

Hasan muda terbangun. Dirabanya jam weker yang biasa membangunkannya tiap hari. Tapi jangankan jam, mejanya pun tidak dapat ia rasakan lagi. Darahnya berdesir saat memastikan sekeliling. Ini bukan kamarnya. Hasan muda langsung duduk. Kepalanya pusing bagai habis mabuk semalam suntuk. Setelah pandangannya benar-benar normal kembali, ia menarik nafas panjang. "Aku di Bukittinggi, di tempat yang mungkin tanahnya juga menolakku," batinnya.

Ia meraba saku celananya mencari ponsel untuk sekedar melihat jam. Oh, ponselnya juga mati. Sudah berhari-hari Hasan tak mengutak-atik ponsel seperti biasanya. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur dan mencari charger. Setelah dinyalakan, Hasan malah lupa melirik jam. Ia malah tertarik dengan pesan singkat yang tak henti-hentinya masuk hingga ponselnya terus berdering. Ia kemudian membukanya satu persatu.

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang