🌼🌼🌼
Pak Hasan terdiam. Ia terus mendengarkan Isak tangis istrinya yang mengharu-biru sedari tadi. Setelah tangis Bu Linda mulai mereda, barulah Pak Hasan bicara.
"Mah, Jika Papa mengusir anak itu dari sini, membiarkan dia luntang lantung di jalanan sedangkan pamannya sudah tidak peduli lagi, apa Mama tega? Dalam masalah ini, Papalah yang salah Mah, Bukan Dia."
Ada ketegasan dibalik nada suaranya yang lembut."Kita sudah bahas ini berkali-kali sejak Papa menerima email itu. Tak ada hal yang Papa tutupi darimu Mah. Kamu tau benar siapa aku! Disaat aku pun belum bisa menerima kenyataan, disaat aku juga butuh banyak dukungan, kenapa kamu malah jadi begini Mah?" Air mata Pak Hasan mulai menggenang.
"Jika pergi dari sini adalah keputusanmu, entahlah, aku cukup lelah untuk menyurutkan emosimu, Mah. Namun untuk menyuruh anak itu pergi, aku tak bisa. Dia tanggung jawabku sekarang."
Tanpa memberikan kesempatan pada istrinya untuk bicara, Pak Hasan berdiri. Tungkainya terasa lunglai. Ia belum makan apapun sedari pagi karena setelah solat subuh ia langsung berangkat ke bandara menjemput Hasan muda. Diliriknya jam dinding, sudah jam 02.00 siang.
Sebelum menutup pintu, Pak Hasan menambahkan, "Pikirkanlah sekali lagi. Ingat anak-anak."
Pak Hasan berbalik dan meninggalkan istrinya sendirian. Ia turun dan langsung menuju meja makan. Alisnya bertaut melihat apa yang ia temukan di bawah tudung saji. Ini bukan masakan istrinya.
Pak Hasan mendesah kesal dan menutupnya kembali. Ketika hendak pergi, ia teringat pada Hasan muda. Sejak turun pesawat anak itu juga belum makan. Pak Hasan melangkahkan kakinya ke arah kamar Hasan muda dan mencoba mengetok pintu. Tak ada jawaban. Ia coba membukanya namun terkunci dari dalam.
"Sudahlah, mungkin ia tertidur," batinnya. Tanpa ragu lagi ia ke garasi, menyalakan sepeda motor Yamaha N-maxnya dan tancap gas menuju rumah makan terdekat. Bahkan ia tak memperhatikan anak gadis sulungnya sedang naik angkutan umum tepat di depannya.
Pak Hasan mengira akan ada menu yang membuatnya berselera. Ternyata tetap saja, mulutnya enggan untuk menelan makanan yang sudah ia pesan. Kepalanya terasa mau pecah saja. Anida. Kembali nama itu muncul di kepalanya setelah belasan tahun.
🌼🌼🌼
Anida dan Anton adalah sepasang anak kembar identik. Postur tubuh mereka berbeda. Anton lebih besar dan tinggi, namun wajah mereka berdua sangat terlihat mirip apalagi jika mereka sedang bersama-sama. Anton yang menikah di usia muda, pergi merantau bersama istrinya ke Jakarta. Sedangkan Anida, dengan keras kepala memilih terus melanjutkan pendidikannya di Universitas Negeri Padang walau harus melewati perdebatan sengit dengan orang tua serta kerabatnya. Hanya itulah yang Pak Hasan ketahui tentang Anida.
(Flashback)
"ANIDAAA.... ANIDAAA..." teriak Pak Hasan yang kala itu masih berumur dua puluh tahunan. Gadis yang dikejarnya terus saja berlari. Hujan deras dan petir kala itu tak membuat gadis cantik itu gentar. Namun pelariannya harus berakhir tatkala sebuah batu kecil membuatnya tersandung dan jatuh tersungkur. Hasan berhasil menangkapnya.
Hasan membantu gadis itu berdiri. "Anida maafkan aku. Aku... aku khilaf. Aku tak akan mengulanginya lagi. Hukum aku. Tampar aku tapi aku mohon, jangan tinggalkan aku, Anida..." Hasan berlutut memohon-mohon pada Anida sedang gadis itu terus saja menangis sambil mendekap tas besar miliknya. Pakaiannya sudah basah kuyup dan kotor.
"Anida jawab Uda! Jangan diam saja! Uda janji tak akan mengulanginya lagi sebelum kita menikah. Uda janji!" ucap Hasan meyakinkan. Entah Anida mendengarnya atau tidak sebab hujan begitu deras.
Hasan berdiri dan memeluk erat gadis itu di dadanya. Rasa sesalnya yang sebesar Gunung Singgalang lebih besar dibandingkan hawa nafsunya. Namun semua sudah terlanjur. Anida pun tak bisa sepenuhnya menyalahkan Hasan. Seharusnya tadi ia menolak, namun tidak ia lakukan. Anida mencintai Hasan begitu juga sebaliknya.
"Kita menikah saja ya," pinta Hasan. Ia melepaskan pelukannya dan menggenggam kedua bahu Anida dengan erat.
"Tidak Uda. Kuliahku belum selesai. Aku sudah janji pada Bapak," jawab Anida.
"Tidak ada salahnya melanjutkan kuliah setelah menikah Nida, Uda akan membantu biaya kuliahmu. Toh penghasilan Uda cukup besar untuk kita," sambung Hasan berusaha meyakinkan.
Anida menunduk. Berfikir keras. Teringat semua janjinya pada kedua orang tuanya.
"Aku belum bisa Uda. Sudah terlalu banyak pengorbanan keluargaku agar aku bisa kuliah. Paling lama setahun lagi. Itupun kalau Uda mau menungguku," jawab Anida. Kali ini ia memberanikan diri menatap kedalam mata Hasan. Mata yang teduh itu jelas terlihat kebingungan.
"Baiklah, tapi aku ingin keluarga kita sama-sama tahu dulu. Setidaknya kita bisa bertunangan." Hasan mengajukan syarat. Anida mengangguk dan Hasan kembali memeluknya. Itu adalah terakhir kalinya Hasan merasakan hangatnya pelukan dan mencium aroma gadis itu.
Semenjak kejadian itu, Anida tak lagi terlihat ceria. Ia menghindar dari semua orang. Gadis yang sebelumnya periang dan ramah, berubah menjadi pemurung. Ia bahkan tak terlihat bahagia saat mendengar berita kelahiran keponakannya, anak Anton.
Hasan sempat membawa Anida kerumahnya beberapa kali untuk diperkenalkan pada keluarga. Tapi sayang, keluarga Hasan tidak terlalu menyambutnya hingga Anida semakin menarik diri. Dan tak lama setelah itu, Anida menghilang, selamanya. Meninggalkan Hasan sendirian dengan sejuta luka, penyesalan, dan tanya.
(Flashback end)
Lamunan Pak Hasan berakhir saat seorang pelayan tersandung dan menjatuhkan gelas tepat di depannya. Pak Hasan terlonjak.
"Maaf Pak," ujar pemuda itu yang spontan membereskan pecahan gelas yang sudah tak lagi berbentuk.
Pak Hasan menatap tangannya, masih berlumuran kuah 'gulai cancang' yang sudah mengering. Buru-buru ia mencucinya. Setelah melirik jam yang saat itu sudah hampir setengah empat sore, Pak Hasan membayar makanannya dan cepat-cepat pergi dari sana.
Tak tau ke mana arah tujuan, Pak Hasan terus melaju bersama sepeda motornya. Pandangannya kosong. Entah melihat ke arah jalan atau tidak. Ketika ia teringat untuk harus lebih fokus, roda depan sudah menubruk pembatas jalan. Pak Hasan melambung dan terjerembab di bawah tiang lampu.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAM
Mystery / ThrillerDia dipelihara, tapi bagai dibuang. Dia disayangi, tapi juga dibenci. Darah yang mengalir di tubuhnya disebut-sebut sebagai darah kotor. Sekotor apakah? Terlahir menjadi anak haram bukanlah sebuah cita-cita. Tapi takdir. Takdir yang KELAM