KELAM 4

384 24 0
                                        

🌸🌸🌸

Hasan muda menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia sadar untuk tidak boleh panik dan harus waras dalam kondisi seperti ini ini. Di dalam taksi online yang diorder setengah jam yang lalu, Hasan merapikan rambutnya terlebih dahulu, lalu membuka tas kecil dan memastikan paspornya masih terselip di sana. Syukurlah benda itu masih ada walau terlihat sudah sedikit 'lecek' karena dilipat sedemikian rupa.

Hasan menghitung waktu perjalanan yang akan ia tempuh. Cukup jauh. Mengingat jam penerbangannya, Paling tidak ia bisa bertemu ayahnya besok pagi. 'Semoga Pak Ujang segera memberi kabar', batinnya. Namun ketika melihat ponselnya yang hidup segan mati tak mau, Hasan terpaksa membuka suara meminta bantuan.

Terbesit di benaknya untuk mengabari Pak Hasan, namun ia urungkan. Mungkin nanti saja. Lalu Ia menyandarkan punggung di sandaran jok mobil, mencoba merilekskan tubuh sambil memejamkan mata. Mengingat dan menerka-nerka.

Jadi selama ini ayah sakit? Ayah sakit Apa? Itulah pertanyaan terbesarnya. Sejak kepergian Kakak angkatnya, Shuri, ayah Hasan mulai berubah. Pendiam, sering bepergian dan tak memberi kabar. Awalnya Hasan hanya mengira itu bentuk pelampiasan kesedihan. Namun beberapa bulan belakangan, Ayahnya mulai pemarah.

Sudah setengah tahun Shuri meninggal. Gadis manis itu pergi begitu cepat tanpa pertanda. Kecelakaan yang merenggut nyawanya, juga merenggut senyuman dua orang yang mencintainya. Pak Anton sang ayah, dan Hasan sang Adik.

Hasan yang masih belum terbiasa tanpa kakaknya, kini juga harus terbiasa melihat perubahan pada ayahnya yang tiba-tiba menangis, tiba-tiba menghilang, lalu pulang dan marah-marah.

(Flashback)

Sepulang sekolah, seperti biasa Hasan langsung pulang untuk membantu Pak Ujang di toko barang elektronik milik ayahnya. Namun siang itu, belum sempat ia turun dari kamarnya, Pak Anton sudah lebih dulu mengetok pintu dan masuk sebelum Hasan mempersilahkan.

Pak Anton duduk di ujung tempat tidur, kemudian menatap wajah Hasan sesaat.

"Ada apa yaah?" tanya Hasan. Ia menangkap kegelisahan pada cara ayahnya menatap. Tanpa menjawab, Pak Anton menyerahkan sebuah album lama yang sudah tak berkulit lagi.

"Bukalah," jawab Pak Anton pelan.

Hasan mengambil benda itu dan membukanya. Karena tak berkulit, Hasan membukanya dari sisi sebaliknya. Terlihatlah disitu foto dua anak yang terlihat mirip sedang berdiri bergandengan. Rambut mereka sama-sama pendek. Hanya saja pakaian yang mereka pakai berbeda. Yang satu mengenakkan dress putih, dan yang satu mengenakkan kemeja warna senada.

"Ini ayah? " tanya Hasan penasaran.

"Ya," jawab Pak Anton singkat sehingga Hasan bertanya lagi.

"Apa? Ayah kembar? Wow?"

Hasan keheranan. Dibaliknya setiap lembar foto dan melihat metamorfosis anak kembar itu tumbuh cepat menjadi dewasa.

Pak Anton mengangguk. "Selama ini, orang-orang selalu mengatakan Kamu mirip dengan ayah." Pak Anton berkata sambil tersenyum simpul. "Tapi sebenarnya, kamu mirip ibumu." Saat mengucapkan kalimat terakhir, senyum Pak Anton menghilang.

"Apa maksud ayah?"

Perlahan Hasan menangkap kemana arah pembicaraan ini.

"Namanya Anida, adik kembar Ayah. Dia melahirkanmu sendirian tanpa suami dan orang tua. Hanya aku yang ada di sampingnya saat itu. Sayangnya, saat mempertaruhkan nyawa untukmu, dia kalah."

Pak Anton diam sejenak lalu melanjutkan. "Sudah lama aku menyimpan semua ini, Hasan. Dan sekarang Ayah rasa, kamu sudah cukup umur untuk mengerti. Aku hanya pamanmu. Bukan ayahmu." Pak Anton bicara dengan nada datar seperti tanpa beban. Namun tangannya mengepal dan gerahamnya bertaut kuat. Entah apa yang ia tahan.

Hasan merasakan kepedihan dihatinya. Perutnya mual. Segera ia cari sesuatu untuk sekedar bersandar. Setelah lututnya kembali kuat menopang tubuh, ia kembali berdiri.

"Be... benarkah, Ayah? Inikah alasan kenapa sejak Shuri meninggal, ayah mengacuhkanku? Karena aku bukan anak ayah dan yang satu-satunya anak ayah sudah pergi?"

Ribuan pertanyaan muncul dalam benak Hasan. Bagaimana mungkin ini semua terjadi padanya.

Pak Anton hanya diam membisu. Ia rasa semua penjelasannya cukup. Lalu ia meninggalkan Hasan yang duduk termangu dengan album lusuh itu masih di tangannya. Hasan marah. Tapi entah pada siapa. Mungkin pada takdir. Rasanya baru kemarin Ia bangkit dari sedihnya karena ditinggal saudarinya, kini ia harus menangis lagi. Dadanya sesak.

Sedangkan Pak Anton masih berdiri di balik pintu. Menunduk. Sesak di dadanya tak tertahankan lagi. Ia biarkan bulir-bulir bening nan hangat itu tumpah sambil melangkah ke kamarnya.

Sudah hampir dua hari Hasan mengurung diri di kamar. Ia banyak merenung, sudah lelah berfikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Setelah keberaniannya terkumpul, pagi itu Hasan turun. Tapi lagi-lagi ia tak menemukan ayahnya. Hanya Pak Ujang yang ia temukan di bawah. Ruko dua lantai itu semakin terlihat luas saja.

Hasan tidak berangkat ke sekolah. Ia malah duduk di meja kasir. Pandangannya terpaku pada figura yang memajang foto keluarga mereka. Ayah, Shuri, dan dirinya. Tiba-tiba Hasan berfikir, walaupun semua itu kenyataan, kenapa ayah harus menceritakannya? Apa ayah sudah tak mengiginkannya lagi? Ayah akan mengusirnya? Tidak. Ia harus bicara dengan ayah. Hasan mengambil ponselnya. Mengetuk tombol panggil setelah menemukan kontak ayahnya dan berharap sebuah suara menjawab panggilan.

"Hasan..." Suara Pak Anton terdengar parau.

"Ayah kita harus bicara," tegas Hasan.

"Ya benar. Ayah pun harus bicara. Tunggulah. Ayah pulang nanti sore. Pergilah ke sekolah."

Pak Anton langsung memutuskan panggilan. Tidak ada salam seperti biasa.

Pertemuan mereka sore itu berbuah pertengkaran hebat. Pak Anton bersitegang dan akhirnya menyuruh Hasan pergi mencari ayah kandungnya. Sedangkan Hasan yang merasa terusir, tidak berfikir jernih untuk mencerna maksud pertengkaran itu. Ia lebih memilih minggat kerumah temannya, Andra.

Seminggu kemudian, hanya melalui pesan singkat, Pak Anton mengirimkannya tiket pesawat dan foto sang ayah. Hasan yang emosi langsung pulang mengambil beberapa barang. Berharap Pak Anton muncul sebelum hari penerbangan ke Padang, namun ternyata tidak. Hasan pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, atau terima kasih, atau apapun semua yang hampir meledakkan kepalanya.

(Flashback end)

Dan kini, sesal pun datang. Andai ia tau Pak Anton kala itu sengaja menyuruh pergi agar Hasan tak melihatnya menahan sakit, mungkin ia tak akan membuang-buang waktu seperti ini.

"Bang, kita sudah di bandara. Bang... Bang... BANG..!!!!!" Supir taksi online itu mulai kesal. "Ondeeh.. Ka lalok di siko paja ko kooh.."( duuh.. anak ini mau nginep disini apa yak) umpatnya. 

Hasan terbangun.

"Oh. Maaf Da..."

Hasan sedikit menggeliat lalu langsung membuka pintu dan pergi. Namun si supir kembali berteriak.
"OYY HAPE TINGGA KOAH."(Woy hapenya ketinggalan)

Hasan berbalik mengambil ponselnya dan berlalu begitu saja.
"Ndeeh Ndak tau tarimokasih paja kapindiang ko mah" umpat si supir.


KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang