KELAM 9

372 27 1
                                    

Pak Hasan melirik jam di tangannya. Jam 01.00 siang. 'Masih sempat mampir kerumah sekedar makan siang dan menyambut Hasan muda, lalu kembali ke hotel'. Gumamnya.

Awalnya Pak Hasan hanyalah seorang montir. Namun berkat ketekunannya, kini ia sudah memiliki bengkel besar dan beberapa cabang. Selain itu, beberapa tahun lalu, ia mewujudkan cita-cita istrinya untuk membuka usaha wedding organizer khas Minangkabau. Dan seminggu belakangan, Pak Hasan baru saja membeli saham sebuah Hotel besar di Bukittinggi.

Orang tua laki-laki Pak Hasan sudah meninggal beberapa tahun silam. Sedangkan Ibunya masih tinggal bersama adik perempuannya di Rumah Gadang. Adat di sana, anak laki-laki yang sudah menikah tak berhak lagi tinggal di rumah orang tua dan harus pindah ke rumah istrinya. Karena itulah ia jarang bertemu dengan ibunya.

Tak lama setelah menikah, Pak Hasan yang lihai mengumpulkan pundi-pundi uang, membeli sebuah rumah yang cukup besar di daerah Aua Ateh dan minggat dari rumah mertuanya.

Bukan karena tak betah. Tapi memang begitulah sebaiknya. Baginya, tinggal sedikit berjauhan akan memunculkan banyak rasa rindu.

Pak Sap dengan sigap membuka pagar saat mendengar suara klakson mobil majikannya.

Setelah memarkirkan mobil, Pak Hasan bergegas masuk rumah melalui pintu belakang. Namun ia terperanjat melihat seorang perempuan tua yang sangat dikenalnya. Nek Jannah. Perempuan tua itu sedang duduk menunggui Mak Apsah yang sedang mencuci pakaian. Mendengar kedatangan Pak Hasan, perempuan tua itu memutar kursi rodanya, Dan memandang marah kearah putranya.

" BAA KOK INDAK MANGECEK ANG KA DEN!?" ( Kenapa kamu tak bicara pada Ibuk!?). Setelah berteriak, wanita tua itu terlihat kesulitan mengatur napasnya.

Pak Hasan salah tingkah. " Dari sia amak tau?" Tanyanya gugup lalu melangkah dan mencoba menenangkan sang Ibu.

Tak ada jawaban. Namun Bu Linda yang tergopoh-gopoh datang dari depan seperti memberi jawaban pada Pak Hasan. Istrinya. Pastilah istrinya yang memberi tau nenek lampir ini.

"Hasan tak mau amak kaget. Banyak fikiran." Kilah Pak Hasan. Didorongnya kursi roda itu kearah ruang utama. Hatinya kacau. 'Bagaimana kalau Ibunya menyambut Hasan muda dengan amarah, kasian anak itu. Ia baru berduka.' Batin Pak Hasan.

" Amak perlu tau, Hasan. Bagaimana mungkin kamu langsung percaya begitu saja kalau itu anakmu. Wanita murahan itu mungkin saja juga tidur dengan laki-laki lain." Wanita tua itu masih saja mengumpat setengah berteriak.

Pak Hasan tersentak. Belum sempat ia membantah ibunya, Hasan muda sudah berdiri di ambang pintu. Pemuda yang menggendong tas ransel itu nampak gemetar. Tangannya meremas ponsel yang ia pegang sampai terasa panas. Dadanya sesak.

" Persis... wajahmu... persis sekali seperti ibumu..!!" Ucap Nek Jannah kasar. Ia dorong sendiri kursi rodanya agar dapat melihat Hasan Muda dengan seksama.

Ada perasaan tak enak di perut Hasan. Kembali kalimat yang tak ia sukai itu menjadi ucapan selamat datang untuknya.

Pak Hasan buru-buru menarik kembali pegangan kursi roda ibunya lalu ia mendorongnya masuk ke sebuah kamar lain, dan menutup pintu. Terdengar suara debat dengan nada-nada tinggi memekakkan telinga.

Andai Ia tau kemana ia harus pergi, tentu Hasan muda lebih memilih pergi. Namun ketika Bu Linda menyuruhnya masuk, Hasan merasa ada sedikit kekuatan muncul dari dalam dirinya. Ia tegakkan kepalanya. Ia masuk dan langsung ke kamar yang ia tempati beberapa waktu lalu.

Dilihatnya kamar itu sudah kembali rapi. Seprai yang dulu berwarna biru muda sudah diganti menjadi abu2 bermotif polkadot. Sebuah travel bag warna hitam yang ia tinggalkan berserakan sudah tertata rapi di samping tempat tidur.

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang