🌸🌸🌸
Nadine kalut. Ini pertama kalinya ia melanggar jam malam ayahnya. Memang belum terlalu larut tapi cukup untuk membuat Pak Hasan melempar asbak ke dinding atau semacamnya. Sekali lagi ia melirik jam. Sudah pukul 9.00 malam.
Perasaannya makin tak karuan mengingat Erik yang tiba-tiba menyatakan cinta. Pria itu terlalu to the poin. Nadine yang selama ini menaruh hati, entah kenapa merasa hambar. Dan saat tangan Erik menyentuh wajahnya, lalu mencoba menciumnya, Nadine malah menamparnya. Pria itu mendengus kesal. Entahlah. Mungkin Nadine terlalu sibuk memikirkan si anak haram hingga tak tergelitik lagi dengan cinta-cintaan.
Nadine membuka gagang pintu perlahan. Ia tidak berharap lampu ruangan padam dan tiba-tiba menyala seperti di FTV yang sering ia tonton.
Ia dapati lampu masih menyala. Sayangnya saat hendak berbalik, wajah murka ibunya sudah menanti.
"Apa kamu mau jadi perempuan gatal juga?" teriak Bu Linda lantang membuat seisi rumah kaget dan bermunculan untuk sekedar mengintip.
"Maaf ma, Nadine tadi ketiduran di rumah Syifa," jawab Nadine. Jelas sekali ia tak lihai berbohong.
"Mama belum selesai sama kamu yaa...? Sekarang Mama mau ke rumah sakit. Papamu bikin penyakit." Masih setengah berteriak, Bu Linda melangkah ke pintu.
" Jagain adikmu!!" sambungnya. Bagai robot Nadine bergegas naik mencari Chiki.
🌸🌸🌸
"Lukanya tidak parah. Cuma syok dan beberapa luka ringan saja. Kalau infusnya sudah habis, Bapak sudah boleh pulang kok. Istirahat dirumah," jelas suster muda itu dengan panjang lebar. Bu Linda yang datang sendirian hanya manggut-manggut.
Itulah perempuan. Walau semarah apapun, mendengar suaminya baik-baik saja, ia langsung lega. Segera dikemasnya beberapa barang Pak Hasan.
Sambil menunggu suaminya terbangun, diraihnya sebuah ponsel hitam yang tergeletak di bantal. Lalu mencoba menyalakannya.
Kunci layar langsung terbuka tanpa password atau semacamnya. Bu Linda menghela nafas dan membatin, memang suaminya tak pernah menutupi apapun. Dilihatnya ada sebuah pesan dan panggilan tak terjawab dari nomor tak bertuan. Dengan sedikit penasaran, Bu Linda membuka pesan itu.
[ Pak. Saya sedang di perjalanan ke Singapura. Ayah saya kritis. Maaf pergi tanpa pamit. Hasan B]
Bu Linda menyipitkan matanya. "Anton kritis?" batinnya prihatin. Sudah lama ia tak mendengar kabar teman satu SMA nya itu. sepasang kembar itu dulu cukup terkenal. Keindahan rupa mereka akan mencuri perhatian siapa saja tidak terkecuali Bu Linda. Sekarang, sisa-sisa wajah kembar itu akan ia lihat setiap hari dalam wujud Hasan muda. Dibiarkannya pesan itu mengambang tanpa balasan.
Sejenak ia tatap wajah suaminya. Wajah itu terlihat sedikit lebih tirus dan pucat.
"Sudahlah. Anak itu hanyalah bagian dari masa lalumu, dan masa lalu itu adalah sebagian dari dirimu yang mau tak mau harus kuterima. Kamu tak pernah mengkhianatiku, itu saja sudah cukup untuk saat ini," ujar Bu Linda setengah berbisik.Namun bisikannya membuat Pak Hasan termangu. Ia bangkit dan meraih tangan wanita yang begitu dicintainya itu, lalu menciumnya. "Terima kasih, Mah.. bagiku itu lebih dari cukup," bisiknya. Sekuat tenaga Pak Hasan duduk dan meraih istrinya ke dalam pelukan.
🌸🌸🌸
Pagi itu sangat dingin. Namun Bu Linda dan Pak Hasan menikmatinya dengan saling menatap manja. Wajah mereka berseri-seri. Bu Linda yang sudah kembali bergerilya di dapur tampak begitu anggun dengan piyama merah muda. Sedang Pak Hasan yang duduk di meja makan sudah nampak kelaparan.
Nadine yang melihat roman penuh cinta itu mendelik kesal. Ia tak menyangka begitu mudahnya mama menerima papanya kembali. Ditariknya kursi makan dengan kasar hingga seketika suasana berubah menjadi canggung.
"Hari ini Mama yang antar sekolah. Ada yang mau mama bicarakan dengan Nadine." Bu Linda melirik tajam ke arah putrinya sambil menata sarapan di meja. Sepertinya ia belum lupa soalan semalam. Nadine hanya mengangguk.
"Sepertinya serius, apa ada yang Papa lewatkan?" sela Pak Hasan sambil menyuap makanannya dengan lahap.
"Hanya Persoalan perempuan," elak Bu Linda.Selang beberapa menit, ponsel Pak Hasan berdering. Dengan mata membulat ia berujar " Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un.Mah, Anton sudah meninggal."
🌸🌸🌸
Hasan muda hanya diam menyaksikan seluruh tubuh ayahnya ditutupi dengan kain. Sia-sia perjuangannya. Jangankan jawaban atau sepatah kata, sebuah tatapan mata pun tak ia dapatkan. Tubuh yang beberapa minggu lalu masih terlihat garang, masih kuat mendaratkan sebuah tamparan, kini terlihat begitu rapuh dan ringkih.
Setelah tim dokter menyebutkan waktu kematian, Hasan ditinggalkan sendirian. Habis sudah keluarganya. Dulu ibu, lalu Shuri, sekarang ayahnya. Di dunia yang luas ini, Hasan hanya sendirian.
Ketika pak Ujang masuk dan menepuk-nepuk punggungnya, barulah tangis pemuda itu pecah. "Terkadang, kebencian mampu membuatmu melupakan seseorang lebih cepat. Itulah yang Ayahmu katakan saat aku tau ia menyuruhmu pergi," ujar Pak Hotmantri setelah ia masuk dan berdiri membelakangi pintu. Lalu ia sejajarkan tubuhnya di samping Hasan muda, menatap kearah si jenazah.
"Mana mungkin aku bisa membencinya... Mana mungkin..!!" isak Hasan. Di rengkuhnya tubuh yang terbungkus kain itu ke dalam pelukan. Sudah terasa dingin."Ia sudah lama sakit, Nak, jauh hari sebelum Shuri meninggal. Namun semangatnya untuk sembuh sangat menggebu-gebu. Ia harus menyaksikan kalian tumbuh. Ia harus menikahkan kalian. Begitu banyak cita-cita nya. Namun kematian Shuri yang begitu mendadak, membuatnya terpukul. Hingga kankernya menjalar begitu cepat. Dan ketika ia sudah tak yakin lagi dengan kesembuhan, ia membuat pilihan yang menurutnya paling benar. Membuatmu pergi." Pak Hotman mengusap air matanya yang tak terasa jatuh. Sedangkan Hasan mempererat pelukannya.
Sekelebat bayangan punggung sang ayah ketika ia kecil. Aroma tubuhnya yang mendatangkan kantuk. Semua itu tak akan pernah Hasan rasakan lagi.
"Mari ayah, kita pulang... kita pulang. Ibu dan Shuri menunggu kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAM
Mystery / ThrillerDia dipelihara, tapi bagai dibuang. Dia disayangi, tapi juga dibenci. Darah yang mengalir di tubuhnya disebut-sebut sebagai darah kotor. Sekotor apakah? Terlahir menjadi anak haram bukanlah sebuah cita-cita. Tapi takdir. Takdir yang KELAM