🌸🌸🌸
Langit terlihat merah. Semerah tanah pusara yang sedang dikelilingi beberapa orang berbaju serba hitam. Sore itu, Hasan muda, Pak Hasan, Pak Ujang, beberapa tetangga dan teman-teman Hasan muda masih hanyut dalam doa. Sedangkan Pak Hotmantri yang non muslim hanya berdiri terpekur beberapa langkah di belakang mereka.
Hasan muda menyembunyikan matanya yang sembab dibalik kacamata hitam. Hidungnya memerah seiring wajahnya yang terlihat pias.
Pak Hasan menggenggam pundak putranya seolah memberi kekuatan. Ingin hatinya memeluk namun ia canggung.
"Amiin...." ucap si pemimpin doa. Semua yang hadir sontak menyapukan telapak tangan mereka ke wajah masing-masing.
Perlahan, mereka yang ada di sana bangkit, dan bergantian memeluk dan menyalami Hasan muda sebagai tanda duka cita.
Sebelum beranjak pulang, Pak Ujang menarik lengan Pak Hasan dan memberi kode untuk tetap tinggal. Setelah yang lain berlalu. Barulah ia membuka mulut.
"Ibu kandung Hasan, juga dimakamkan disini."
Pak Hasan terdiam sesaat. Lalu mengikuti ke mana langkah kaki Pak Ujang.
Makam itu hanya memiliki sebuah nisan sederhana yang di dalamnya tertulis tanggal lahir Hasan muda, 11 September 2001 dan sebuah nama 'Anida Nur Aini'. Tanpa binti.
Hasan muda lebih dulu menunduk dan duduk di sisi Nisan. Diusapnya nisan yang sudah berdebu tebal itu dengan telapak tangannya yang putih.
" Aku datang, Mama," bisiknya. Diciumnya nisan itu dengan khidmat.
"Maafkan aku, baru datang sekarang," sambungnya. "Semoga Allah membalas semua pengorbanan Mama untukku." Kembali mata itu memanas. Perih.Pak Hasan hanya mematung. Ditatapnya nisan itu lekat-lekat. Teringat senyuman manis gadis berambut panjang yang telah mematahkan hatinya tujuh belas tahun lalu.
"Andai aku tau, Anida ... andai kau datang padaku sekedar menamparku, mengabari kehamilanmu, aku pasti ...." Pak Hasan terduduk. Ia menangis terisak-isak. "Maafkan aku ... Anida ... maafkan aku ... semua salahku ...."
🌸🌸🌸
Pukul setengah sembilan malam, Setelah acara Yasinan selesai, ruko dua lantai itu kembali sepi. Hanya tersisa tiga lelaki yang masih duduk bersila di tengah-tengah ruangan.
"San, Papa besok harus balik ke Padang. Kamu mau bareng Papa?" Pak Hasan berusaha membuka suara. Pak Hotmantri melirik ke arah Hasan, ikut menunggu jawaban.
Hasan muda menggeleng. "Kasih Saya waktu Pak," jawabnya lemah. Pak Hasan mengangguk seolah mengerti.
"Pulanglah ke Padang kalau sudah siap. Tapi jangan lama-lama. Kamu juga harus mulai sekolah kan?" lanjut Pak Hasan.
Anak muda itu hanya mengangguk."Istirahatlah dulu nak Hasan," timpal Pak Hotman yang sedari tadi hanya diam saja. Dengan patuh Hasan muda mengangguk lagi. Lalu ia berdiri dan masuk ke kamar. Bukan ke kamarnya sendiri, namun ke kamar almarhum ayahnya.
🌸🌸🌸
Malam semakin larut. Pak Ujang yang baru selesai membereskan rumah, terlihat sangat penat. Ditatapnya sekeliling rumah. "Rumah ini dulu begitu hangat, ramai dan berisik. Kenapa sekarang suram sekali ya?" lirihnya.
Setelah membuat kopi panas dan mengambil beberapa makanan di kulkas, Pak Ujang duduk sendirian di ruang santai keluarga. Ruangan itu tidak terlalu kecil. Ada satu set TV LED lengkap dengan sound systemnya. Diliriknya jam dinding, sudah pukul 02.00 dini hari.
"Ke mana aku setelah ini, Pak?" Pak Ujang membatin. Ia menduga Hasan muda akan menjual seluruh rumah dan toko sebelum pulang ke Padang. Disesapnya kopi panas itu perlahan.
Fikiran Pak Ujang menerawang jauh ke masa lalu.
(Flashback)
Malam itu sangat sepi. Pak Ujang yang baru dua bulan bekerja di sebuah toko elektronik kecil, sudah beberapa hari ditinggal pulang kampung oleh majikannya. Sendirian.
Entah memang sudah percaya atau memang karena kepepet, sebab seperti yang ia dengar, Ibu si majikan meninggal dunia.
Waktu itu usia Pak Ujang masih sekitar 25 tahun. Ia yang sebatangkara, merasa sangat beruntung bisa bekerja pada majikan yang muda, tampan, dan sangat baik padanya.
"Bang Ujang ... Bang Ujang ...." teriak seseorang menggedor-gedor toko membuat Ujang terlonjak kaget. Setelah memastikan itu adalah suara Anton, Ia segera menghambur membuka rolling door.
"Tolong jaga Shuri di rumah. Aku harus ke Rumah Sakit sekarang." Anton masih setengah ngos-ngosan.
"Baik Pak," jawab Ujang singkat tanpa bertanya. Setelah mengunci toko, ia langsung naik di belakang Anton yang buru-buru memacu sepeda motornya.
Ujang menautkan kedua alis. Dilihatnya seorang wanita berambut panjang duduk di teras rumah. Pakaian seadanya dan wajah yang kusam membuat Ujang menyangka bahwa wanita itu adalah seorang tunawisma. Dengan sedikit merintih menahan sakit, wanita itu terus saja memegangi perutnya yang bulat.
Tak lama, Anton dan istrinya keluar. Anton langsung menyalakan motornya. Ujang yang cepat tanggap bergegas membantu memapah wanita itu naik di belakang Anton. Setelah istrinya ikut naik, barulah Anton melaju dan hilang menembus malam.
Itulah pertama kalinya Ujang melihat Anida. Setelah beberapa hari, wanita itu terlihat lagi di rumah majikannya.
Berbeda dengan sebelumnya, wanita itu jadi lebih terurus. Rambutnya tak pernah ia biarkan tergerai. Kulitnya yang putih bersih, dan, wajahnya, terlihat serupa dengan Anton.
Ujang yang semula banyak diam, memilih bertanya pada Anton.
"Dia kembaran Saya. Kenapa, cantik kan?" seloroh Anton menggoda Ujang yang mulai memerah.
"Dia tak punya suami. Panjang ceritanya. Dari pada dia menderita di kampung sendirian, biarlah dia disini. Saya masih sanggup menanggung biaya hidupnya," jelas Anton seperti menangkap pertanyaan di mata Ujang. Sekilas terlihat sisa kemarahan di garis-garis wajah seiring dengan rahangnya yang mengatup rapat.
Ada desir bahagia di hati Ujang kala itu. Namun baru melayang sesaat, akal sehat kembali memaksa menatap bayangan dirinya di dalam cermin besar yang terpajang di sisi kiri toko. Tidak. Mana mungkin. Dirinya hanyalah seorang miskin yatim piatu. Mana mau Anton menjadikannya adik ipar.
Sebulan kemudian, lagi-lagi Anton menggedor rolling door toko di tengah malam. "Anida pecah ketuban," ujar Anton singkat. Sama seperti sebelumnya, Ujang diboyong ke rumah mereka untuk menjaga Shuri.
Melihat kondisi Anida yang meringis kesakitan, tungkai Ujang terasa lemas. Langsung ia berlari ke jalan.
"Tak mungkin naik motor, Uda!!" teriaknya. Ujang kalang kabut menyetop angkutan umum yang masih lalu lalang, sedangkan Anton dan istrinya berusaha menenangkan Anida.
Tak lama berselang, kembali Ujang menatap kepergian mereka menembus malam. Hening.
Menjelang subuh, Ujang gelisah. Seharusnya Anton sudah pulang seperti waktu itu. Ditatapnya wajah Shuri yang terlelap kembali setelah minum susu botol.
Bergegas ia ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan sholat hajat.
Dalam Khusu' nya doa, Ujang meminta keselamatan keduanya. Ia tak sadar, rasa cemas yang ia rasakan melebihi seorang suami.
Namun sayang, Pagi harinya, kabar bahagia kelahiran berbaur dengan kabar duka. Anida pergi selamanya tanpa sempat mendengar ungkapan cinta dari Ujang.
Tangis bayi laki-laki itu mengantar jenazah ibunya pulang. Selamanya.
(Flashback end)
Pak Ujang melirik jam dinding sekali lagi. Sudah pukul 04.00 pagi. Direbahkannya tubuhnya yang kurus di lantai yang hanya berlapis tikar. Kopi panasnya sudah tak ia hiraukan lagi. Sudah dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
KELAM
Детектив / ТриллерDia dipelihara, tapi bagai dibuang. Dia disayangi, tapi juga dibenci. Darah yang mengalir di tubuhnya disebut-sebut sebagai darah kotor. Sekotor apakah? Terlahir menjadi anak haram bukanlah sebuah cita-cita. Tapi takdir. Takdir yang KELAM