Maxel Brain Pratama, Ray.

36 4 0
                                    

    Siang yang cerah di hari ini, hari senin di bulan desember. Sepertinya cuaca hari ini tengah berpihak pada kami. Hari yang sangat kami tunggu di bulan ini, dimana akan ada begitu banyak outbond yang akan kami ikuti. Ya, acara persaudaraan asrama putra dan asrama putri yang sudah menjadi program asrama selama beberapa tahun terakhir di setiap tahunnya. Kami semua di kumpulkan di lapangan asrama putra, di awali dengan pembagian kelompok. Dimana asrama putra dan asrama putri digabung dan di bagi dalam beberapa kelompok.
    Aku mendapat bagian di kelompok 8, hmm.. sepertinya angka 8 ini mempunyai makna berarti bagiku. Karna ntah mengapa, setiap kali ada pembagian kelompok, aku selalu mendapat bagian di kelompok 8. Dan di sini ada sekitar 13 kelompok, setiap kelompok memiliki anggota kelompok sekitar 10 sampai 12 orang. Aku tidak terlalu mengenal mereka. Kecuali seniorku di asrama dan Silvy, satu angkatanku, selebihnya anak asrama putra. Kami begitu kompak, bekerjasama dengan baik. Walau aku sedikit canggung, karna aku tidak memiliki percaya diri yang cukup di tengah keramaian ini. Akupun masih belum terlalu terbiasa berdiri di tengah keramaian setelah kepergian papa.
Sebelum memulai outbond, setiap kelompok disuruh untuk membuat yel-yel masing-masing. Kami di beri waktu 15 menit untuk membuatnya dengan baik, hingga akhirnya kami di minta untuk mempertunjukkan yel-yel kami. Grogi sih.. Tapi ada senior, jadi harus tegas dan jangan main-main. Tibalah dengan acara outbond yang akan kami ikuti. Sebelumnya, setiap kelompok di minta untuk berbaris berbanjar satu dan saling berpegangan tangan sebagai acuan untuk membuat barisan yang lurus. Kebetulan, di samping kananku berdiri seorang pria yang nampaknya lugu dan pendiam. Rasa malu dan segan menghinggapi perasaanku, hingga membuatku enggan perpegangan tangan dengannya.
    "Ren, gimana nih.. Aku malu. Menurutmu, dia ini adek kelas apa satu angkatan kita?", tanyaku berbisik dan menoleh kebelakang.
    "Russel, gitu aja kok malu sih.. Palingan adek kelas doang. Lihat tuh mukanya, lugu banget", ledeknya.
    "Ah, Iren. Iya ya, kayaknya emang adek kelas nih. Aku pegang aja", kataku sambil menggenggam tangan pria itu.
Dia tersenyum, dan aku membalas. Semua outbond pun akhirnya usai pada jam 18:00 WIB. Sungguh pengalaman yang begitu mengesankan di tahun ini. Kerja keras, perjuangan, kebersamaan, marah-marah, tertawa, teriak, menang, semua kami lalui hingga membentuk sebuah kisah yang tak terlupakan. Panitia seluruh acara ini pun memberi pengarahan supaya besok sore, kami semua berkumpul di asrama putri untuk melanjutkan acara. Hmm, perayaan ulangtahun, pengumuman pemenang, malam keakraban dan menutup. Gak sabar buat besok. Capek sih, walau acara hari ini membuatku lemas dengan sakit di kepalaku namun setidaknya mampu membuatku berhenti sejenak dari pikiran dan duka yang mengiriku selama setengah tahun terakhir.
    Kamipun berjalan hendak kembali ke asrama. Pria tadipun menarik tanganku sambil tersenyum. Dia memberikan sebuah balon pink dengan bulatan putih di sekelilingnya untukku. Sepertinya bekas outbond terakhir tadi, yang segaja dia simpan.
    "Untukmu", sambil tersenyum malu dia menyodorkannya ke tanganku.
    "Untukku?", tanyaku heran.
Dia menganggukkan kepala, pertanda hendak berkata iya.
    "Hemm, cantik. Aku suka", kataku.
    "Iya", jawabnya singkat.
    Kami terdiam hingga beberapa saat saling memperhatikan.
    "Adek kelas ya?", tanyaku.
    "Bukan, kelas 2. Sama sepertimu. Kamu anak kelas 2IPA-A kan? Kalo aku sih, 2IPA-C", jawabnya.
    "Hehe.. maaf ya, kirain adek kelas. Kamu lucu sih..", kataku tertawa kecil.
    "Gak papa kok", katanya tersenyum.
Rasanya, kepalaku ini semakin sakit, aku begitu pusing dan rasanya aku ingin terjatuh. Dia menyodorkan tangan, sepertinya ingin berkenalan.
    "Kenalin, Aku Maxel Brain Pratama. Kamu bisa memanggilku Rayen", katanya mengenalkan diri.
    "Kalo Ray? Boleh?", tanyaku lemas sambil mengusap kepalaku yang terasa sakit dengan berusaha menopang kuat tubuhku yang ingin terjatuh.
    "Boleh. Kamu pucat, kecapean ya?"
    "Hmm... iya nih. Capek, seharian ikut outbond. Dan namaku.."
    "Russel kan?", katanya memotong.
    "Iya, aku Russel. Ananda Putri Russel", kataku tersenyum.
    Rasanya kepalaku semakin sakit, kurasakan sesuatu mengalir dari hidungku, aku mimisan lagi. Aku terjatuh tak mampu menopang tubuhku yang kian lemas, kurasakan kedua tangannya menggenggam tubuhku. Aku masih bisa merasakan saat dia membopongku. Kulihat kecemasan yang begitu dalam di wajahnya, kecemasan yang belum pernah ku lihat sebelumnya, sementara aku masih baru mengenalnya.
    "Maaf", kataku lemas memandang kedua matanya.
    "Iya, gak papa Russel, Ray bakal bawa kamu ke klinik"
    "Ah, sakit", kataku dengan air mataku yang kemudian mengalir tak mampu menahan sakit di kepalaku.
   "Sabar ya. Coba pejamkan matamu, tenang dan rileks, sakitnya akan hilang. Sebentar lagi kita sampai", katanya menenangkanku.
    Setelah kira-kira 10 menit kamipu sampai di klinik. Dia meregahkan tubuhku di atas ranjang klinik. Kurasakan seseorang membersihkan darah di hidungku, hingga akhirnya aku tidah bisa mendengar dan merasakan apa-apa.
    Saat aku terbangun, ku rasakan sesuatu menempel dihidungku, semacam plester yang sengaja di tempel, mungkin untuk menghentikan darah dari hidungku. Aku berusaha bangun.
    "Aw.. Hidung sama kepala Russel kok sakit banget ya? Serasa tidur 1 abad", kataku merengek.
Seseorang menggenggam tanganku, membantuku duduk. Ku coba memperjelas pandanganku padanya.     "Eh, Ray", kataku kaget. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Seorang perawat tampak mendekati kami dan tersenyum dengan ramah.
    "Gimana nih, udah enakan ?"
    "Udah suster, hidungnya yang agak masih sakit"
   "Iya, tadi di bersihin soalnya, padahal di bius loh. Tapi mungkin biusnya udah habis, makanya jadi terasa sakitnya. Udah sering mimisankan ? Jangan di biarin dek, bahaya loh."
    "Hehe.. iya kak. Kapan-kapan aku periksa deh",kataku.
    "Oh ya, adek ini baik loh. Udah 3 jam lebih nungguin kamu siuman"
    "Iya? Makasih ya Ray" kataku memeluknya spontan. Hingga membuatku malu dan melepaskan kedua tanganku.
    Dia pun tersenyum malu, pipinya memerah. " Russel, Ray duluan ya ke asrama ? Gak papakan di tinggal dulu ? Banyak tugas soalnya.."
    "Pulang aja, gak papa kok. Lagian udah malam, takut kena marah nanti. Russel gak papa kok disini, nanti bisa minta di jemput sama Yos atau Jun", jawabku tersenyum.
    "Oh, yaudah kalau gitu. Ray pulang dulu ya, get well soon teman"
    "Iya, sekali lagi makasih"
Dia tersenyum dan berjalan keluar meninggalkan klinik. Mataku terus saja mengiringi sepanjang langkah kakinya. Aku tersenyum mengingatnya. Pria misterius, tapi baik sih, benakku.

I Will Go OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang