It's easier to part the sea than forget about what you mean to me, my hero.
Aku teringat pembicaraanku dengan papa di telpon minggu lalu, tentang rencana yang sudah papa dan Tony buat untukku. Minggu, 27 Agustus, rasanya aku sangat ingin pulang ke rumah. Ntah kenapa aku sangat rindu papa sekarang. Tapi, untuk minta izin kepada pembinakupun aku tidak berani.
Hari ini begitu berat kujalani, rasanya aku hanya ingin sendiri. Menghilangkan semua hal yang mengundang kepenatanku. Aku berjalan menuju bangku taman di samping gereja, duduk dan membiarkan tubuhku mengalir bersama desiran angin yang menyatu dengan alam. Aku ingin menghilangkan semua kecemasanku yang tak menentu.
Tuhan, saat ini Russel sangat cemas, ntah karna apa. Russel rindu papa, Tuhan. Russel pengen pulang. Saat tengah hanyut dalam kerinduanku akan ayah, tiba-tiba seorang wanita berperawakan cantik mendekatiku dan duduk disebelahku.
"Huh... Kak Rezy. Kirain siapa, buat kaget aja"
"Kok menyendiri? Lagi ada masalah?"
"Nggak kok kak. Cuma lagi gak mood aja. Kakak ngapain ke sini, sampai nyamperin Russel ketempat ini ?", kataku memeluknya senang.
"Papa..", katanya dengan suara sedikit purau dan hampir tidak jelas. Airmatanya jatuh.
"Papa kenapa kak ?", tanyaku sedikit takut.
"Papa..... papa kambuh lagi, Sel. Papa blooding, sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit"
Dugghhhhhh... aku kaget. Bibirku gemetar dan tangisku pun pecah. Pikiranku kacau dan aku kehabisan akal. Kak Rezy mengajakku kembali ke asrama untuk meminta izin. Pembinaku menyuruhku membereskan semua barang-barangku hingga akhirnya menyuruhku duduk di sampingnya. Dia menanya banyak hal tentang papa hingga akhirnya berkata..
"Papamu sudah tenang, nak"
Akh tertawa. Dalam pikiranku, aku berpikir bahwa papa selamat dan kini sudah sehat.
"Papamu sudah tenang, Russel", katanya lagi.
Aku tersenyum bingung memandangnya, mencoba mencerna apa yang baru dikatakannya.
"Russel, papamu sudah tenang, sayang", katanya lagu sambil mengelus lembut tanganku.
Tangisku pecah. Ku pandang kak Rezy dengan penuh kekecewaan. Pikiranku buyar, seluruh dunia seakan runtuh menimpaku. Aku tak percaya ini, semua bagai mimpi belaka. Hatiku hancur, aku benci hidupku. Kupeluk pembinaku begitu erat, dengan penuh luka kuluapkan semua duka yang menghimpit jiwaku di pundaknya. Aku tak mampu membendung air mataku yang kian meluap.
"Papaaaaaaaaa!!!", teriakku keras dengan luka yang membuatku semakin tersiksa.
"Tenang, Russel.. Papamu sudah tenang disana. Mungkin ini jalan yang terbaik. Doakan yang terbaik untuk papamu. Yang kuat ya, nak. Jadilah penyemangat untuk mama dan saudaramu", nasehatnya.
"Maafkan kakak Russel. Kakak terpaksa membohongimu, supaya kamu tidak syok. Kakak tidak tega melihatmu menangis"
Aku tak menjawab, aku hanya ingin menangis dengan semua rasa kecewa yang begitu menyesakkanku. Hingga kurang lebih 1 jam aku menangis dalam posisi yang sama.
Ku angkat kepalaku, aku memandang wajah kak Rezy dan pembinaku dengan isak tangis. Aku begitu lemas, hingga mereka memberiku minum dan berusaha menenangkanku.
"Kak, Bu, Russel mau pulang. Russel mau lihat papa"
"Iya nak, yang kuat ya. Hati-hati di jalan", kata pembinaku sambil mengantarkan kami ke gerbang asrama.
"Permisi ya bu"
"Iya. Kuat ya, Russel"
Mobil pun melaju dan meninggalkan asrama. Aku duduk sendirian di belakang supir, sementara kak Rezy duduk di samping supir. Gemetar hati mengingat masa lalu bersamamu, tentang tutur katamu, canda, tawa serta kasih sayangmh. Aku menangis dengan sejuta kenangan yang berputar kembali di memori ingatanku. Takkan ku lihat lagi senyumanmu hingga akhir aku menjalani hidup ini. Semua ini terlalu menguras energi dan semangatku, hingga membuatku tertidur dalam tangis yang masih saja membasahi pipiku.
Tidak terasa, 13 jam perjalanan kami lalui. Hingga kami pun sampai di gang masuk ke rumah. Dari kejauhan yang begitu gelap aku masih mampu melihat sebuah bendera kuning kecil. Tak kuasa aku membendung airmata, aku keluar dari mobil dan berlari ke rumah. Ku lemparkan sepatuku dan ku hempaskan pintu begitu kencangnya.
"Papa..........", aku menangis begitu keras dalam luka yang semakin menyayat batinku. Ku dekap erat tubuh papa yang sudah terbujur kaku di atas selembar papan putih. Aku hanya ingin disini, bersama papa. Jika bisa, aku ingin memumikan papa dan memuseumkannya agar aku dapat selalu melihatnya disini, di sisiku.
Mama terkejut, menangis dan memelukku begitu kencangnya, mengelus rambutku serta berusaha membuatku tenang. Ku lihat sekilas, mata mama begitu sembab.
"Ma... Papa, ma.. Papa.. Pa, papa bohong, ini sudah kedua kalinya. Mana janji papa, mana pa. Pa, bangun.. Papa udah janji ngerayain ulangtahun Russel, papa udah janji akan selalu hadir buat Russel. Mana pa? Mana..", aku terus menangis, aku hanya ingin menyesali semua janji-janji papa.
Mama berusaha menarikku. Aku menggeliat menolak, aku hanya ingin disini bersama papa.
"Jangan ma, Russel mau disini sama papa"
"Nak, mama ngerti. Tapi tolong dengar mama nak, tunggu kak Randy datang. Nanti kalau di giguin terus, wajah papa bisa lecet nak. Kak Randypun pengen liat papa untuk yang terakhir kalinya", mama memohon lembut.
Aku mengangguk dan membiarkan diriku dituntun mama. Mama menyuruhku tidur, karna aku sudah sangat lelah dalam perjalanan yang teramat panjang, ditambah lelah karna menangis seharian. Supaya aku fit dalam acara besok, pemakaman papa.
Jam 6 pagi aku terbangun. Ku pandang wajah papa yang begitu pasih tak berdaya, aku kembali menangis dan menangis. Ku bisikkan sebuah lagu dengan isak tangis, lagu yang sering papa nyanyikan dulu. Titip Rindu Buat Ayah, dengan penyanyi Ebiet G. Ade. Hidupku serasa tak lagi berdaya, salah satu penopangku kini sudah tiada. Aku tak tau bagaimana hendak berdiri tegak. Aku ingin membiarkan tubuhku mati bersama papa.
Tiba-tiba, dari kejauhan ku lihat sederetan orang berpakaian serba merah dan hitam membawa rangkaian bunga, memang tidak terlalu jelas ku lihat dikarenakan mataku yang sudah sangat bengkak karna menangis. Kulihat airmata jatuh perlahan di pipi mereka sambil serentak masuk ke dalam rumah. Ternyata saudari-saudariku dari asrama. Mereka memelukku dan menangis. Kukira mereka takkan datang karna lamanya perjalanan kerumahku, sekitar 13 jam. Ternyata mereka bukan hanya teman saat suka, namun juga dalam dukam aku begitu terharu.
"Russel, disini kami datang sebagai saudarimu, kekuatanmu. Sebagai saudara yang akan selalu menyemangatimu. Yang kuat ya Russel", kata Mary
"Russel, papamu orang yang baik, sangat baik. Sehingga Tuhan tidak tega melihat papamu merasakan sakitnya hidup di bumi ini" lanjut Yoseva.
Mereka semua memelukku, dan menghapus airmataku. Mereka menggenggam begitu kuat jemariku.
"Kami semua menyayangimu, Russel. Jadilah wanita yang kuat, wanita kuat yang kami kenal", bisik June di telingaku.
Satu persatu mereka mengucap turut berbela sungkawa atas kepergian papaku, dan diakhiri oleh pembina kami yang memberikan kekuatan dan motivasi untuk membuatku bangkit dan tidak terpuruk.
"Russel, disini kami akan membawakan sebuah lagu untuk semua keluarga, terlebih untuk Russel, saudari tercinta kami", kata Theressa.Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahanEngkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setiaAyah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung bebanEngkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setiaDengan airmata yang perlahan menetes mereka menyanyikannya. Hingga mengundang isak tangis kami semua yang berada di rumah ini. Aku semakin hanyut dalam kenangan bersama ayah karna lagu yang mereka bawakan. Semua ini terlalu menyesakkanku, hingga membuat air mataku hendak habis karna menangis. Aku lelah, ingin rasanya aku ikut dengan papa. Menagis memang terlalu menguras tenaga, tanpa kusadari membuat tenagaku perlahan melemas hingga akhirnya aku pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Will Go On
Ficțiune adolescenți"I'm in love with you, even I have given all my heart to you. But time doesn't give me permission to always be with you." Aku mencintaimu, sangat. Aku ingin kamu menggenggam erat tanganku, tersenyum dan menguatkanku, meyakinkanku bahwa dunia tak leb...