Bagian Tiga

129 20 0
                                    

"Tepat di bawah lampu taman, di bawah langit gemerlap bintang gemintang, aku menyatakan perasaan ku padanya.Ku katakan dengan sejujurnya, jika aku mencintainya. Jawabannya sederhana sekali, hanya anggukan satu kali dan wajahnya memerah malu."

...

Tiga hari setelah pertemuan di taman,

Setelah tiga hari awal kami bertemu, aku jadi lebih sering menghubungi Hilda via telepon. Sesekali membicarakan bagaimana pekerjaannya di kantor, atau bagaimana dengan liburan kuliahku - melakukan hal apa saja. Bahkan dia sampai meneleponku hampir tiga kali dalam satu hari. Layaknya minum obat, akulah sebagai obat rindu baginya - begitu katanya.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertemu kembali. Tepat di hari sabtu malam, hari itu ku putuskan untuk bertemu. Di tempat yang sama. Bedanya, nanti tidak akan ada lagi teriknya matahari. Yang ada, kemerlap gemintang yang menerangi malam kami berdua di bawah lampu taman, di bawah langit nan indah dipandang mata.

Untuk pertemuan kali ini, aku tidak akan mengajak Ella. Sebab ku pikir, ini adalah pertemuan yang spesial. Juga, pertemuan kali ini adalah saat yang tepat untuk mengutarakan rasaku padanya.

Sabtu pukul tujuh - saat bintang gemintang memancarkan sinarnya.

Aku sudah rapi sejak pukul enam tadi. Beberapa semprotan minyak wangi mengenai baju biru lengan panjang dengan gambar bulu-bulu merpati yang memenuhi kainnya. Lalu aku memakai jaket abu-abu dengan logo 'Vans' di ujung dada sebelah kiri. Aku siap untuk berangkat. Memberikan kabar via pesan singkat kepada Hilda, bahwa aku berangkat. Dia menjawab 'Hati-hati ya, aku juga sedang perjalanan.' begitu pesan yang ku terima.

Ku hidupkan mesin motorku, memakai helm dan mengaitkan pengaitnya 'Klik' begitu bunyinya. Lalu motor pun melaju kencang. Di pertengahan jalan, saat sedang lampu merah, ada seorang Ibu penjual bunga per tangkai yang sudah dikemas rapi. Aku memanggilnya.

"Bu, harga bunganya berapa?" aku sedikit tersenyum, sang Ibu dengan ramah menjawab.

"Satu tangkainya dua puluh lima ribu Mas." Aku mengangguk, ku raih dompet yang ada di celana bagian belakang. Agak sulit memang, butuh sedikit berdiri, untuk segera keluar dari saku. Setelah berhasil, ku ambil uang selembar dua puluh ribu dan selembar sepuluh ribu, lalu memberikan padanya. Dia memberikan setangkai bunga itu, aku memasukkannya ke dalam jaket yang ku kenakan, agar tidak terjatuh. Sang ibu mengambilkan uang kembalian, lima ribu rupiah.

"Terima kasih bu." Aku tersenyum lalu mengangguk, sang Ibu membalas senyum. Sepuluh detik lagi, lampu akan berubah menjadi oranye lalu hijau. Motor melaju setelah sepuluh detik berlalu.

Aku sampai di parkiran taman tersebut. Lumayan ramai. Sebab ini adalah malam untuk orang-orang yang sedang kasmaran - malam minggu. Motor ku parkirkan, salah satu petugas parkir membantuku, katanya 'Mas, jangan dikonci stang ya.' aku mengangguk untuk mengiakan. Bunga yang ku beli tadi, ku ubah posisinya agar tidak tertekuk.

Sampailah aku di kursi taman yang sama seperti kemarin lusa. Untung saja tidak ada orang di sana. Orang-orang lebih memilih nongkrong di pendopo, tempat kami berlindung dari terik kala itu. Aku bergegas untuk menempatinya lebih dulu. Lalu mengeluarkan ponsel, menghubungi Hilda. Teleponku tersambung,

"Hallo, kamu di mana?" suara bising terdengar di seberang sana, juga suara sahut-sahutan klakson mobil.

"Maaf, aku terjebak macet." keluhnya, masih terdengar sahut-sahutan klaskon mobil. Kali ini lebih ramai terdengar.

"Iya tak apa. Aku tunggu ya, aku sudah di taman. Tepat di kursi yang kemarin ya, bukan di pendopo loh." Aku sedikit tertawa, menjelaskan posisiku, agar ia tidak perlu repot mencariku.

Merpati yang Terbang, Tak Kembali Pulang [SUDAH TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang