Bagian Empat

23 19 0
                                    

...

Seminggu sudah,

Setelah satu minggu aku berhubungan dengan Hilda, kami berdua kerap bersama. Hilda yang biasanya mengendarai mobil jika ke kantor, kini memintaku untuk mengantarnya dan juga menjemputnya saat pulang. Alasanya sederhana, agar tidak terjebak macet, juga agar bisa bersama denganku terus. Sehari, dua hari, tiga hari, aku biasa saja. Namun sudah selama seminggu ini, aku merasa lelah. Itu sebabnya, hari ini aku beralasan tidak bisa mengantar dan menjemputnya. Aku beralasan, ada urusan di kampus. Padahal tidak, aku libur semester hampir satu bulan lamanya. Aku hanya berusaha menghindar saja.

Kumanfaatkan waktu untuk bertemu dengan Ella. Jujur saja, aku belum bercerita padanya, jika aku sudah memiliki hubungan dengan Hilda. Selain karena malas, aku juga merasa tidak enak, jika aku tidak mengajaknya malam itu.

Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk bercerita padanya. Sepeda motor telah siap untuk melaju. Aku yang mengenakan kaus oblong dibalut dengan jaket, dan mengenakan celana pendek selutut, bergegas ke rumahnya. Sampai didepan gerbang, aku melihatnya yang sedang asyik membaca buku di kursi depan teras. Mengetahui suara knalpot motorku, ia langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Ri..." ditutupnya buku yang sedang ia baca,

"Masuk." Diletakkan buku itu diatas meja kecil yang berada disamping kanannya. Aku memarkirkan sepeda motorku. Membuka gerbang putih tersebut, lalu masuk.

"Duduk dulu Ri, aku mau ambil minum dulu." Aku segera mendaratkan bokongku diatas kursi kayu itu. Sementara Ella mengambil minuman untukku.

Aku menyandarkan punggungku, menatap ke pekarangan rumah yang ditumbuhi oleh bunga-bunga indah – mirip seperti yang ada di rumah Pamannya. Aku tidak tahu, apa saja jenis bunga tersebut – mungkin Anggrek. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Membuat diriku merasa tenang. Melepas sejenak kelelahanku terhadap hubunganku dengan Hilda.

Selang beberapa menit, Ella datang membawakan dua gelas – sepertinya minuman rasa jeruk. Ia selalu tahu kesukaanku.

"Minum dulu nih, panas-panas begini enaknya minum es jeruk..."

"Ri, tolong pegang buku itu dulu." Pintanya. Kuambil buku diatas meja kecil itu, lalu ia menaruh dua gelas minuman itu di atasnya. Dan duduk di sebelahku – dipisahkan dengan meja kecil diantara kami berdua.

"Ada apa Ri? Tumben kamu siang bolong ke sini.." tanyanya setelah meneguk minuman rasa jeruk yang digenggamnya.

Aku pun meneguk minuman itu, lalu menaruhnya kembali "Ada yang mau aku ceritakan ke kamu La."

"Ya memang selalu begitu kalo kamu ke sini. Tenang, aku selalu menjadi pendengar yang baik kok." Ia menaruh gelas yang digenggamnya ke atas meja – minumannya tinggal setengah.

Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya.

"Aku memiliki hubungan dengan Hilda," ia tercengang mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibirku.

"Sudah seminggu yang lalu. Maaf. Aku baru bercerita ini padamu. Aku salah." Aku mengambil kembali gelas yang berisi es jeruk di atas meja. Meneguknya sekali, untuk menenangkan diri.

"Aku pun salah menentukan pilihan untuk memilihnya. Kupikir dia itu cocok denganku. Ternyata tidak. Aku tidak merasa benar-benar menjadi kekasihnya. Lebih tepatnya, menjadi ojek langganan baginya." Ia masih saja mendengarkan, aku meneguk sekali lagi, minuman yang masih kugenggam.

"Menurutmu, apa aku tetap bertahan dengannya; atau pergi meninggalkannya?" aku mengangkat kedua alisku. Dia menatap mataku, lalu berdeham.

"Oke, pertama-tama; aku memaafkanmu. Karena kamu nggak ngasih tau aku soal Hilda. Dan yang kedua, itu adalah pilihanmu. Coba kamu tanya sama diri kamu sendiri deh. Kamu mau tetep bertahan, atau enggak." Aku mengangguk mafhum. Jawabannya adalah hatiku sendiri, mau tetap bertahan dengannya, atau pergi meninggalkannya – secara baik-baik tentunya.

Merpati yang Terbang, Tak Kembali Pulang [SUDAH TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang