Bagian Lima

33 19 0
                                    

...

Liburan telah usai.

Aku membawa luka untuk kembali ke indekos, berkumpul bersama para sahabat. Agak berlebihan jika seorang lelaki menunjukkan luka di hadapan teman-temannya. Ah, paling-paling, nanti dikatakan lebai, lemah, dan parahnya disebut cengeng. Padahal lelaki juga butuh bercerita, juga butuh diperhatikan, juga butuh di dengar, dan lelaki juga bisa menangis, apa salahnya? Mungkin sebagian lelaki hanya ingin dilihat kuat, padahal pura-pura kuat.

Aku tinggal di indekos, tidak seorang diri. Ada tiga orang lainnya yang hidup di satu rumah yang cukup luas. Namun, kekurangannya adalah, tidak banyak peralatan memasak yang kami punya. Jadi, untuk makan, kami mesti selalu beli di warung Bu Juju –warung nasi yang letaknya tidak jauh dari indekos kami. Meski begitu, kami tetap mensyukurinya.

...

Arya Rana, lelaki yang memiliki tubuh hampir seperti pohon kelapa, berkacamata, kerempeng, dan suka membaca buku ini adalah teman pertamaku. Bertemu tatkala kami sedang mengikuti kegiatan penerimaan mahasiswa baru, aku lupa nama singkatannya. Saat itu aku sedang duduk di bawah pohon beringin dekat gedung Fakultas Tarbiyah –terdapat tempat duduk yang terbuat dari batang pohon yang dibentuk layaknya tempat duduk. Cuaca cukup terik, peluh mulai berjatuhan. Ketika sedang mengusap peluh, datanglah lelaki bertubuh tinggi itu, duduk di sebelahku dengan membawa buku bersampul merah, dengan judul "Catatan Juang". Aku tahu buku itu, penulisnya adalah idolaku. Karena judul buku itulah, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Bro, ente suka karya Fiersa Besari juga?" dia melihatku, memalingkan matanya dari tulisan yang sedang ia baca.

"Eh, iya bang. Ente juga suka emangnya?" jawabnya, lalu menempatkan tanda baca pada halaman terakhir ia baca, dan menutup buku itu. Kami lanjutkan perbincangan itu. Sampai-sampai kami lupa, jika pukul satu siang, para mahasiswa berkumpul dan masuk ke kelasnya masing-masing.

Katanya, dia memilih jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) dan ditempatkan di kelas 1b. Meskipun kegemarannya adalah membaca, tetapi menjadi seorang desainer adalah cita-cita dalam hidupnya. Mungkin, bisa saja dia nantinya jadi desainer cover novel para penulis terkenal, iya kan? Kenapa tidak.

"Wait, bro!" panggilku, ia menoleh.

"Your name bro, saha?" tanya ku melambaikan tangan.

"Arya bang, Arya Rana!" teriaknya.

"Ane Fahri. Pulang nanti, kumpul lagi di sini." Ia hanya mengacungkan jari jempol kanannya, pertanda mengamini permintaanku. Kami pun saling memasuki kelas, dengan gedung yang berbeda.

Oh iya, Ella juga kuliah bersama denganku, satu Universitas dan satu prodi yang sama denganku yaitu Sastra Indonesia. Namun kami berdua berbeda kelas. Aku di tempatkan di kelas 1a sedangkan ia di kelas 1f. Dan pagi ini kami tidak berangkat bersama. Katanya, ia diantar oleh bapaknya, takut-takut terlambat, ia berangkat dari rumah menuju Ciputat sejak pukul 5 pagi. Sedangkan aku baru berangkat saja pukul setengah enam, dengan menggunakan motor bebek butut yang dibelikan ayah untukku sejak aku SMA dulu. Untung saja tidak terlambat upacara pembukaan, jika sampai terlambat, habislah aku dengan senior.

Aku memasuki kelas, yang di atas pintu tersebut tertulis (R.504) yang letaknya dilantai 5, dan dijadikan sebagai ruang kelas 1a prodi Sastra Indonesia. Di dalam kelas ini, hanya terdapat 6 lelaki –termasuk diriku. Selebihnya 24 perempuan. Begitulah kelas sastra, kaum lelaki memang jarang menyukai kesusastraan. Mereka lebih menyukai prodi olahraga.

Aku duduk di bagian belakang, tepat di samping salah seorang lelaki bertubuh pendek, kebetulan memang kursi di sebelahnya masih kosong. Dengan melemparkan senyum, aku menaruh pantatku pada kursi tersebut. Ia membalas senyumanku. Kuulurkan tanganku untuk berkenalan, "Fahri" kataku memperkenalkan diri. "Amdal, mas." balasnya.

Merpati yang Terbang, Tak Kembali Pulang [SUDAH TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang