Prolog

201K 8.9K 125
                                    

Kata orang, definisi bekerja itu bangun pagi-pagi, dandan yang rapi, memakai pakaian formal, berangkat pagi pulang sore bahkan malam, libur saat akhir pekan, gajian setiap bulan dan lain sebagainya.

Tapi bagi Elina Salsabila, bekerja itu ... mengerjakan sesuatu. Ya, harus ada sesuatu yang dikerjakan. Dan tentunya menghasilkan uang, dalam artian halal. Sesederhana itu. Tidak peduli di mana, yang penting bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Sayangnya banyak yang tidak paham dengan pendapat gadis berusia 25 tahun itu, terlebih para tetangga yang seenak jidat mengecapnya sebagai pengangguran, hidup tak punya tujuan, sarjana tak berguna, bahkan tak jarang Elina dianggap memelihara tuyul. Betapa tidak, gadis itu tetap selalu memiliki uang meski hanya tinggal di rumah saja.

Terlepas dari semua gunjingan orang-orang tentang dirinya, Elina memilih untuk tetap cuek. Toh dirinya tidak merugikan siapa pun, kan?

Elina tidak peduli berapa ratus orang yang bertanya kenapa tidak bekerja? What the ... Gadis itu sudah lelah terhadap itu semua sehingga ia lebih memilih menutup telinga. Kadang, bersikap masa bodoh memang perlu.

Pagi itu, Elina baru selesai mandi. Ia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba bunyi ketukan pintu membuat gerakannya terhenti. Siapa yang datang? Pikirnya.

"Permisi!"

Karena di rumah tidak ada siapa-siapa selain dirinya, setengah berteriak Elina meminta tamu yang datang tersebut menunggu sebentar.

Langsung saja Elina menggantung handuk kecil itu sembarangan, tak lebih dari lima menit ia sudah membuka pintu.

Ternyata yang datang adalah seorang laki-laki yang membawa undangan. Karena sudah biasa mendapat undangan akhir-akhir ini, Elina pun menerimanya tanpa memperhatikan wajah si pembawa undangan tersebut.

"Maaf, rumah Evi sebelah mana, ya?"

Pertanyaannya membuat Elina kembali memutar tubuh, ia pikir orang tersebut sudah pergi ternyata malah masih berdiri di sana. Kali ini Elina memperhatikan wajahnya dan ia tidak menyangka lelaki itu adalah Erik, orang yang pernah Elina kenal.

Elina sempat diam selama beberapa detik, bukan karena apa-apa. Tapi jujur saja ia terkejut setengah mati. Refleks gadis itu langsung melihat nama yang terpampang di undangan. Jadi Erik mau menikah? Kenapa Erik kepikiran untuk mengundang Elina di hari pernikahannya?

"Oh, rumah Evi lurus aja di gang Akasia. Rumahnya di sebelah kanan, catnya warna pink, nanti tanya aja di sekitar situ," jawab Elina.

"Makasih, ya."

Elina hanya mengangguk, sampai pada akhirnya Erik pamit dan suara motor mulai terdengar, menandakan lelaki itu sudah benar-benar meninggalkan pekarangan rumah.

Terlepas dari hubungan yang sempat memanas beberapa tahun lalu, tidak ada gunanya saling memusuhi. Ya, Elina harusnya senang Erik akhirnya menikah. Elina bahkan bisa memastikan tidak ada dendam antara mereka berdua.

Tidak ada yang patut disesali karena semua memang sudah terjadi. Mau bagaimana lagi?

Hidup mempunyai banyak proses, sementara takdir punya jalan sendiri. Apa pun yang terjadi di masa lalu, biar menjadi pelajaran saja.

Hanya saja yang membuat Elina merasa sedikit miris adalah ... kenapa Erik harus lebih dulu menikah sementara Elina masih menyandang status jomblo?

Ya, JOMBLO.

***

Baru prolog yes. Akhirnya Gia nulis lagi, jujur aja lebih 8 bulan nggak nulis rasanya gimana gitu. Kangen banget nulis tapi mau gimana, Gia punya kesibukan di dunia nyata yang bener2 nggak bisa ditinggal.

Ya mudah2an Gia punya waktu senggang buat nulis cerita ini. Nulis itu bikin hati tenang sebenernya. Makanya yang namanya nulis nggak pernah ada bosennya. Andaikan punya banyak waktu kayak dulu 😔😔

Tentang judul cerita ini, Gia bikin asal abisnya belum nemu judul yang pas. Daripada mikirin judul nggak nulis2. Mending pakai ini dulu hehe

Ya sudahlah, selamat membaca..

Butuh Pendamping?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang