"Elina, kamu kenapa?" tanya Lingga.
Alih-alih menjawab, Elina hanya mampu menggeleng. Ia sendiri masih syok dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ini bahkan sudah malam dan tidak ada hujan apalagi petir, namun Elina seolah baru mendengar petir di siang bolong.
Masih terngiang jelas di telinganya ucapan sang Mama yang bahkan tidak memberikan Elina kesempatan untuk merespons.
"Elina, kamu tahu kan istilah surga ada di telapak kaki Mama? Makanya khusus kali ini kamu nggak perlu jawab, cukup dengarkan sengan saksama. Jadi setelah Mama dan Papa berunding, kayaknya kamu butuh pendamping, deh. Apalagi Mama ngenes sendiri lihat anak Mama mirip orang ilang di acara nikahan Isabella. Pokoknya kamu harus nikah! Mama yakin kamu butuh banget pendamping. Tentang siapa pendampingnya, jangan khawatir. Biar Mama yang persiapkan, Minggu depan pertemuan, Minggu selanjutnya lamaran dan Minggu depannya lagi bisa langsung nikah. Pokonya kamu itu butuh pendamping! Jangan pernah alasan lagi nggak mau nikah cepat-cepat. Segitu Mama baik lho tak carikan pendamping buat kamu. Mama sadar kamu itu terlalu sibuk jualan sampai lupa nyari jodoh."
Sebenarnya Elina ingin bertanya apakah Mamanya mengatakan itu sembari melihat teks? Karena sungguh, apa yang Mamanya katakan itu setara dengan satu kali update cerita author favoritnya.
Elina kembali mengingat kalimat terakhir sebelum sambungan terputus.
"Mama nggak mau dengar penolakan! Pokoknya kamu harus bilang iya. Diem aja juga Mama anggap iya!"
Tapi Elina jelas tidak bisa menjawab, terlebih ia tidak memiliki kesempatan berbicara. Tangannya jadi lemas sehingga ponsel itu sudah tergeletak di meja.
"Kamu kenapa, Elina?" tanya Lingga lagi. Lelaki itu sudah kembali membawanya ke dunia nyata. Ya, tadi pikirannya seolah melayang memikirkan hal yang sangat tidak masuk akal. Menikah?
"Saya mau pulang!" jawab Elina akhirnya.
"Kamu sakit?" tanya Lingga lagi. Ia merasa perubahan ekspresi Elina sangatlah drastis setelah menerima telepon itu.
Elina kemudian mengeluarkan selembar uang dari dompetnya. "Ini buat bayar mi," katanya kemudian.
"Nggak usah, kan saya yang traktir. Kamu tunggu dulu, saya mau bayar."
Elina pun mengangguk. Ia masih kepikiran ucapan Mamanya. Elina hafal betul watak Ami Fatmawati yang begitu keras, sosok Ibu yang tidak terbantahkan dan sekarang Elina harus bagaimana?
Beberapa saat kemudian, Lingga sudah kembali. Tangannya membawa kantong plastik warna hitam bertuliskan terima kasih dan emotikon senyum. Elina sendiri tidak tahu isinya apa. Lagipula, ia tidak peduli.
"Kamu bisa jalan?" tanya Lingga.
"Ya terus?" balas Elina. Pertanyaan Lingga itu membuatnya makin badmood.
"Muka kamu pucat, beda banget. Kamu ada masalah?"
"Saya mau pulang!" Elina pun mulai berjalan, sementara Lingga segera mengikuti dan mensejajarkan posisinya sehingga mereka berjalan berdampingan.
"Kita emang baru kenal sebagai tetangga terdekat, tapi kalau kamu mau anggap saya teman, saya malah senang," kata Lingga lagi.
"Kalau kamu mau jadi teman saya, please ngerti! Saya lagi nggak pengen banyak ngomong!"
Lingga pun mengerti, ia juga menyadari rasa ingin tahu dan kepeduliannya sebagai tetangga jangan sampai membuat gadis di sampingnya itu merasa tidak nyaman.
Setelah beberapa menit berjalan dengan saling bungkam, akhirnya mereka pun sudah sampai tepat di depan rumah Elina.
"Thanks, ya," kata Elina dengan ekspresi yang masih sama. Menyedihkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/161675922-288-k503756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Butuh Pendamping?!
Romance"Cium saya!" potong Lingga. "APAA?!" "Kalau kamu nggak mau, baiklah biar saya yang cium kamu." "Jangan coba-coba!" ucap Elina namun wajah Lingga malah semakin dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Elina memejamkan mata, selama beberapa saat...