Mau nggak, ya?

55.5K 5.1K 66
                                    


Orang mungkin berpikir Elina tipikal perempuan yang tidak bisa serius, namun nyatanya saat ini ia sedang serius menatap layar laptopnya. Ada lebih tiga dokumen yang satu filenya terdiri dari lebih lima sheet microsoft excel yang aktif di taskbar. Elina fokus merekap data pemesan yang jumlahnya tidak sedikit, lalu disambung dengan menghitung laporan bulanan. Ya, meskipun ia bekerja untuk dirinya sendiri tapi tetap saja semuanya harus dicatat dari pengeluaran, pemasukan, omzet, laba dan segala tetek bengek lainnya. Kadang Elina sendiri bingung bisa menyelesaikan semuanya padahal kalau dipikir-pikir bisa memicu stres. Belum lagi chat dari para customer-nya. Entah chat orderan, informasi barang sudah sampai, keluhan, maupun pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Tangan kanan Elina menggapai cangkir bergambar kucing lalu menempelkan pada bibirnya. Sial, kopinya telah tandas. Elina pun meletakannya kembali. Meski sebenarnya ia haus, tapi ia ingat botol minuman di kulkasnya kosong, sementara air dalam dispenser juga ikut habis. Elina biasanya meminta bantuan tukang galon untuk mengangkatnya jika kebetulan habis. Tapi malam-malam begini jelas bukan waktu efektif. Baiklah, nanti Elina terpaksa menumpahkannya langsung ke gelas. Jomblo itu harus kuat dan mandiri, bukan?

Elina pun kembali fokus pada layar 14 inci itu. Berselang beberapa menit, Elina merasa perutnya berbunyi dan seolah memerintahkannya makan. Kursi kerjanya sengaja diputar, lalu diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Pantas saja ia merasa lapar. Elina baru ingat kalau memang belum makan. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seingatnya, jarang sekali ada yang datang malam-malam begini. Elina pun bergegas ke ruang tamu dan meyibak sedikit tirai untuk melihat siapa yang ada di balik pintu sana. Lingga. Mau apa malam-malam ke sini? Pikir Elina.

Pintu itu terus diketuk sampai akhirnya Elina membukanya. "Ada apa, ya?" tanya Elina tanpa mau berbasa-basi.

"Mau balikin kotak makanan yang tadi pagi," jawab Lingga sembari menyodorkan benda itu pada Elina. Ya ampun, Elina pikir ada apa.

"Bersih kok, udah saya cuci," lanjut Lingga.

"Oke, makasih ya." Elina pun menerima kotak itu.

"Saya yang harusnya berterima kasih!" sanggah Lingga. "Oh ya, kamu lagi apa?"

Elina sempat terdiam selama beberapa detik.

Lagi apa?

"Hallo?!" Lingga melambai-lambaikan tangannya ke wajah Elina.

"Hmm, lagi napas," jawab Elina spontan.

"Kamu ada-ada aja," kekeh Lingga.

"Ya terus? Saya emang lagi napas!"

"Ya udah kalau gitu saya pulang, ya. Maaf udah ganggu waktu napas kamu. Niat saya cuma anterin itu doing kok," ucap Lingga menunjuk kotak makanan yang sudah ada di tangan Elina.

Elina berpikir apa yang baru saja dirinya lakukan itu benar, kan? Mana mungkin ia mengajak Lingga masuk ke rumahnya meski sekadar mengobrol saja. Sebenarnya kompleks perumahan ini cukup bebas dan orang-orang akan masa bodoh terhadap apa yang dilakukannya sehingga tidak akan berpikir macam-macam jika ia menerima tamu lelaki kapan saja, tapi tetap saja Elina tidak nyaman berhadapan terus dengan Lingga. Elina sendiri tidak tahu alasannya kenapa.

Tanpa Elina sadari, Lingga sudah pamit dan melangkah kembali ke rumahnya. Kakinya bahkan sudah membuka sandal bersiap menginjak teras lelaki itu.

"Lingga!" teriak Elina.

Lingga pun kembali memutar tubuh, menoleh pada Elina. Tatapannya mengisyaratkan tanda tanya.

"Saya boleh minta tolong ... lagi?" tanya Elina sedikit ragu.

Elina kira Lingga akan balas berteriak, namun di luar dugaan ternyata Lingga kembali menghampirinya.

"Tolong apa, Elina?"

"Tolong angkatin galon dong. Sebelumnya maaf ya selalu repotin," ucap Elina kikuk. Ia seolah tidak ada pilihan lain. Lingga sudah terbukti baik dan meski mereka tidak saling mendeklarasikan pertemanan, tetap saja mereka sudah saling kenal beberapa hari ini. Saling membantu sesama tetangga itu baik, kan?

"Oh ... boleh, boleh," jawab Lingga. "Di mana galonnya?"

"Di sumur!" jawab Elina sedikit bercanda. "Ya di dalam lah, pakai nanya," kekeh Elina kemudian.

"Ya kali saya nyelonong masuk tanpa dipersilakan? Ini kan bukan rumah saya."

"Oh iya, ayo!" Elina berjalan lebih dulu sementara Lingga mengikutinya. Sesampai di dapur yang menyatu dengan ruang makan.

"Ini." Elina mempersilakan. Tak sampai dua puluh detik, galon itu sudah terpasang di dispenser Elina.

"Sekali lagi makasih, ya," ucap Elina sambil mengantar Lingga ke luar rumah.

Saat melewati ruang kerja Elina, Lingga tanpa sengaja melihat beberapa tumpukan berbentuk kotak dibungkus oleh kertas kado. Sebenarnya lelaki itu ingin bertanya, tapi tidak jadi.

"Iya, sama-sama. Oh ya, saya mau tanya. Tadi pas pulang saya ngelihat ada ramai-ramai itu dekat lapangan ada acara apa, ya?" tanya Lingga kemudian.

"Oh, ini malam Minggu, ya?" Elina malah balik bertanya.

Lingga pun mengangguk. "Iya, emang setiap malam Minggu di situ ramai?"

"Jadi di daerah sini setiap malam Minggu ada pasar kaget gitu. Saya pernah ke sana sih, tapi selama tinggal di sini mungkin bisa kehitung jari datang ke sana berapa kali. Abisnya ngapain, mager banget," jelas Elina.

Faktanya Elina memang sangat jarang keluar rumah terlebih acara seperti itu. Kecuali kalau ia lapar dan di rumahnya tidak ada makanan lalu malas memasak, Elina baru akan pergi ke sana. Itu pun hanya membeli makanan lalu pulang lagi.

Ah, memikirkan itu lapar Elina jadi makin terasa jelas. Ia kini sedang menduga-duga apakah ada stok makanan di rumah ini.

"Pedagang makanan juga ada dong?" tanya Lingga memastikan.Kenapa pertanyaannya pas sekali dengan yang sedang Elina pikirkan?

"Iya, banyak banget malah. Kamu mau ke sana?"

Lingga mengangguk. "Kayaknya iya, saya lupa tadi nggak beli makanan."

AHA! Tiba-tiba terlintas ide di kepala Elina. "Saya boleh minta tolong lagi?"

"Boleh, tolong apa lagi?"

"Nitip makanan! Saya juga belum makan, sih. Tapi mager ke sana. Saya nitip mi ayam, ya?"

Persetan dengan pendapat Lingga tentangnya. Elina tidak peduli selama pemerintah belum mengeluarkan pasal tentang larangan meminta tolong pada orang. Sah-sah saja, bukan? Lagipula ia hanya meminta tolong, bukan menyuruh Lingga berbuat jahat.

Lingga tampak berpikir sejenak. "Saya kan belum pernah ke sana. Gimana kalau kamu ikut aja?" saran Lingga.

"Saya lagi malas kemana-mana," jawab Elina. Ditambah lagi pekerjaannya belum seratus persen beres.

"Sebentar aja, Elina. Kita makan di sana aja. Saya traktir deh!"

Tunggu, ini malam Minggu dan Elina diajak makan di luar?

Elina tidak langsung menjawab, ia masih berpikir tetap menolak atau berubah pikiran dan menerima ajakan Lingga.

Mau nggak, ya?

Bersambung ...

Terima kasih yang sudah vote dan komentar.

Semoga besok Gia up lagi.

Butuh Pendamping?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang