Lima menit lagi tepat jam delapan dan Elina belum mandi. Padahal kemarin Mamanya meminta gadis itu harus sudah siap jam sembilan tepat.
Keasyikan membalas chat dari beberapa customer setianya membuat Elina lupa waktu. Langsung saja ia meletakkan ponselnya asal dan bergegas ke kamar mandi.
Meskipun Elina biasanya membutuhkan waktu minimal satu jam untuk mandi, tapi dalam kasus ini ia harus bisa lebih cepat. Ya, jangan sampai telinganya panas mendengar omelan dari Mamanya.
Begitu sampai kamar mandi, ia langsung membuka keran. Setelah itu tangannya hendak membuka baju hanya saja niatnya urung saat air tak kunjung keluar dari keran tersebut. Elina berusaha memutarnya lagi siapa tahu ia lupa tapi setelah kegiatan itu ia lakukan terus menerus, Elina semakin yakin kalau memang ada yang tidak beres.
Secepatnya Elina ke kamar mandi yang ada di dekat dapur, tetap saja air tak kunjung keluar. Di bak cuci piring yang menumpuk piring dan gelas kotor pun tak ada bedanya, tetap saja air tak mau keluar. Sial.
Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 8.15. Ternyata Elina sudah membuang waktunya selama lima belas menit tanpa hasil. Setengah berlari, Elina mencari ponselnya yang tadi ia letakkan secara asal di tempat tidur. Gadis itu langsung menelepon orang yang biasa membenarkan sesuatu yang rusak di rumahnya.
"Saya nggak mau tahu. Harus nyampe rumah ini kurang dari sepuluh menit!" ucap Elina otoriter pada seseorang di ujung telepon sana. Mang Bana jelas saja tampak mengembuskan napas frustrasi.
"Pokoknya saya tunggu!" Elina langsung memutuskan sambungan teleponnya sambil berharap-harap cemas.
Meski dirinya bisa dibilang jarang mandi kalau di rumah. Tetap saja kalau mau pergi dan ada acara, mandi adalah suatu kewajiban.
Berselang kurang dari sepuluh menit, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, jelas saja Elina langsung mengambil langkah seribu untuk segera membukanya.
Saat pintu dibuka, ternyata yang datang bukan Mang Bana. Lelaki yang datang itu berpenampilan lebih rapi dari tukang-tukang yang biasa menggantikan Mang Bana. Elina positif thinking, mungkin ini karyawan baru.
"Aduh, dari tadi ditungguin!" Elina langsung meraih kantong plastik yang dibawa lelaki itu dan meletakkannya di meja. "Ayo, cepetan! Terus alat-alatnya mana?"
Lelaki itu masih tampak bingung sehingga tetap berdiri di ambang pintu.
"Mang Bana ngapain nyuruh orang baru, sih? Bikin lama aja. Cepetan benerin keran saya, Mas. Saya mau mandi!" omel Elina. "Pakai alat seadanya aja, deh. Di belakang ada, Mang Bana juga sering pakai!" lanjut Elina kesal. Kacau semuanya kalau sampai terlambat. Kenapa orang baru bisa-bisanya dikirim ke rumahnya saat urgent seperti ini?
Lelaki itu tampak mengernyit, namun saat tangannya ditarik, ia langsung berusaha menjelaskan yang sebenarnya.
"Maaf, saya ke sini buat-"
"Iya buat benerin keran," potong Elina. "Tolong cepat, ya. Jangan sampai saya jadi anak durhaka. Mama saya bisa ngamuk kalau saya sampai terlambat!"
Seolah tak punya pilihan, terlebih wanita di hadapannya tak memberikan kesempatan ia berbicara. Akhirnya suka tidak suka, mau tidak mau lelaki itu membantu Elina. Kebetulan urusan seperti itu bisa ia kerjakan meskipun sekadar bisa saja, bukan ahlinya.
***
Elina langsung buru-buru menutup keran yang ada di bak cuci piring. Tadi ia lupa menutupnya sehingga saat keran sudah selesai diperbaiki, airnya mengalir dan berhubung bak tersebut penuh sesak oleh piring dan gelas kotor yang menggunung, membuat airnya tumpah dan mengalir ke lantai. Sial. Elina bahkan lupa kapan terakhir kali mencuci piring.
Kalau sampai Mamanya ke sini, bisa berpotensi membuat telinga Elina meledak. Elina berjanji sepulang dari acara Mamanya, ia akan membereskan seluruh ruangan di rumah ini. Ya, entah ini janji ke berapa.
Tiba-tiba lelaki yang Elina pikir tukang keran muncul dari pintu samping. Ya, pusat air di rumah ini memang ada di samping rumah ini dan ia keluarnya melalui pintu samping.
"Udah ngalir airnya, makasih ya. Sebentar saya ambil uang dulu," ucap Elina lalu bersiap menuju kamar.
"Nggak usah," jawab lelaki itu.
"Lho kok nggak usah?! Sebentar ya, saya ambilkan dulu." Tanpa menunggu jawaban, Elina benar-benar bergegas ke kamarnya. Tak sampai lima menit, ia kembali ke dapur ternyata lelaki itu tidak ada.
Ah, mungkin ada di depan. Bajunya sedikit basah, jangan sampai duduk di sofa! Pikir Elina, bukan apa-apa tapi daripada Mamanya mengira Elina jorok?
Sesampai di depan, ternyata lelaki itu benar-benar tidak ada. Elina ke teras pun sudah tidak ada siapa-siapa. Ia melihat tidak ada sandal asing milik lelaki itu, dan artinya ia sudah pergi. Jadi lelaki itu memang tidak mau dibayar? Kenapa? Berbagai pikiran memenuhi benak Elina. Namun segera buyar saat ada seseorang menghampirinya. Mang Bana.
"Maaf Mbak El, saya habis antar istri saya ke pasar. Sekarang mana yang harus dibenerin? Seperti biasa, ya?"
Pertanyaan Mang Bana membuat Elina mengernyit. Kalau Mang Bana tidak mengirim seseorang untuk menggantikan. Lalu, siapa lelaki tadi?
"Mbak El? Katanya buru-buru!"
"Ya Tuhan, saya emang buru-buru! Kerannya nggak jadi mati, Mang. Kalau gitu saya mandi dulu. Ibu negara bisa ngamuk kalau saya terlambat!" ucap Elina kemudian berpamitan pada Mang Bana lalu menutup pintu. Ia langsung buru-buru ke kamar mandi.
Pikirannya bukan lagi tentang seberapa ngamuk Mamanya nanti, tapi ... pikiran Elina tertuju pada lelaki tadi. Dia siapa? Pantas saja diberi uang tidak mau. Terlebih lagi pakaiannya rapi. Ya Tuhan, seolah buntu, Elina benar-benar tidak bisa menebak siapa lelaki itu dan apa tujuannya datang ke sini.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Butuh Pendamping?!
Любовные романы"Cium saya!" potong Lingga. "APAA?!" "Kalau kamu nggak mau, baiklah biar saya yang cium kamu." "Jangan coba-coba!" ucap Elina namun wajah Lingga malah semakin dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Elina memejamkan mata, selama beberapa saat...