"Kadang pepatah yang bilang dunia ini sempit banget ada benernya juga, ya," ucap Erik.
Elina pura-pura sibuk dengan ponselnya, ah kenyataan ada puluhan chat yang harus ia balas. Hanya saja telinganya tidak tuli, ia bisa mendengar Erik yang duduk di kursi yang Lingga tempati tadi. Sialan.
"Bayangin aja, dari sekian banyak laki-laki di Bumi ini. Harus sepupuku banget ya buat dijadikan pacar?" Pertanyaan Erik entah kenapa bernada cibiran.
Elina ingin mengabaikan dan terus fokus pada ponselnya, tapi ia tidak bisa menahan untuk terus diam.
"Hidup saya udah terlalu sibuk. Jadi mana ada waktu buat bayangin!" jawab Elina ketus.
"Serius lho, El. Aku nggak nyangka kamu deket sama Lingga. Aku pikir di acara nikahan kemarin emang nggak sengaja barengan dan kenalan. Tapi ternyata secepat ini kalian deket? Apa kalian emang udah saling kenal sebelumnya?"
"Pertanyaan kamu nggak penting banget sih, Erik! Lagian kenal atau nggak sama Lingga itu urusan saya. Dan satu lagi, saya nggak pacaran sama dia!"
Erik mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Coming soon, maksudnya?!"
"Maksudnya apa, sih? Seingat saya, kita nggak ada masalah apa-apa lagi. Semuanya selesai dan nggak ada masalah yang tertunda. Terus kenapa kamu kayak nyari masalah gini? Hah!?"
"Jangan emosi dulu, Elina. Kebiasaan deh kamu suka sewot gitu. Aku itu cuma nanya, bukan nyari masalah."
"Dan saya udah jawab kalau saya itu emang nggak ada hubungan apa-apa sama Lingga. Dan ngapain kamu duduk di sini? Mana Isabella? Urusin aja dong istri kamu, kalau mau duduk cari kursi lain aja!"
"Bebas dong mau duduk di mana aja, ini kedai milik sepupu aku. Katanya kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Lingga, jadi nggak berhak dong larang aku duduk di sini."
"Terserah! Cuma heran aja sempat ya kamu gangguin saya, padahal kamu itu kan habis nikah, ya? Kok nggak bulan madu? Nggak punya duit, ya. Miris!" cibir Elina.
Raut wajah Erik tampak sewot, seperti tidak terima dengan ucapan Elina.
"Kamu kenapa bilang gitu, El? Atau jangan-jangan kamu sengaja ya deketin Lingga biar aku kesel?" tanya Erik.
"Kamu yang kenapa?! Waktu itu nganterin undangan ke rumah sama pas nikahan itu cuma pencitraan, ya? Dan sekarang sikap kamu yang asli mulai keluar! Nyebelin! Saya kenal sama Lingga sama sekali nggak ada urusannya sama kamu! Dan satu lagi, kenapa kamu harus kesel kalau saya kenal sama Lingga? Kolerasinya apa?"
Belum sempat Erik menjawab, Lingga sudah datang membawa dua mangkuk kecil berisi es krim. Dua es krim itu bentuknya sangat jauh berbeda. Lingga meletakkan es krim yang berbentuk hati dan sangat imut di hadapan Elina. Sedangkan mangkuk satunya berbentuk aneh ditaruh di depan Erik.
"Selamat menikmati," ucap Lingga kemudian mengambil posisi duduk di samping sepupunya.
"Eh, ini kok serem banget es krimnya? Beda banget sama punya Elina. Ah pilih kasih lo, Lingga!"
Mendengar Erik yang protes, Elina langsung memperhatikan mangkuk es krim punya Erik. Pantas saja lelaki itu protes, bentuknya sangat menyeramkan. Seperti wajah hantu. Elina pun berusaha mengabaikan, yang penting miliknya sangat cantik.
Elina pun mulai mencicipinya. Satu sendok, dua sendok dan rasanya memang enak.
"Lingga, yang kayak gini dijual? Emang laku?" Erik sepertinya masih tidak terima dengan bentuk es krim bagiannya.
Alih-alih menjawab, Lingga malah terkekeh.
"Serius lho ini serem banget bentuknya," ucap Erik lagi. "Sumpah deh sentimen banget sama sepupu sendiri, giliran buat gue dikasih ginian!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Butuh Pendamping?!
Romance"Cium saya!" potong Lingga. "APAA?!" "Kalau kamu nggak mau, baiklah biar saya yang cium kamu." "Jangan coba-coba!" ucap Elina namun wajah Lingga malah semakin dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Elina memejamkan mata, selama beberapa saat...