Chapter 1 Mencari Ayah

306 15 5
                                    

"Apakah kau ayahku?"

Lagi, sebuah gelengan kepala menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan yang sudah ribuan kali aku lontarkan. Dengan menyeret tubuh lunglaiku, aku kembali merunduk dan mengelus perutku yang menuntut untuk diisi.

Suasana kota masih saja meriah padahal sudah tiga hari pasca festival diadakan. Festival untuk merayakan sepuluh tahun kedamaian. Satu dekade yang lalu, Raja Iblis berhasil dikalahkan oleh pahlawan. Memberikan rasa damai dan tenang bagi umat manusia.

Namun, tidak untukku. Semenjak seminggu setelah ditinggal pergi oleh ibuku, aku hidup sendiri di jalanan. Tanpa ada rumah ataupun uang. Aku menjadi gelandangan di umur yang masih belia.

"Apa yang kau lakukan di depan restoranku?!" Aku tersentak dengan bentakan seorang wanita tua. Ia membawa sebuah sendok sayur dan siap melayangkannya padaku. "Pergi sana! Kau membuat pelangganku takut! Dasar anak kotor!" imbuhnya lagi dengan nada yang lebih tinggi.

Sadar diri, aku beringsut mundur dan cepat berlari meninggalkan restoran sekaligus bar itu. Akan tetapi, tak lama aku berhenti. Tenagaku lenyap. Makanan sisa yang aku temukan di pinggir jalan tiga hari yang lalu sudah tak bisa menopang tubuhku. Tenggorokanku kering, mulutku tak bisa lagi mengeluarkan air liur.

"A ... Air, makanan ...." Tanpa sadar, aku mulai meracau. Dengan mata setengah terbuka, aku mencoba meraih halusinasiku. Aku mengikuti fatamorgana yang tercipta, hingga akhirnya, tubuh mungilku terjatuh.

Beruntungnya, bukan tanah yang menangkapku. Sebuah air, air yang sangat banyak hingga membuat tubuhku berangsur tenggelam. Tunggu, aku tak bisa berenang! Ini bukan keberuntungan!

"Hah!"

Dengan kesadaran penuh, aku mengangkat kepalaku ke udara. Menghirup banyak oksigen yang dibutuhkan paru-paruku. Mata biruku meneliti ke bawah, posisi tubuhku terduduk dengan air yang hanya setinggi perutku. Ah! Air!

Kedua mata itu langsung berbinar dan dengan sigap tanganku mengambil air dan meminumnya rakus. Aku tak peduli sekitarku lagi, aku hanya ingin minum.

"Segarnya!" seruku tersenyum bahagia. Setidaknya, air ini bisa kugunakan untuk pengganjal rasa lapar.

Setelah itu, aku mulai memperhatikan sekitar. Sebuah hutan mengelilingiku. Sudah sejauh ini aku berjalan rupanya. "Kalau nggak salah, kata Ibu, ini namanya Danau Vallhara," cicitku berbicara pada diri sendiri.

Bicara soal Ibu, kejadian tadi membuatku ingat pada beliau. Wanita memiliki wajah yang masih muda serta warna mata yang sama denganku, biru muda.

"Nak, sepertinya Ibu akan segera mendapatkan undangan dari Dewa," cakap ibuku kala itu, saat keadaan masih baik-baik saja.

"Undangan? Ibu akan berpesta di surga?" tanyaku polos sambil memegang erat tangan ibu yang semakin mengurus. Tubuhnya juga semakin lemah dari hari ke hari. Bahkan ia sudah tak bisa bangkit dari posisi tidurnya.

Masih kuingat jelas senyum lembutnya kala itu. "Iya. Namun, kau tak bisa ikut." Tentu saja aku merengek. Aku ingin terus bersama ibu. Karena hanya ibu satu-satunya yang aku punya. Namun, beliau menggeleng. "Tidak, Nak. Kau harus tetap di sini. Kau ingin bertemu dengan Ayah, bukan?" Aku mengangguk antusias. "Kalau begitu carilah. Aku yakin kalian akan segera bertemu," lanjut ibu sebelum mata birunya tak lagi terbuka.

Angin malam menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Tubuhku mengigil, ditambah bajuku yang basah kuyup. Segera, aku keluar dari danau itu dan berjalan kembali ke pemukiman. Meski aku tahu tak ada tempat tinggal untukku, setidaknya di sana lebih hangat daripada di hutan.

"Dingin," lirihku menggosokkan tangan ke tubuhku. Nihil, usahaku menghangatkan badan sia-sia. Rasa dingin ini sudah menusuk ke dalam tulang.

Brak.

Ratu Iblis [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang