"Ciye, Abang Aal dapat surat cinta nih!" Salma tiba-tiba menyambar Amplop bermotif bunga Sakura yang Ali temukan."Eh, bukan begitu, Ama!" Kata Ali.
Salma langsung membuka amplop tersebut. Dari sampulnya yang bermotif indah khas bunga sakura, ia menerka bahwa isinya pasti sebuah surat cinta.
"Ini pasti dari si Enab! Ternyata Enab bisa juga nulis surat cinta!" Gumamnya dalam hati.
Sesampainya di rumah. Salma langsung mengikuti Ali ke dalam kamarnya.
"Baiklah, Abang Aal tersayang! Sebagai adik yang berbakti, Ama akan membacanya untuk, Abang!" Salma tiba-tiba mengejutkan Ali.
"Tapi, Abang juga tidak tahu surat itu dari siapa?"
"Oleh karena itu, Ama bacakan! Tulisan di sampulnya itu sudah jelas "Untuk Ustadz Ali" jadi sudah jelas itu untuk Abang!"
Salma kemudian membaca surat itu, mengingat matahari mulai beranjak. Dan sebentar lagi, abangnya itu harus segera berangkat mengajar.
Assalamualaikum wr.wb.
Maaf sebelumnya, karena telah lancang berkirim surat kepada Ustadz Ali.
Namun, saya hanya ingin mengutarakan suatu hal kepada Ustadz Ali melalui surat ini.
Waktu itu, Ustadz Ali pernah berceramah mengenai "Kisah Sayyidatina Khadijah".
Yang mana beliau melalui seorang utusan, bermaksud menawarkan diri untuk menjadi isteri Rasulullah Saw.
Ustadz Ali waktu itu menambahkan, jika memang seorang muslimah tidak bisa hidup dengan mencintai diam-diam dalam do'a seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra. Maka, pilihan kedua adalah menjadi seseorang seperti Sayyidatina Khadijah.
Saya menulis surat ini dengan kesungguhan hati. Sejak kali pertama bertemu dengan Ustadz Ali waktu itu. Ustadz Ali membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya.
Dan saya sudah berusaha memendam perasaan saya sekuat tenaga. Namun, saya bukanlah seperti Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Saya juga sudah tentu bukanlah seperti Sayyidah Khadijah. Tapi, setidaknya saya bisa melakukan satu hal yang seperti Sayyidah Khadijah lakukan.
Saya bermaksud menawarkan diri untuk menjadi isteri Ustadz Ali. Sekali lagi saya meminta maaf atas kelancangan ini.
Mohon untuk memberi balasan atas surat saya ini. Terimakasih.
Gladis.
"Bang A...a..al! Ini surat dari Gladis?" Tanya Salma dengan begitu terkejut. Ia berpikir bahwa surat itu dari Zainab. Tapi ternyata, surat itu malah dari Gladis.
Mata Ali pun melebar. Ia sangat terkejut hingga tidak dapat berkata apa-apa. Hingga akhirnya, ia bergumam, "apa yang harus aku lakukan, Ama?"
Salma menaikan bahunya, mengisyaratkan bahwa ia juga tidak tahu. Ia pun berpikir sejenak dan munculah sebuah ide. "Sebaiknya, Ama beritahu Enab! Pasti Enab punya solusinya!"
"Jangan, Ama! Abang gak enak sama Zainab! Bagaimana jika Zainab salah paham?" Cegah Ali.
"Enab kan pengertian dan bijaksana! Ama yakin, Enab pasti bisa mengerti!" Tegas Salma.
"Pantas saja setelah mendengarku mengatakan beberapa hal tadi pagi, Gladis langsung pergi dan berlari!" Gumam Ali lirih, yang ternyata didengar oleh Salma.
Salma pun merasa penasaran. Kemudian, ia sangat memperhatikan cerita Ali tentang kejadian tadi pagi-hingga adanya surat itu.
"Tapi, jangan mengatakan tentang cerita lengkapnya kepada Zainab! Cukup katakan saja hal mengenai perasaan Gladis!" Pinta Ali.
"Ama mengerti, Bang!" Salma mengangguk.
Salma pun berjalan pergi menuju rumah Zainab. Ia bercerita mengenai perasaan Gladis terhadap Ustadz Ali.
Zainab menutup mulutnya yang tanpa sadar menganga lebar akibat terkejut. "Lalu, aku harus bagaimana, Ama? Gladis pasti sangat sedih mengetahui bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai Kakak, malah merebut cintanya!" Zainab menunduk sedih.
Ia merasa amat sangat bersalah kepada Gladis. Dengan perjuangan keras Gladis akhirnya bisa berhijrah. Dan Zainab khawatir tentang semangat hijrah Gladis akan seperti apa nantinya?
Salma memutus lamunan Zainab. "Eh, kok Enab yang merasa bersalah? Kan Enab dan Abang Aal menjalani ta'aruf jauh sebelum Gladis masuk dalam kehidupan kita? Di sini tidak ada yang salah dan benar! Ama ke sini mau minta kebijaksanaan Enab tentang solusi dari masalah ini!"
Zainab pun berpikir sejenak. "Menurutku, sebaiknya Ustadz Ali pergi menemui Gladis dan meminta maaf!"
"Aku juga berpikir demikian! Tapi, Bang Aal kan gak mungkin pergi ke sana sendiri, Nab!" Salma mengernyit.
"Kamu benar, Ama! Kalau Ustadz Ali pergi sendiri pasti menimbulkan fitnah! Kalau begitu Ama saja yang menemani Ustadz Ali pergi menemui Gladis!" Zainab menghela napas.
"Nah itulah masalahnya! Memangnya Enab gak pengen bicara dan minta maaf juga sama Gladis?" Salma menaikan sebelah alisnya.
"Tenang saja, aku juga akan ikut! Agar tidak timbul fitnah! Jadi, kita bisa naik angkot dan Abang Aal bisa naik motor!" Tambah Salma meyakinkan.
Zainab mengangguk pelan. Kemudian, Salma kembali pulang dan mengatakan solusi terbaik itu kepada Ali.
***
Ali keluar dari Masjid yang terletak tak jauh dari sekolah tempat ia mengajar. Yah, dia telah selesai melaksanakan salat Dhuhur. Ia pun bersiap untuk pulang dan melanjutkan perjalanan menuju desa sebelah.
Zainab dan Salma juga telah bersiap-siap pergi dengan tujuan yang sama. Zainab dan Salma pergi lebih dulu dengan waktu yang diatur sedemikian rupa, agar mereka tiba bersamaan dengan Ali. Maklum Zainab dan Salma harus menaiki angkot, sedangkan Ali menaiki motor.
Setengah jam kemudian mereka bertiga telah sampai. Namun, terlihat seorang gadis yang membawa sebuah koper dan ransel. Gadis itu telah bersiap menaiki sebuah angkot dengan diantar beberapa orang yang terlihat sedih.
"Gladis, tunggu!" Teriak mereka bertiga.
Orang-orang yang mengantar Gladis telah pulang menuju rumahnya masing-masing. Sedangkan Ali, Zainab dan Salma berusaha memanggil-manggil Gladis untuk berbicara kepadanya mengenai surat yang ia tulis untuk Ali.
Namun, sayangnya Gladis sama sekali tidak menoleh sedikitpun. Ia seakan sedang asyik dalam sebuah lamunan yang entah tentang apa itu. Sedangkan Ali, Zainab dan Salma masih terus-menerus berusaha memanggil-manggil Gladis. Mereka tidak kenal lelah untuk berusaha membuat Gladis mendengar panggilan mereka.
Sampai, ada salah seorang penumpang angkot yang menyadari hal tersebut. Ia kemudian berusaha untuk menyadarkan Gladis dari lamunannya dan menunjuk-nunjuk arah di mana ada orang-orang yang memanggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zainab (BLM Writing Marathon)
RomanceSetelah kepergian Ali melanjutkan studi ke Mesir, selain merasa hancur karena rencana pertunangannya yang terpaksa dibatalkan, Zainab harus menghadapi sebuah ironi kehidupan tentang sebuah perjodohan dengan laki-laki yang samasekali tidak ia cintai...