Dilema Surat Usang

43 4 0
                                    

"Silahkan dibaca, Ustadz! Ini surat dari Almarhumah Ustadzah Zulfa untuk Zainab! Yang dititipkan kepada saya!" Kata Bu Nyai.

Ustadz Achnan mulai berkaca-kaca. Dengan tangan gemetar, beliau perlahan menarik tulisan Almarhumah isterinya itu. Beliau sangat mengenal tulisan isterinya, meskipun kertasnya telah berwarna coklat, tanda bahwa surat tersebut telah usang dan sudah disimpan cukup lama.

Untuk Zainab, anakku tersayang.

Zainab, selamat ulang tahun yang ke-24 tahun! Entah ibu terlambat atau lebih awal mengucapkannya, tapi do'a ibu selalu bersamamu.

Ibu yakin, saat ini Zainab pasti tumbuh menjadi gadis cantik yang sholikhah, karena ibu percaya ayahmu pasti akan menjaga dan mendidikmu dengan baik.

Maaf, ibu tidak bisa menemani Zainab lebih lama. Bahkan ibu juga tidak bisa melihat bagaimana nantinya Zainab menikah. Tapi, setidaknya ibu bisa memastikan bahwa Zainab akan menikah dengan seseorang yang baik, menjaga dan menyayangi Zainab dengan tulus.

Jadi, ibu dan sahabat ibu telah bersepakat untuk menjodohkan kalian. Maaf, ibu mungkin berbuat tidak adil untuk Zainab, jika saat ini Zainab telah mempunyai pilihan sendiri. Tapi, ini adalah permintaan terakhir ibu. Ibu berharap Zainab mau menikah dengan Ahmad, anak terakhir dari sahabat ibu.

Ibu yakin, Ahmad sekarang pasti telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang baik, dewasa dan sholikh, berkat didikan umi abahnya. Tolong penuhi keinginan terakhir ibu ya, nak!

Maaf, ibu tidak bisa menulis panjang lebar. Karena, sebentar lagi ibu harus pergi. Yang jelas, ibu menulis surat ini dengan tetesan air mata yang teramat sangat pedih harus meninggalkan Zainab.

Ibu sayang sekali pada Zainab.

Semoga kalian dapat membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Salam untuk Ahmad ya, nak. Salam juga untuk ayah dan semuanya.

Yang selalu mendoakan dan menyayangimu.

Ibumu

Zulfa.

Air mata seketika membasahi pipi Ustadz Achnan setelah membaca surat wasiat dari Almarhumah ibu Zainab. Zainab yang sedari tadi menguping  dari balik pintu di ruang tengah, berlari menuju kamarnya sambil menutup rapat mulutnya untuk menahan agar suara tangisnya tak terdengar oleh orang-orang di ruang tamu.

Ia bukan hanya menangis karena merindukan ibunya ataupun merasa terharu oleh surat yang ditulis ibunya. Tapi, ia menangis juga karena, itu artinya ia harus menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dicintainya. Seseorang yang baru dilihatnya dua bulan yang lalu dan sungguh tidak ia sukai. Bagaimana mungkin ibunya bisa berpikir bahwa ia akan hidup bahagia dengan pria itu? Zainab merutuki dirinya sendiri.

Ia berharap Ali segera datang menjemputnya. Ia bahkan ingin sekali pergi menyusul Ali ke Mesir. Tapi, Zainab berusaha menenangkan diri untuk tidak bertindak gegabah dan nekad. Walau bagaimanapun, ia adalah seorang perempuan. Ia tidak bisa melakukan apapun sebebas laki-laki.

Beberapa menit kemudian, setelah melakukan perbincangan panjang, Bu Nyai dan keluarga undur diri. Setelah itu, Zainab pun dipanggil menuju ruang tamu oleh ayah dan keluarganya yang lain.

"Enab! Enab sudah dengar sendiri kan apa isi surat yang tadi ayah baca? Jadi, bagaimana menurut Zainab?" Tanya Ustadz Achnan dengan lembut.

"Abang ini gimana? Ya jelas Enab harus menikah dengan Ahmad! Kan itu permintaan terakhir ibunya!" Kata bibi Zainab tidak sabaran.

"Tapi, aku menunggu Ali, bi!" Teriak Zainab dengan pikiran kacau, seakan itu adalah cara terbaik untuk meluapkan semua rasa sedih dan kehancuran hatinya.

"Eh, ni anak, ya! Kamu mau nunggu Ali berapa tahun? Sebentar lagi kamu berusia 24 tahun. Kamu mau jadi perawan tua? Belum tentu juga kalau Ali pulang, dia bakalan nikahin kamu? Siapa tahu dia suka sama gadis yang ada di Mesir? Dan bukankah itu permintaan terakhir ibumu? Kamu mau jadi anak durhaka, hah? Akibat gak nurut sama orang tua? Ingat, Nab! Surga ada di telapak kaki ibu." Bentak bibi Zainab.

"Sudah, sudah! Zainab, sebaiknya kamu istikharah, minta sama Allah SWT. agar diberi petunjuk!" Ustadz Achnan menenangkan perdebatan Zainab dan bibinya.

Kata-kata bibinya meluncur bagai anak panah beracun yang membidik tepat pada jantung Zainab dan membuat Zainab seakan terbunuh saat itu juga. Bibinya memang kasar, tapi apa yang dikatakan bibinya ada benarnya juga. Zainab pun merasakan dilema yang teramat sangat.

Beberapa hari pun telah berlalu. Zainab menjadi seseorang yang suka melamun, ia bahkan makan lebih sedikit dari biasanya. Ia juga tidak bisa tidur nyenyak di malam hari. Hingga pada suatu malam, ia pun tersadar bahwa tidak seharusnya ia seperti ini. Bukankah ia seorang muslimah? Bukankah ia percaya pada takdir Allah? Zainab pun bangkit dan bermunajah pada sepertiga malam.

"Ya Allah, mungkin hamba terlalu berharap kepada makhluk. Oleh sebab itu, Engkau timpakan kepahitan atas pengharapan hamba ini, agar hamba hanya berharap kepada Engkau!" Bulir-bulir bening menetes, membasahi pipi Zainab. Ia memohon petunjuk atas masalah yang memilukan hatinya.

Haruskah ia memilih untuk menikah dengan Ahmad? Atau ia bisa tetap menunggu Ali? Zainab meminta petunjuk atas dua pilihan itu disetiap malamnya. Diam-diam, Ustadz Achnan mengetahui bahwa Zainab sedang beristikharah.

Tiga hari kemudian, Ustadz Achnan mulai menanyakan bagaimana hasil istikharah Zainab. "Zainab anakku, apa jawaban yang telah kau peroleh setelah tiga hari bermunajat? Apakah kamu sudah mendapat jawabannya?"

"Bismillahirrahmanirrahim! Zainab bersedia menikah dengan Ahmad, Yah!"

"Alhamdulillahirabbil aalamiin!"

*****

Satu bulan kemudian, Zainab telah resmi dikhitbah oleh Ahmad. Mereka akan menikah tepat di hari ulang tahun Zainab, tepatnya dua Minggu lagi. Zainab pun pergi menuju ke pesantren untuk memberikan undangan pernikahannya dengan Ahmad kepada Salma.

Salma merasa amat sangat bahagia bisa melihat Zainab itu kembali mengunjunginya. Ia pun mengajak Zainab menuju taman pesantren. Salma berniat menunjukkan pemuda yang selama ini dicintainya diam-diam. Zainab hendak menyerahkan undangan pernikahannya itu kepada Salma, tapi tiba-tiba Ahmad dan Bu Nyai nampak datang menuju ke arahnya.

"Enab! Kamu lihat pemuda itu? Yang berjalan bersama ibunya itu! Dia adalah anak Bu Nyai, pemuda yang aku ceritakan selama ini! Dan aku rasa dia juga mencint-*!" Perkataan Salma tiba-tiba terputus.

"Eh, Zainab dan Ustadzah Salma! Pasti Zainab ke sini mau ngasih undangan pernikahan sama Salma, ya?" Bu Nyai tiba-tiba berbicara dari kejauhan.

Salma tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan Bu Nyai, karena jarak Bu Nyai dengannya dan Zainab masih cukup jauh. Salma dan Zainab kemudian berdiri dari rerumputan indah yang menjadi alas tempat duduk mereka.

"Nah, Ahmad! Kamu harus tahu, kalau Ustadz Salma itu sahabat dari calon isteri kamu! Dia adalah sahabat Zainab!" Tambah Bu Nyai.

Ahmad hanya mengangguk dan tersenyum. Ia kemudian mengambil undangan pernikahan yang terlepas dari genggaman Zainab begitu saja, ketika ia dan uminya datang. Ahmad kemudian memberikan undangan itu kepada Salma.

"Ya sudah, kalian lanjutkan saja ngobrolnya, ya! Saya sama Ahmad mau pergi untuk urusan persiapan pernikahan!" Kata Bu Nyai dengan bahagia.

Salma sangat terkejut, bunga-bunga indah yang sedang bermekaran di hatinya seakan dicabut dan diinjak-injak begitu saja, bukan oleh orang lain, melainkan oleh sahabatnya sendiri. Tubuhnya kemudian merosot dan jatuh ke bawah. Pandangan Salma berubah menjadi gelap, Salma pun jatuh pingsan.

Zainab (BLM Writing Marathon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang