Aula Berkisah

244 17 8
                                    

Sore itu beberapa pria dan wanita mulai dari remaja hingga dewasa, telah memadati sebuah ruangan. Bau parfum khas seperti orang-orang yang hendak melaksanakan shalat Jum'at pun menyeruak. Semilir angin menyentuh mata, membuat siapa saja merasa nyaman dan ada beberapa yang merasa mengantuk.

Yah, saat itu memang sedang ada sebuah pengajian rutin yang selalu diisi oleh Ali. Seorang Ustadz muda yang tak hanya paham mengenai agama, tetapi juga menjadi idola bagi kaum hawa karena, akhlaknya yang baik, berwajah rupawan dan selalu bersyukur meskipun hidup dalam kesederhanaan.

Sebelumnya, Ali telah menyuruh adiknya yang bernama Salma untuk menahan Zainab sejenak. Agar Zainab tidak pulang terlebih dahulu.

Pengajian pun telah usai. Para jamaah perlahan-lahan meninggalkan aula kecil itu. Salma pun melaksanakan perintah abangnya.

"Enab, tunggu di sini sebentar! Jangan buru-buru pulang! Kamu gak ada acara, kan?" Kata Salma.

"Kenapa memangnya, Ama? Iya aku gak ada acara sore ini." Jawab Zainab.

Ali kemudian mengambil tempat duduk mendekati satir aula. Yah, tirai itu terbentang di tengah aula sebagai pembatas antara jamaah pria dan wanita. Satir tersebut berwarna putih yang dibentangkan dan diikat pada besi-besi yang telah dibuat sedemikian rupa. Sehingga, pembatas antara jamaah laki-laki  dan perempuan begitu kokoh serta tertutup hampir sempurna.

Di bagian lain aula, tepatnya di sebelah kiri, Salma dan Zainab juga duduk tidak jauh dari satir. Mereka pun berbincang hangat, hingga suara Ali menghentikan perbincangan mereka.

"Assalamualaikum, Zainab! Saya Ali, bolehkah saya mengatakan sesuatu?" Kata Ali memulai perbincangan dari balik satir.

Zainab merasa kebingungan, sebab ternyata ada seorang pria yang mengajaknya berbicara di balik satir. Sedangkan, selama ini Zainab tidak pernah berbicara secara langsung dengan laki-laki kecuali mahramnya, maupun anak-anak kecil yang ia ajari mengaji. Kemudian, Salma pun mengisyaratkan agar Zainab menjawab pertanyaan abangnya itu.

"Wa, wa, waalaikumussalam! Si, si, silahkan!" Jawab Zainab dengan gugup.

"Maafkan saya yang sudah lancang mengajak Zainab berbicara seperti ini! Sebagaimana yang saya ketahui, Zainab adalah sahabat baik adik saya Salma." Kata Ali melanjutkan.

"Oh, jadi ini Ustadz Ali! Tidak apa-apa, Ustadz! Silahkan melanjutkan hal yang ingin Ustadz sampaikan." Sahut Zainab.

"Sudah beberapa kali saya telah mencari tahu mengenai Zainab dari adik saya dan juga beberapa orang yang dapat dipercaya. Tapi, saya belum mengetahui tentang Zainab secara langsung. Oleh karena itu, saya bermaksud mengajak Zainab untuk berta'aruf. Apakah Zainab mau?" Tanya Ali dengan rasa gemetar.

"Sebelumnya, saya minta maaf! Bukannya saya menolak ajakan Ustadz untuk berta'aruf, namun saya menyarankan agar Ustadz datang menemui Ayah saya. Jika beliau mengizinkan, maka saya mau menjalani ta'aruf dengan Ustadz." Jawab Zainab.

"Alhamdulillah, terimakasih atas jawaban Zainab! Insyaallah secepatnya saya akan berkunjung ke rumah Zainab." Tambah Ali.

Salma pun mengantar Zainab ke luar dari aula untuk pulang. Setelah itu, Salma pun menghampiri abangnya yang juga hendak pulang dengan banyak sekali pertanyaan yang telah memenuhi pikirannya.

"Abang, jadi Abang suka sama Enab? Kenapa gak bilang dulu sama Salma? Kan Salma bisa bantu bilang!" Ucap Salma penuh semangat.

"Abang malu sama Ama, nanti Ama bakalan terus godain Abang!" Sahut Ali.

"Ah, Abang pakek malu segala sama Ama, ciye! Tapi, demi Abang Aal tersayang, Ama bakalan diem dan menjaga rahasia ini." Tambah Salma dengan bahagia.

Beberapa hari kemudian, tepatnya usai shalat Jum'at, Ali berjalan mengikuti langkah Ustadz Achnan. Ali berjalan dengan langkah-langkah kecil secara perlahan, bermaksud agar tidak membuat Ustadz Achnan merasa terganggu.

Ustadz Achnan merasa ada seseorang yang mengikuti langkahnya. Kemudian sedikit menoleh ke belakang, beliau melihat Ali yang berjalan di belakangnya sambil menunduk.

Namun, Ustadz Achnan tetap melanjutkan langkahnya yang seakan-akan tidak mengetahui adanya Ali. Beberapa menit kemudian, Ustadz Achnan telah sampai di rumah. Beliau tiba-tiba berbalik dan membuat Ali kaget bukan kepalang.

"Nah, Ali, sekarang kita sudah sampai di rumah saya! Apakah ada suatu hal yang sangat penting, sehingga Ali mengikuti saya sampai ke rumah?" Tanya Ustadz Achnan secara tiba-tiba.

"I, i, itu, Ustadz, ada hal yang i, i, ingin saya bicarakan dengan, Ustadz!" Jawab Ali dengan gugup.

"Ya sudah, ayo masuk! Kita bisa bicara di dalam, santai saja tidak usah ketakutan seperti itu!" Tambah Ustadz Achnan.

"Enab, buatkan dua cangkir teh hangat, ada tamu!" Ujar Ustadz Achnan.

"Iya, Yah! Enab buatkan." Sahut Zainab dari dalam ruangan lain di rumah Ustadz Achnan.

Ustadz Achnan adalah ayah Zainab yang merupakan Ustadz sepuh yang juga guru dari Ali. Beliau pernah mengajari Ali dan teman-teman sebaya Ali mengaji, hingga Ali masuk ke pesantren. Namun, setelah lulus dari pesantren, Ali juga masih sering mendatangi Ustadz Achnan di tempat beliau mengajar. Untuk menanyakan beberapa hal mengenai agama yang belum ia temukan jawabannya.

"Ini, Yah! Tehnya sudah Enab siapkan!" Kata Zainab dari balik tirai ruangan lain di rumahnya yang menghentikan pembicaraan hangat antara ayahnya dan Ali.

"Iya, Nak! Bawa ke sini!" Sahut Ustadz Achnan.

Zainab sangat merasa terkejut, saat ia secara tidak sengaja mengangkat wajahnya dan melihat bahwa Ali adalah tamu ayahnya. Dan ia segera kembali ke balik tirai. Berusaha mendengar pembicaraan antara ayahnya dan Ali.

"Ali, silahkan diminum tehnya! Dan sekarang, bicaralah! Hal apa yang ingin Ali sampaikan?" Tanya Ustadz Achnan.

"Bismillahirrahmanirrahim, begini, Ustadz, sebelumnya saya meminta maaf jika Ustadz kurang berkenan dengan apa yang akan saya katakan! Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk meminta izin kepada Ustadz, saya ingin berta'aruf dengan Zainab. Sekali lagi saya minta maaf, Ustadz! Tapi, saya bermaksud untuk serius dengan Zainab, oleh karena itu saya memberanikan diri." Kata Ali.

Ali merasa sangat ketakutan, hingga keringatnya mengucur begitu deras dan sangat jelas terlihat membasahi pelipisnya. Ditambah lagi rasa gerah akibat matahari yang memang sangat terik saat itu. Karena, waktu masih menunjukkan pukul 13.00 WIB.

"Hemm, jadi kamu mau ta'aruf dengan Enab! Bagaimana menurutmu, Enab?" Ucap Ustadz Achnan yang ternyata mengetahui bahwa Zainab sedang menguping di balik tirai.

"Ali, dengan beberapa pertimbangan, maaf," Seru Ustadz Achnan.

"Tidak apa-apa, Ustadz! Ustadz tidak perlu meminta maaf, saya bisa mengerti." Sahut Ali dengan perasaan kecewa yang berusaha disembunyikan.

"Ali, Ali, kamu itu mengerti apa sih? Maksudnya, maaf saya tidak bisa menolak permintaan Ali yang sudah memberanikan diri untuk meminta izin berta'aruf dengan Enab setulus hati!" Kata Ustadz Achnan.






Zainab (BLM Writing Marathon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang