Gadis Berjilbab Merah

45 4 0
                                    

Sudah enam bulan sejak Ali pergi ke Mesir. Zainab menjalani hari-harinya seperti biasa. Dengan penuh semangat dan keceriaan, seperti pesan yang disampaikan oleh Ali di bandara.

Ali juga tidak lupa mengirim surat dua kali dalam satu bulan. Eitss, tapi bukan kepada Zainab, melainkan kepada Salma. Dan tentu saja Salma selalu membawa surat dari abangnya itu untuk dibaca bersama Zainab.

Surat itu isinya bukan untuk Zainab yang sengaja dikirimkan oleh Ali kepada adiknya untuk disampaikan kepada Zainab. Tapi, surat itu murni untuk Salma. Tentu saja Ali tak lupa menanyakan kabar Zainab kepada Salma melalui surat tersebut.

Seperti biasa, Salma selalu menggoda abang dan sahabatnya itu. Ia menuliskan beberapa hal yang membuat Ali tertunduk malu ketika membaca surat balasan dari Salma. Sesekali Salma bertanya kepada Zainab, barangkali ia ingin menitipkan beberapa kata untuk Ali. Tapi, tentu saja Salma menulisnya sedemikian rupa, sehingga Ali tidak mengetahui bahwa kata-kata itu langsung dari Zainab.

Beberapa hari kemudian.

"Enab! Maaf ya aku gak bisa temani kamu lagi di sini!" Kata Salma.

"Ke..kenapa kamu bicara seperti itu, Ama?" Zainab terkejut.

"Soalnya, aku mau ngajar di sebuah pondok pesantren! Jadi, aku harus menginap juga di sana seperti para santri!"

"Masyaallah, justru aku seneng banget dengernya! Kirain kamu udah gak mau jadi sahabat aku lagi!"

"Ya gak gitu, Enab! Sampai kapanpun, aku tetap sahabat kamu!"

*****

Tiga bulan kemudian, itu berarti sudah sembilan bulan sejak kepergian Ali ke Mesir. Zainab pun datang menjenguk Salma di pesantren. Ia merasa sangat bahagia.

Tapi, sebelum bertemu dengan Salma—Zainab terlebih dulu bertemu dengan seorang pemuda tampan dengan rambut berjambul. Ia memakai jaket kulit berwarna cokelat dan menentang sebuah tas, pria itu bergaya anak muda zaman now. Sepertinya pemuda itu hendak pergi ke luar dari pesantren.

Pemuda tersebut menyunggingkan senyuman kepada Zainab. Zainab pun berlalu begitu saja menuju ndalem tanpa menghiraukan pria itu. Kediaman khusus keluarga Kyai itu begitu luas dan ada beberapa santri ndalem yang bertugas membantu Ibu Nyai memasak makan, bersih-bersih, dll.

"Assalamualaikum, Bu Nyai!" Zainab mengetuk pintu ndalem.

"Waalaikumussalam! Masyaallah ini Zainab anaknya Almarhumah Ustadzah Zulfa dan Ustadz Achnan?" Tanya Bu Nyai.

"Iya, Bu Nyai!"

Zainab pun dipersilahkan masuk oleh Bu Nyai dan berbincang-bincang hangat. Kebetulan Almarhumah ibunya dan Bu Nyai adalah sahabat satu pondok. Sehingga, Bu Nyai sangat mengenal ibu Zainab. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat hari raya Idul Fitri sebelum ibu Zainab meninggal. Waktu itu Zainab masih berumur delapan tahun.

Jadi, wajar saja Bu Nyai bertanya! Takut salah mengenali seseorang. Zainab pun mengutarakan maksudnya ke sini adalah untuk mengujungi sahabatnya, yang kebetulan mengajar di sini.

"Oh, jadi Ustadzah Salma itu sahabat Zainab? Tunggu sebentar, saya panggilkan santri ndalem, biar ngantar Zainab ke kamar Ustadzah Salma!" Kata Bu Nyai.

"Oh ya, Zainab! Tadi sudah ketemu sama bang Ahmad?"

"Bang Ahmad??" Zainab memastikan yang ia dengar.

Zainab (BLM Writing Marathon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang