"Assalamualaikum!" Tegur seorang gadis bercelana jeans dan memakai baju yang lengan panjangnya disingsingkan sedikit. Gadis tersebut juga terlihat mengenakan jilbab dan tidak lupa sebuah topi di atasnya.
"Wa'alaikumussalam. Wr. Wb. Anda siapa, ya?" Tanya Zainab.
"Aku gadis yang waktu itu, Kak! Yang nanya aula tempat Ustadz Ali!" Jawab Gladis.
"Oh, yang namanya Gladis itu, ya!" Kata Zainab.
"Iya, bener, Kak!" Ujar Gladis.
"Masyaallah, cantik sekali kamu, Dek! Semoga istiqomah berhijab, ya!" Seru Zainab.
"Amin, do'anya, Kak!"
Sore itu suasana seketika menjadi gembira. Salma dan Gladis akhirnya menjadi akrab. Para jamaah pengajian rutinan di aula tersebut juga dapat menerima Gladis dengan tangan terbuka, setelah Gladis berhijab.
Setelah pengajian rutin berakhir, Zainab, Salma dan Gladis berbincang ramah. Semilir angin membelai lembut keakraban tersebut. Jika biasanya Ali berbicara dengan Zainab dibalik satir ketika pengajian rutin selesai, namun hari itu Ali membiarkan Zainab dan Salma menemani Gladis untuk berbincang.
Ali tidak lantas segera pulang ke rumah. Tetapi, ia duduk dibalik satir sambil membaca-baca kitab yang ia bawa saat itu.
Suara gelak tawa ringan sesekali terdengar dari balik satir. Ali pun tersenyum menyadari hal tersebut. Kemudian, sebuah pertanyaan Zainab membuat Ali menyimak penuh pembicaraan ketiga gadis tersebut."Gladis, kalau boleh tau, sejak kapan kamu mengenal Ustadz Ali?" Tanya Zainab serius.
"Jadi, ceritanya waktu itu Ustadz Ali datang untuk mengisi pengajian di Kampungku dengan menaiki motor! Maklum kak, waktu itu kan aku masih jadi preman kampung, aku dan teman-temanku menghentikan Ustadz Ali secara paksa." Jawab Gladis.
"Eh, begitukah? Terus, terus, gimana akhirnya?" Sahut Salma penasaran.
"Ya aku dan teman-teman meminta uang jaminan keamanan sama Ustadz Ali! Tapi, Ustadz Ali malah menanyakan surat resmi kepada kami, ya aku bilang kalau kami ini preman gak butuh surat resmi untuk menagih uang keamanan!" Tambah Salma.
"Masyaallah!" Gumam Zainab sambil menghela napas.
"Bukannya Ustadz Ali merasa takut, tapi beliau malah menceramahi kami bahwa Rasulullah Saw. tidak suka kepada orang yang meminta dan kami masih muda, seharusnya bekerja dan bukannya meminta-minta.
Merasa dihina, kami hampir saja memukuli Ustadz Ali, tapi ayahku datang dan bilang bahwa Ustadz Ali adalah seorang Ustadz yang akan mengisi pengajian di Kampungku, sejak saat itu akhirnya aku mulai tertarik dengan pengajiannya!" Ujar Gladis dengan senyuman.
"Wah, berani sekali kamu mau memukul Abangku, Gladis! Kalau saja kamu masih jadi preman, aku pukul balik kamu! Tapi, kamu sudah berhijrah, jadi ya sudahlah hehehe!" Sergah Salma.
Senyum pun mengembang di wajah Zainab. Dalam hati, ia merasa sangat bangga terhadap Ali. Sedangkan di balik satir, Ali tersipu malu mendengar dirinya diceritakan di depan Zainab.
Perbincangan ketiga gadis itu pun telah usai. Mereka pun meninggalkan aula tersebut. Setelah itu, barulah Ali meninggalkan aula.
***
Satu bulan kemudian..
Matahari berjingkrak dari ufuk Timur. Embun masih menetap di atas rerumputan. Aroma khas tumisan menyeruak keluar dari tiap-tiap rumah warga.
Pagi-pagi sekali, Gladis datang ke kampung tempat tinggal Ali. Yah, saat ini Gladis telah bersungguh-sungguh berhijrah. Ia pun mengenakan gamis, jilbab panjang, kaus kaki dan tidak lagi mengenakan celana. Tutur bahasanya pun menjadi semakin halus.
Gladis berjalan mencari Ali di aula majelis. Namun, ia samasekali tidak menemukan Ali. Ia pun menanyakan kepada warga sekitar tentang keberadaan Ali, pagi itu.
Akhirnya, Gladis menemukan Ali yang sedang jogging di lapangan kampung. Gladis mencoba memanggil-manggil Ali. Tapi, rupanya Ali tidak mendengarnya. Gladis pun berjalan mendekati Ali dan berdiri di sampingnya dalam beberapa jarak.
"Assalamualaikum, Ustadz! Maaf, pagi-pagi saya datang ke sini." Ucap Gladis.
Setelah beberapa menit, tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan oleh Ali. Gladis akhirnya menyadari, bahwa Ali tidak mendengar apa yang ia ucapkan. Rupanya, Ali sedang fokus terhadap suatu hal. Gladis segera mencari tahu apa yang sebenarnya Ali lihat.
Menurut pemikiran Gladis, Ali sedang melihat Zainab dari kejauhan. Yah, pagi itu terlihat Zainab sedang pergi berbelanja di tukang sayur langganan di seberang lapangan. Gladis pun mencoba mencari tahu kebenaran tentang kemungkinan Ali sedang melihat Zainab!
"Seberapa suka dengan Zainab?"
"Sangat suka!"
"Apakah Zainab merupakan gadis impian?"
"Zainab salah satu impian terbesarku! Aku merasa sangat beruntung bisa berta'aruf dengannya! Kini aku merasa sangat yakin untuk melamarnya bulan depan, insyaallah. Apakah kamu senang sahabatmu menjadi kakak iparmu, Salma?"
Ali pun menoleh dan merasa sangat kaget, ternyata yang berbicara dengannya dari tadi adalah Gladis, bukan Salma adiknya. Pipi Ali pun merona seketika, sebab tanpa sengaja, ia telah terang-terangan menceritakan perasaannya terhadap Zainab kepada seseorang selain adiknya.
"Eh, Gladis! Maaf, saya kira tadi adik saya, si Salma!"
"Tidak apa-apa, Ustadz! Maaf, karena pagi-pagi saya sudah berada di sini!"
"Tolong, jangan katakan kepada siapapun tentang apa yang barusan saya katakan! Karena, saya masih berta'aruf dengan Zainab. Tapi, kamu boleh mengatakan kepada orang lain saat saya dan Zainab telah resmi bertunangan!"
"Ustadz tenang saja! Saya tidak akan mengatakan kepada siapapun!"
"Oh iya, kenapa Gladis pagi-pagi datang ke sini? Kok matanya memerah dan berair? Maaf, saya tidak sengaja melihat!"
"Tidak apa-apa, Ustadz! Cuma kelilipan saja! Saya hendak pamit untuk tidak mengaji di aula lagi, Ustadz!"
"Lho, kenapa? Kamu merasa tidak nyaman? Atau ada yang mengganggumu?"
"Tidak, Ustadz! Insyaallah saya akan berusaha untuk pergi menimba ilmu secara lebih di tempat lain!"
"Oh, ya sudah! Semoga di sana kamu masih tetap istiqomah dan menjadi lebih baik lagi! Aamiin!"
Langkah kaki Gladis pun perlahan menjauhi Ali. Tangan kanannya menggenggam sebuah amplop cantik bermotif bunga sakura.
Kemudian, ia pun pergi meninggalkan lapangan dengan setengah berlari dan menyeka air matanya. Amplop yang ia genggam pun berusaha ia masukkan ke dalam saku gamisnya sebelah kanan.
Namun, ternyata amplop tersebut tidak berhasil masuk ke dalam saku gamisnya. Sehingga, amplop tersebut pun jatuh di pintu masuk lapangan. Dan Ali pun menemukan amplop tersebut dan mengambilnya. Terdapat sebuah tulisan "Untuk Ustadz Ali".
KAMU SEDANG MEMBACA
Zainab (BLM Writing Marathon)
RomansaSetelah kepergian Ali melanjutkan studi ke Mesir, selain merasa hancur karena rencana pertunangannya yang terpaksa dibatalkan, Zainab harus menghadapi sebuah ironi kehidupan tentang sebuah perjodohan dengan laki-laki yang samasekali tidak ia cintai...