Chapter 1

17.9K 1.4K 43
                                    

Mark sudah mewanti - wanti jika hari ini akan tiba. Hari dimana Jaemin akan meminta untuk bisa masuk ke sekolah lagi. Ia sudah bosan jika hanya belajar di dalam rumah dan menunggu hingga Mark pulang. Ia ingin bisa merasakan rasanya belajar di dalam ruang kelas, memiliki teman selain Mark, dan terbebas dari sangkar emas ini.

Jaemin ingin merasakan itu semua, ia tahu kehidupan sekolah itu sangat menyenangkan meskipun Mark tidak pernah menceritakan kepadanya. Justru sebaliknya Mark mengatakan jika sekolah itu membosankan.

Setelah memohon - mohon kepada ayahnya agar ia bisa kembali bersekolah akhirnya laki - laki empat puluhan itu luluh juga. Ia mengijinkan Jaemin kembali bersekolah dengan syarat ia tidak boleh jauh - jauh dari Mark dan kelelahan.

Jaemin itu berbeda, ia divonis mengidap hemophilia ketika lahir dulu. Hal itu yang membuat Johnny - ayah Jaemin - begitu melindungi putranya. Apalagi setelah istrinya meninggal tujuh tahun yang lalu. Jaemin menjadi cahaya di kehidupan Johnny selain Hendery. Sehingga mau tidak mau, Johnny seperti membelenggu Jaemin di dalam istana megah.

.

.

"Jaemin, pakai jaketmu"

"Tapi Mark ini musim panas, aku baik oke"

Mark menggeleng tanda tidak setuju. Ia tetap bersikeras memakaikan jaket pada tubuh ringkih Jaemin. Mark ingat ketika sahabatnya tau jika ia mengidap hemophilia, Jaemin begitu terpuruk dan sedih. Ia bahkan mengurung dirinya di dalam kamar selama seminggu penuh yang membuat Johnny dan dirinya khawatir. Hingga kemudian ia tak sadarkan diri dan harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan lamanya.

Mark tau sahabatnya itu tidak lagi ceria seperti dahulu. Jaemin seperti putri tidur yang bisa terkena jarum tajam kapan saja. Sebenarnya membuat Jaemin kembali ke sekolah sedikit mengembalikan binar di matanya yang mulai redup.

"Kelas kita dimana? Duabelas lima atau tiga?"

Pertanyaan Jaemin membuat Mark tersadar, ia lalu menuntun Jaemin menuju kelas mereka di tahun ajaran baru ini.

Pintu kayu itu di dorong Jaemin dengan semangat hingga menimbulkan bunyi berdebum dan membuat seluruh atensi kelas tertuju pada mereka. Sudah biasa bagi siswa sekolah itu melihat Mark dan Jaemin yang selalu bersama.

Mereka sudah seperti pangeran dan putri yang tak terpisahkan. Bahkan banyak yang menobatkan keduanya sebagai pasangan yang romantis meskipun kenyataannya keduanya hanya sebatas sahabat kecil. Mark tidak peduli, yang penting Jaeminnya aman.

Jaemin menerawang seisi kelas. Sepertinya ia dan Mark sedikit terlambat datang karena tidak ada lagi kursi kosong yang bersebelahan. Biasanya ia selalu duduk bersama Mark. Jaemin bukannya sedih, ia justru senang karena akhirnya ia bisa terbebas dari Mark.

Jaemin menuju kursi nomor tiga dari depan, kursi di sampingnya sudah terisi oleh seorang laki - laki berkacamata yang sibuk membaca buku. Jaemin belum pernah melihatnya.

Ia segera mendudukkan pantatnya di samping laki - laki itu. Jaemin sengaja menarik kursinya dengan suara berderit nyaring, namun teman sebangkunya itu tetap fokus akan kegiatannya membaca buku. Jaemin sebal dan tidak suka diabaikan.

Mark menghampiri Jaemin yang sudah duduk di bangkunya. Ia melirik teman sebangku Jaemin yang begitu asyik membaca buku. Mark mengetukkan jarinya di meja teman sebangku Jaemin, bermaksud meminta perhatian.

Teman sebangku Jaemin itu mendongak, merasa terganggu dengan keadaan sekitar. Ia memasang wajah datarnya.

"Bisa kita tukar tempat duduk? Masih ada tempat kosong di sana"

Mark menunjuk barisan meja di dekat pintu masuk. Laki-laki itu - Jeno - masih memasang wajah datarnya. Ia begitu membenci kedua orang ini. Dua orang kaya yang selalu menjadi bahan pembicaraan warga sekolah.

Pasangan yang tidak perlu repot - repot berinteraksi dengan orang lain karena tidak selevel dengan keduanya. Selain itu, Jeno membenci bangku di dekat pintu masuk karena akan sangat berisik dan membuat konsentrasinya terganggu.

"Kau saja yang duduk di sana. Lagipula aku yang lebih dulu datang"

Jeno membalas acuh lalu kembali pada buku setebal sepuluh sentinya. Mark mendengus mendengar jawaban Jeno.

"Ayo Jaem"

Jaemin melepaskan tangannya yang digenggam Mark. Ia ingin duduk di sini, lagipula dari tempat ini ia bisa memandang awan dan juga lapangan sekolah yang indah. Jika ia duduk di dekat pintu masuk, tidak ada pemandangan menarik yang bisa dilihatnya.

"Aku mau disini Mark. Sekali saja ijinkan aku, ya ya ya"

Jaemin menatap Mark dengan tatapan memohonnya. Mau tidak mau Mark luluh dengan tatapan Jaemin yang seperti itu. Ia akhirnya mengalah, namun sebelum pergi ke bangkunya ia menatap Jeno lagi.

"Heh, awas saja sampai melukai Jaemin!"

Jeno tetap tidak bergeming. Ia bahkan tidak peduli dengan teman sebangkunya. Jangankan melukai, berbicara dengannya saja ia malas. Abaikan saja, bukan urusannya.

-------------------------------------------------------

TBC?

OR

DELETE?

When Love Comes [N O M I N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang