Keping

229 9 3
                                    

Hidupku terlalu akrab dengan patah, terlalu dekat dengan duka, terlalu bersahabat dengan luka, dan terlalu setia pada kata pisah. Berpegang penuh pada setiap angan, hingga aku lupa aku harus membuka mata untuk semua kenyataan. Dengan akhir yang tak bisa kuterima, aku lagi-lagi kehilangan.

Benar, tidak ada yang abadi di dunia ini, akupun harus sadar akan perihal itu. Hanya waktu mereka saja yang pergi dengan terlalu tergesah-gesah, meninggalkan aku yang sedang merekah-rekah. Tidak peduli aku yang sedang terisak-isak, yang pergi tidak akan kembali.

Perihal kehilangan, aku selalu tidak mengerti, mengapa perkara kehilangan tidak pernah luput dari rotasi kecilku? Siapa yang masih bisa berwaras akal ketika nyatanya kau tidak dipercaya oleh Tuhan untuk dikelilingi orang-orang terkasih? Satu demi satu meninggalkanmu, membiarkanmu luntang-lantung kehilangan pion untuk berdiri? Bahkan sekarang, kau tidak bisa berdiri lagi layaknya orang sehat?

Aku sakit? Ya, sakit bukan main. Ragaku, jiwaku.

Aku tidak bisa menggenggam kembali atau sekedar berjalan mundur, menyapa masalalu yang sulit aku lupakan.

**

Teruntuk Jinggaku, yang direnggut senja kala itu.

Jika waktu itu kamu tidak menumpahkan jus jeruk ke seragam sekolahku, jika waktu itu kita tidak bertemu, jika takdirmu waktu itu bukan teman kelas kakakku, jika waktu itu kamu tidak memutuskan untuk pindah ke sekolah kita dahulu, akankah aku tetap kehilanganmu?

Tidak cukupkah tawaku untuk meyakinkanmu bahwa aku bahagia karenamu?
Tidak cukupkah tatapku untuk meyakinkanmu bahwa aku tidak bisa tanpamu?
Tidak cukupkah keluh sedihku untuk meyakinkanmu bahwa aku sudah pernah kehilangan ayahku?
Tidak cukupkah suara detak jantungku meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu hingga inti sel DNAku?

Beritahu aku, setidak pantas itukah aku untuk menggenggammu?
Setidak pantas itukah aku untuk merasa bahwa dunia cukup adil untukku?
Setidak pantas itukah kita untuk terus saling perjuangkan?

Jingga, kamu tahu seberapa rapuh aku.
Kamu tahu betul, aku selalu mengemis kepada Tuhan untuk tidak memisahkanmu dariku.
Kamu tahu betul, aku pernah membenci senja sebelum kamu hadir.

Kamu datang tanpa permisi, dan pulang tanpa pamit.
Kali ini siapa yang harus aku salahkan? Maksudku, selain diriku sendiri yang tidak pernah dipercaya oleh Tuhan? 

***
Malam semakin larut, Aline tetap memaksa diri untuk belajar berdiri meski tahu bahwa kemungkinan ia akan kembali berdiri itu hampir tidak mungkin.

"Kata orang, hukuman terkejam untuk orang jahat bukanlah dia yang cepat meninggal dunia. Melainkan, dia hidup dan merasakan bahkan menyaksikan dirinya kehilangan orang-orang yang ia sayangi satu-persatu,"

Aline bergumam diantara usahanya.
"Aku pernah sejahat apa sama dunia?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elegi Senja dan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang