Untold Love - 5

19 3 0
                                    


"Karena mungkin lebih baik diam,

Jika yang terucap hanya memberi jarak."

-Anonim-

******

"Apa-apaan?!" sembur gadis yang bahkan masih mengenakan gaun anggunnya, lengkap dengan high heels dengan warna senada. Cantik, tentu saja, wajah manisnya dipoles make up tipis, bibir merah muda menggiurkan, mata yang indah dan terlihat kesal.

"Apanya?" jawabnya setelah kembali menemukan kesadarannya yang sempat hilang. Mengeraskan rahang tegas miliknya, berusaha tidak menerjang gadis yang kini tampak sedang berapi-api menatapnya.

"Apa yang kamu katakan selama kita berada ditempat terkutuk itu?!" Jawab si gadis menaikan satu oktaf nada bicaranya, tampak sangat murka.

"Memang apa yang aku katakan?" Jelas dia tidak bodoh untuk tidak mengerti amukan gadis itu, tapi lihatlah bukankah dia sangat manis bahkan ketika wajahnya merah padam menahan amarah?

"Mengatakan 'Dia calon istriku' di depan semua orang yang bertanya siapa gadis di sampingmu" Ulang gadisnya itu begitu sempurna bahkan dengan wajah kesal menirukan kalimat pemuda yang setengah mati menahan senyum. Pemuda yang baru saja mengatakan kalimat 'gadisnya' di dalam hati. Arka benar-benar akan tamat jika tidak secepat mungkin mengalihkan pandangannya.

Dengan gerakan tangan membuka kembali pintu mobilnya diiringi suara pertanyaan dari gadis di sampingnya. Tampak ingin tau kenapa ia justru membuka kembali pintu mobil padahal seharusnya mereka sudah dalam perjalanan pulang.

"Ayo masuk lagi, aku akan mengatakan pada semua orang bahwa kau adalah budak ku. tampaknya kau lebih suka aku mengatakan itu bukan?"

Habis sudah! Semua sumpah serapah bahkan sudah berada di ujung lidahnya, otak yang biasanya ia istirahat itu, kini dipaksa merangkai semua umpatan menjadi teriakan histeris guna membuat pemuda di hadapannya tuli atau mati sekalian. Bagaimana semesta bisa melahirkan pemuda sepertinya?

Tapi tersadar pada kenyataan bahwa apapun yang ia lemparkan pada Arka, maka pemuda itu akan dengan senang hati melontarkannya kembali pada dirinya sendiri. Dan berakhir dengan amarah yang justru semakin memuncak. Sadar bahwa usahanya sia-sia, akhirnya membuat Dira memilih diam. Tak lagi membalas ucapan pria yang kini mulai menjalankan mobilnya meninggalkan panggung sandiwara itu.

Dengan kesal dan lelah setelah berjam-jam memasang senyum palsu, dan mengikuti Arka kesana kemari menyalami rekan bisnisnya -setidaknya begitulah yang dikatakan Arka padanya- membuat gadis itu sudah tidak tahan lagi untuk tetap mengenakan high heels yang kini sudah mengukir bekas kemerahan di kakinya. Dengan sekali hentak, kakinya sudah terbebas dari belenggu sialan itu. Jangan salah sangka! Dira bukanlah gadis rumahan yang tidak pernah menghadiri sebuah pesta dengan high heels menghiasi kakinya. Hanya saja selama ini Dira menghadiri pesta dimana ia hanya perlu menyalami beberapa orang dan dilanjut dengan duduk santai dan ditemani beberapa cemilan diatas meja. Bukan kesana kemari menyalami tamu yang sudah tidak terhitung banyaknya selama berjam-jam plus menahan amarah setiap kali Arka mengucapkan kalimat horror kepada semua orang yang menanyakan identitas dirinya.

Dan lihatlah! Pemuda itu bahkan tidak ingin repot mengucapkan 'maaf atau terimakasih' setelah membuatnya lelah dan frustasi? Dengan santainya ia tetap menyetir dengan dasi yang sudah dilonggarkan, dan jas yang telah dilepas. Meninggalkan kemeja putih yang melekat pada dada bidangnya. Andai saja ia bisa menancapkan pisau didadanya itu atau setidaknya meninggalkan bekas cakaran diwajah tampannya. Tunggu?! Dira menganggap Arka tampan?

Oh tentu saja! Hanya perempuan buta yang tidak bisa melihat ketampanan seorang Arka. Dengan tubuh atletis yang membuat Dira selalu mengadahkan kepala tiap kali bicara dengannya, atau alis tebal yang baru saja Dira sadari malam ini. Tentu saja banyak perempuan mengantri untuknya, Dira bahkan curiga wanita yang baru melahirkan pun akan dengan senang hati berselingkuh dari suaminya begitu melihat Arka.

Untold LoveWhere stories live. Discover now