Ruang Sempit

94 4 2
                                    

Lingkungan sekitar rumah orang tuaku cuma terdapat empat rumah yang berjajar di sebelah selatan jalan desa.
Jika dirunut dari barat, maka rumah orang tuaku yang paling ujung, kemudian rumah Pak Tua Jali, Rumah Pak De An, dan terakhir rumahnya Mbah Jarwo.

Kebetulan lingkungan itu diapit oleh dua tempat yang terkenal angker.

Bayangkan saja, di samping rumah Mbah Jar terdapat kebun bambu yang lebat, pohonnya yang di tepi menjuntai ke arah jalan desa, serta ada cerita menakutkan yang pernah menjadi bagiannya. Sedangkan sebelum rumahku terdapat tempat bernama Rujak Beling yang dipercaya menjadi tempat para setan berpesta.
Masalah benar tidaknya cerita itu memang tidak dapat kupertanggungjawabkan.

Namun, bagi logika anak-anakku pada masa itu, sungguh mengerikan. Aku pernah dengar cerita tentang seorang pemuda yang melintasi jalan desa di dekat kebun itu. Suatu malam dia diganggu hantu.

Ada sebuah pohon bambu yang tiba-tiba mentiung dan menghalangi jalannya. Karena merasa terganggu, pemuda itu memutuskan ranting-ranting bambu yang menghalangi tersebut. Dan terdengarlah suara orang merintih kesakitan. "Kembalikan tanganku, kembalikan tanganku."

Kata orang, itu rintihan hantu yang merubah diri jadi pohon bambu dan kebetulan batangnya diputus pemuda itu.

Rujak Beling pun punya ceritanya sendiri. Tempat itu dinamakan Rujak Beling karena beberapa kali pernah ditemukan piring yang di dalamnya terdapat pecah-pecahan kaca (beling).

Mungkin seperti itulah hidangan rujak versi setan. Sebagai tempat foya-foyanya para hantu wajar saja jika di Rujak Beling sering bermunculan berbagai macam hantu, seperti gendruwo, Banas Pati, atau Gundul Pecengis. Itu menurut cerita orang. Dan aku belum pernah membuktikan sendiri. Namun itu sudah cukup membuat bulu kudukku berdiri.

Sungguh, setiap kali matahari tergelincir di ufuk barat, dan teja merah yang berjajar di langit berbaur dengan gelap yang mulai memekat, selalu itu membuat keberanianku, juga para anak-anak di sekitar rumahku kian ciut. Kebun bambu dan Rujak Beling seolah-olah menjadi pagar yang membatasi ruang gerak, karena kami tidak berani melewatinnya pada malam hari, jangankan melewati, memandang dari kejauhan saja kami tak berani.

Berwaktu-waktu jiwa kami terperangkap ketakutan seperti itu. Setiap malam aku dan anak-anak lain tidak bisa leluasa bermain. Terang rembulan menjadi semacam dewa penolong karena dengan berkumpulnya hampir seluruh orang untuk kongko-kongko di depan rumah, membuat kami berani bermain di luar pada malam hari.

Akan ada orang dewasa yang berada di dekat kami, menggerus ketakutan dan menjadi pelindung jika yang kami takutkan benar-benar terjadi.
Aku selalu mengagumi orang-orang dewasa itu, Aku selalu mengagumi keberanian mereka yang tak punya rasa takut sama sekali. Tubuh besar sepertinya bisa membuat orang lebih percaya diri, karena merasa yakin di balik ototnya itu ada kekuatan yang tersembunyi.

Jika dibandingkan denganku dan kawan-kawan yang masih kecil ini tentu sangat berbeda. Tubuh kami yang mungil pasti tak akan ada artinya jika dipakai melawan para hantu. Sebab, jika kami dimakan, pasti kami akan habis dengan sekali telan. Tak bersisa.

Ihhhh, mengerikan, aku tak pernah sanggup membayangkan daging-dagingku habis tertelan, sementara tulang-tulang dan gigiku ikut keluar bersama sampah buangan para setan.
*****

Cosmo:Rumah Masa Kecil : Update Bagian 13: Jalan PendewasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang