Gula Jawa

79 4 5
                                    

Ayah punya seorang pekerja yang sangat rajin. Saya biasa memanggilnya Kang Pardan. Perawakannya pendek dan gempal. Usianya beberapa tahun di atas Mas An. Kalau bekerja sungguh cekatan sekali, sehingga pekerjaan yang ditugaskan kepadanya cepat selesai.

Ayah sangat menghargai kemauan seperti itu. Jika biasanya seorang buruh di daerahku ditugasi untuk merawat sapi tanpa batas waktu. Maka ayah memberi tugas Kang Pardan dengan cara yang  berbeda.

Bekerja pada ayahku, Kang Pardan tak perlu menghabiskan seluruh waktunya untuk merawat sapi-sapi milik ayah.

Dia hanya perlu menuntaskan pekerjaan yang ditugaskan ayah setiap harinya dengan batas tertentu dan setelah kewajibannya selesai, Kang Pardan bisa menggunakan waktuya dengan sekehendak hati.

Bisa buat main sepak bola, atau main layang-layang seperti anak-anak lainnya. Dengan begitu, meskipun masih berusia anak, Kang Pardan sudah bekerja pada ayah, dia tetap tidak kehilangan kebebasannya sebagai anak. Yang bisa bermain, dan pagi hari bisa sekolah seperti anak lainnya.

Itulah penghargaan yang diberikan ayah terhadap kecekatan dan kerja keras, Karena kecekatan dan kerja keras harus dihargai sesuai porsinya.

Dan orang yang bisa menjalaninya harus mendapatkan ibalan yang lebih baik dari pada lainnya.

Hubungan keluargaku dengan Kang Pardan bisa disebut sebagai simbiosis yang saling menguntungkan. Karena masing-masing dari kami saling memanfaatkan.

Oleh karenanya, hampir empat tahun Kang Pardan betah bekerja menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga kami.

Pada waktu itu, sebagian besar pekerjaan ayah adalah menggarap tanah untuk di tanami bawang merah.

Bisa dibilang ayah punya cukup banyak lahan garapan. Setiap hari dia bahkan bergelut dengan air untuk menyiram tanamannya agar bisa tumbuh subur.

Tahu sendirilah, tanaman bawang merah itu perawatannya bagaimana.

Sangat merepotkan dan harus diurusi setiap hari. Ayah selalu bilang kalau merawat tanaman ini lebih repot dari pada merawat bayi.

Setiap hari merengek minta disirami. Oleh karena itu ayah butuh lebih banyak tenaga untuk menanam tanaman ini.

Kerepotan mendera, saat setelah lulus SD, Kang Pardan memutuskan untuk tidak bekerja pada ayah.

Lamat-lamat kudengar pada suatu sore, dia berpamitan pada ayah untuk tidak lagi bekerja. Katanya dia mau coba merantau ke Jepara. Mengikuti beberapa teman yang sudah belajar ukir di sana.

Meskipun berstatus sebagai majikan, ayah tak bisa mencegah hal itu terjadi. Tepatnya, kebijaksanaannyalah yang melarangnya, sebab dia harus memberi kesempatan buat Kang Pardan untuk berkembang.

Seperti tanaman yang tak mungkin berkembang jika dia masih dalam pembenihan. Ruang yang lebih besar harus tersedia, agar batang dan tangkainya bisa mekar ke segala arah.

Dengan begitu seseorang akan mampu menjadi tempat bernaung dan tumpuan keluarga serta orang-orang terdekatnya.

Awalnya aku tidak begitu merisaukan kepergian Kang Pardan, bahkan saat kang Pardan pamitan aku sangat gembira,  karena kang Pardan memberiku sekantong plastik besar gula jawa.

Bagiku itu sangat luar biasa.

Sebab memiliki gula jawa merupakan kenikmatan yang kuharap sejak lama karena rasanya yang lezat dan manis memikat itu.

Bagiku itu bagaikan menemukan sebongkah emas, dan aku wajib memamerkan ke seluruh kawanku.

Hehehe.

Namun, ternyata kebahagiaan yang kualami itu berkebalikan dengan yang dirasa ayahku.

Sejak kepergian kang Pardan untuk merantau, tampaknya beliau kesulitan untuk mencari penggantinya. Dan beberapa pekerjaan ayah jadi sedikit berantakan.

Selama beberapa waktu ayah berusaha mencari pengganti Kang Pardan. Akhirnya, usaha itu membuahkan hasil. Karena  pada suatu remang senja, kulihat ada seorang muda di temani orang tuanya datang ke rumah.

Mereka mengobrol dengan ayah selama beberapa waktu, sampai akhir-akhir obrolan itu, aku mendekati mereka.

Kudengar bapak pemuda itu bilang bahwa dia menitipkan anaknya, semoga mendapat didikan yang baik, dan bisa belajar bekerja dengan ayahku.

Selama beberapa waktu aku baru ngeh, kalau orang yang kemudian bekerja pada ayahku itu adalah adiknya kang Pardan.

Hatiku merasa tenang. Karena kalau seseorang berasal dari keluarga yang sama pasti punya tabiat dan sikap yang hampir sama. Membayangkan Kang Pardan yang rajin serta cekkatan, kubayangkan pula adiknya pasti serajin dan cekatan seperti itu. Pikirku  jadi tenang. Karena pasti akan ada lebih banyak gula jawa yang kuperolah dari orang berkarakter seperti itu. Ayahku benar-benar pintar.

Pagi harinya pegawai baru ayah mulai bekerja. Sebagai rasa penasaran, berkali-kali kutanyakan pada ibu siapa nama pegawai baru itu.

Dengan kesimpelannya, ibu hanya memberitahu bahwa namanya Arno, hingga seperti biasa-biasanya di kampungku aku harus memangil dengan sapaan Kang Arno.

Sebuah nama baru, yang mau tak mau harus ku akrabi karena jadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami.

*****

Cosmo:Rumah Masa Kecil : Update Bagian 13: Jalan PendewasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang