DEMAM SEKOLAH

75 4 8
                                    

Hari berlalu, bulan berganti, meskipun tahun masih tahun yang sama, Musim-musim berganti lagi.

Rutinitas yang senantiasa berulang dalam kehidupan di dunia ini.

Hujan. Kemarau. Hujan. Kemarau lagi.

Baru kusadari kali itu, perubahan hanyalah dimensi terkecil yang membedakan partikel satu dengan yang lain. Ketika dilihat dalam konteks yang lebih luas, ternyata hanya struktur yang lebih besar dan melingkupi segala yang ada. Berjalin. Bersusun. Saling merangkai. Dan tak terpisahkan satu dengan lainnya.

Seperti jalinan detik yang membentuk menit. Seperti jalinan menit yang membentuk jam, seperti jalinan jam yang membentuk hari, membentuk minggu, membentuk bulan, membentuk tahun, dan seterusnya. Sampai mencakup ruang besar yang bernama waktu.

Partikel raksasa yang abstrak namun selalu memburu hidup, karena kita dijebak oleh doktrin-doktrinnya yang bernama rutinitas.

Meskipun akhirnya itulah yang merumuskan  pola-pola dalam hidup ini.

Ah, tiba-tiba aku serasa menjadi warna merah dan putih yang dipakai oleh anak sekolah itu.

Warna yang berbeda namun membentuk kesatuan yang tak terpisahkan.

Mas An sudah mengenakannya, begitu pula Kang Arno.

Setiap hari kuamati dari teras rumahku, mereka berjalan beriring menyusuri jalan desa yang memanjang seperti ular.

Jalan yang kala itu belum beraspal tapi sudah berbatu. Baju seragam mereka terlihat berloncatan dan memancarkan seribu kewibawaan.

Ah. Sungguh.

Belum kupahami makna sekolah, tapi warna merah putih sudah begitu lekat di kepalaku, memikat hatiku, hingga membuatku murung berhari-hari.

Ingin kumiliki baju seperti itu.

Benar-benar ingin kumiliki.

Tak perduli, meski semua orang termasuk orang tuaku bilang belum masaku. Namun, dorongan itu tak terbendung. Rasanya, aku lebih tahan tidak makan dari pada tidak mengenakan baju itu.

Akhirnya, kuciptakan berbagai intrik demi mengabulkan keinginan itu. Kuciptakan raut sedih pada mukaku. Tak mau bicara. Cemberut. Dan mengurung diri dalam kamar sampai berhari-hari.

Trik kekanak-kanakan yang begitu cerdas karena pasti ampuh membuat terenyuh semua yang melihatku. Trik murahan namun begitu efektif memberikan hasil.

Aku begitu gembira, melihat keberhasilan itu. Hari minggu, menjelang hari pernikahan bibikku, aku dibelikan dua pasang baju baru. Satu stel baju batik kembang warna hijau dengan celana pendek hitam. Dan satunya lagi, baju putih dengan celana pendek merah. Luar biasa.

Tiada terkira senangnya. Seperti menerima durian jatuh. Baju baru untuk dipakai pada moment berharga; acara pernikahan.

Akan langsung bisa kutunjukkan pesonaku itu pada semua orang.

Inilah aku, sudah besar, berpakaian merah putih, seperti anak-anak yang waktu pagi hari berjalan beriiringan menyusuri jalan memanjang menuju sekolah. Berwibawa dan mengagumkam.

Dan ternyata, begitulah sifat manusia. Ketika, satu keinginan terkabul, muncul keinginan berikutnya. Baju baru membuat ku ingin masuk sekolah segera. Tidak perduli ada penjelasan orang tua yang melarangku ke sana, yang penting aku harus sekolah.

Setiap pagi ingin aku pergi ke sekolah. Aku mencegat anak-anak yang sedang berangkat di depan rumah, lengkap dengan pakaian putih merah yang dibelikan ayah waktu pernikahan bibiku.

Senangnya. Begitu semangat aku melihat mereka seakan-akan tidak ada yang mampu membendung keinginanku.  Dan ketika waktunya tiba, saat Mas An dan Kang Arno berangkat, aku mengikuti mereka dari belakang.

Namun sial. Setiap sampai di jalan berkelok seperti ular, selalu mereka berlari kencang, meninggalkanku sendirian yang tak mampu mengejar.

Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya menangis sambil berjalan pulang. Sampai di rumah, aku bertekad akan mengadukan perbuatan mereka pada ayah, pasti mereka akan kena marah.

Dan begitulah seterusnya, setiap hari tekatku semakin bulat untuk masuk SD. Namun anehnya, setiap hari pula semua orang melarang keinginanku.

“Kamu belum boleh masuk SD, Le! Umurmu masih kurang.” Begitu kata ayahku, begitu kata ibuku. Aku tak paham alasan mereka melarang-larangku. Aku tak perduli.

Setiap kali, setiap hari kusiapkan diriku berjaga di depan rumah, menyambut dan berjalan mengikuti mereka yang berangkat sekolah mengenakan seragam putih merah.

Setiap hari dan setiap kali pula, ibuku atau ayahku pasti kerepotan mengajakku kembali pulang. Mereka terpaksa memondongku yang terus merota dan berontak dari kekangan mereka. Isak tangis dan sembab dimata biasa kualami setiap pagi. Kala itu.

Suatu hari, entah mungkin sudah capek dengan kelakuanku, ayah berencana memasukkanku ke taman kanak-kanak.

TK itu letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Aku tidak mau karena bagiku seragam mereka terlalu kanak-kanak, terlalu buat anak kecil yang masih jebleng, tidak sewibawa layaknya seragam SD. Aku tak suka.

Lalu ayah bersiasat lain. Untuk meredam keinginanku yang menggebu, beliau mengajariku sendiri segala huruf dan angka-angka, sampai aku bisa, di rumah.

Ternyata cara itu cukup efektif, karena dengan begitu, akan sedikit mengulur waktu agar aku tidak terlalu meminta. Dan gerjikanku mereda beriring dengan janji yang diberikan ayah bahwa aku hanya bisa sekolah setelah aku bisa menghafal dan menulis semua huruf dan angka.

Menyenangkan. Karnanya aku jadi semangat sekali untuk belajar.

Tak sabar rasanya aku menunggu tibanya waktu itu. Dimana aku bisa berseragam putih merah, yang kuyakini pasti membuatku sangat gagah.

Tuing. Tuing.
Kalau kau lihat gayaku waktu itu,  tentu kukedipkan mataku, lalu kutarik jambul rambutku sedikit seperti gaya superboy, kemudian kutiup keatas, bertebaran layaknya serpihan kembang api yang fantastis.

Kau akan terpesona.

*****

Cosmo:Rumah Masa Kecil : Update Bagian 13: Jalan PendewasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang