Upacaran

62 3 8
                                    

Pada hari Senin minggu berikutnya, semua siswa di sekolahku di suruh baris berjajar di halaman sekolah sesuai kelas masing-masing.

Barisnya harus dua-dua, laki-laki perempuan.

Kala itu aku tak paham benar dengan maksud untuk apa semua itu. Dari slentingan kakak kelas yang kudengar kita akan pacaran. Karena itu, kita dijajarkan dua-dua berpasangan.

Sebab dilakukan banyak orang maka jadinya upacaran. Jelas itu menyimpang dari definisi upacara yang sebenarnya.

Panas terik kala itu, begitu menusuk kulit dan tubuhku yang anak-anak.

Baru kali itu tubuhku berdiri dalam waktu yang lama dibawah panas matahari. Mungkin ini ujian pertama atas kemampuan fisikku. Ternyata pening. Lama-lama, tak tahan juga.

Mata menggelap, namun sanggup kutahan sampai kegiatan itu usai.

Sambil berjalan dengan pandang samar gelap berkunang-kunang, baru kumengerti benar kenyataan. Bahwa dalam sekolah yang sebenarnya tidak melulu enak yang ada. Peluh ternyata harus mematuhi berbagai aturan yang ada, terutama saat disuruh berdiri lama-lama dibawah terik yang sengatnya seperti neraka. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa setelah memakai seragam putih merah ternyata bukan sekedar keanggunan dan wibawa yang didapat, melainkan muncul pula rasa dipaksa yang membuat batin ini merundung sampai rasa mau sekarat.

Ahirnya, karena saking kelelahannya aku langsung masuk ke dalam kelas dan duduk dibangkuku yang nyaman, kurebahkan kepalaku sebentar di meja dengan mata terpejam berharap pening lenyap segera.

Mulai kuhitung. Satu. Dua. Tiga. Untuk menciptakan kondisi yang menyamankanku. Tapi gagal. Ramai riuh suara murid-murud kawanku kelas satu yang sudah masuk ke dalam kelas membuyarkan konsentrasiku, sehingga kubuka kembali mataku.

Belum semua dari mereka kukenal. Kami duduk berjajar dibangku-bangku yang panjang. Sebagian di isi tiga orang yang lainnya dua orang. Meskipun sebenarnya yang ideal diisi dua orang.

Sepintas kuamati wajah-wajah baru yang bervariasi, membuka cakrawala duniaku menjadi beraneka warna. Ternyata banyak sekali orang yang membawa keunikannya masing-masing. Ada yang tampak ceria, kemana-mana menabur senyum. Ada yang pendiam, mengubur gigi dan lidahnya dibalik bibir yang terkunci kelu. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang over dan merasa paling tahu, mereka terlihat meyebalkan meskipun banyak di kerubungi teman dan menjadi pusat perhatian. Semula aku heran kenapa anak-anak itu bisa lebih tahu dari yang lain. Namun, akhirnya kupahami juga, mereka sudah sekolah disekolah kami lebih awal satu tahun. Kamu tentu tahu maksudku kan. Mereka murid yang tinggal kelas. Hehehe.

Peluh dan capek akibat berdiri terkena terik masih sedikit kurasakan efeknya. Namun, sedikit demi sedikit tergerus oleh lupa, kerena perhatianku mulai tersedot oleh hal-hal lain.

Saat itu aku duduk dibangku yang diisi tiga orang. Jadi sedikit terasa berjejal dan sesak. Kebetulan aku duduk ditengah dan diapit dua orang anak, dimana yang satu berbadan tinggi dan lainnya bermata sipit. Unik sekali trasa kombinasi manusia yang duduk dibangku kami.

Mencerminkan kebinekaan, maaf bukan soal ras. Tapi soal fisik dan penampilan. Kami sangat unik. Beberapa hari menjalani sekolah, kami sudah menjadi akrab meskipun tidak pernah mengawali dengan perkenalan. Dan aku nyaman bermain bersama mereka.

Mungkin inilah kisah persahabatan yang paling kukenang, bahkan sampai sekarang. Karena persahabatanku dengan teman sebangku kala kelas satu sd itu didasari dengan ketulusan kalau mau tidak disebut kepolosan. Tidak ada motif atau pamrih, apalagi kepentingan. Barangkali itulah hikmah terbesar yang kupetik setelah kegiatan upacara pertama yang kujalani itu. Mengenal sahabat sejati yang bisa dikenang sampai mati.

Cosmo:Rumah Masa Kecil : Update Bagian 13: Jalan PendewasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang