-semuanya hanya berupa rangkaian kejadian, yang menarikku dalam rasa penasaran-Kejadian hari itu menghebohkan seisi sekolah esok harinya. Beberapa orang menghubungkan dengan kejadian Laura di Laboratorium. Dan semuanya mulai berpikir ini terror.
"Kamu sudah dengar tentang senior pianist itu?" Arzan menatap gadis yang duduk santai menyandar pada pohon dibelakang sekolah. Mereka bertemu lagi disana, di jam istirahat pertama.
Adara mengangkat bahunya, dia sudah dengar. Menatap mata Arzan dengan serius banyak pertanyaan diotaknya. Dan dia bingung harus mulai menyusun dari mana. Kejadian-kejadian itu terasa ganjal. Dan hm, menarik.
"Gua belum pergi ke ruang musik sama sekali hari ini. Dan rencananya istirahat kedua," ujar Adara santai, menatap lurus kedepan.
"Tapi kita kurang informasi, aku kurang tahu jalan kejadiannya," sahut Arzan, dia kurang bisa bersosialisasi dan tidak tahu cara memulainya. Jika dia bertanya layaknya orang kepo yang sok akrab bisa-bisa dia yang dicurigai.
"Hm~, yang itu biar aku yang urus." Adara memberikan cowok itu senyum aneh, memiringkan kepalanya dia dibuat penasaran.
Jam istirahat pertama usai, melangkah berbarengan dengan jarak yang cukup besar, mereka berdua berjalan layaknya tidak pernah ada interaksi.
Masuk kedalam ruang kelas, Adara mengambil buku dari dalam tasnya. Matanya bergerak cepat menatap keadaan kelas, memerhatikan kegiatan yang dilakukan berbagai siswa siswi didalam kelas.
Matanya tertuju pada sekelompok siswi yang duduk melingkari meja, tampak asik bercerita.
Adara melangkah mendekat, "anoo, boleh nanya gak?"
Gadis itu memberikan senyum ramah, para gadis itu mengangkat wajah, membalas senyum Adara dengan senyum yang tak kalah lebarnya.
"Kenapa, Dar?" itu Farah. Mereka satu sekolah saat SMP tapi beda kelas. Jadi kemungkinan terbesar adalah dia tidak kenal Adara begitu baik.
"Soal jadwal mata pelajaran harian, punya gue hilang. " Adara menjawab bohong, Farah mengeluarkan kotak pensilnya ada kertas kecil berisi jadwal mata pelajaran didalam disana.
Adara memandang kertas itu memerhatikan jadwal mata pelajar dalam diam. "Ada yang salah Dar?" Farah bertanya dengan bingung, menatap teman sekelasnya dengan penasaran.
"Gak, ini tulisannya kecil banget, gua gak bisa baca." Adara menunjukan kertas itu dengan raut bingung. Farah tertawa, dia mengagguk paham.
"Gue bacain," balas cewek itu, membacakan Adara jadwal mata pelajaran yang segera ditulis oleh Adara.
"Eh, seni budaya kita besok ya?" menoleh, mata Adara meredup ketika salah satu gadis yang duduk disana merespon pancingannya. "
Materi seni budaya mereka adalah musik, dasarnya otak manusia akan segera merespon segala sesuatu yang yang berkaitan dengan sesuatu yang baru saja heboh terjadi. Seperti respon gadis tadi mengenai seni budaya yang berkaitan dengan musik yang baru saja heboh karena kejadian kakak kelas pianist kemarin.
"Lo bener, gua jadi rada khawatir," ujar Farah dengan raut khawatir.
"Kejadiannya gimana sih, kok sampe parah banget?" Adara bertanya dengan raut bingung yang ia buat-buat. Menunjukan wajah penasaran memancing keempat orang itu bercerita.
"Gua gak tahu sih, tapi dari cerita yang gua denger dari Ka Dilla, pacarnya Ka Bagas, salah satu orang yang bantuin Ka Aros kemarin." Delila gadis yang duduk didepan Farah bercerita, yang Adara tahu gadis ini cukup dekat dengan kakak kelas karena memang dari segi penampilan dia tampak lebih dibandingkan yang lain.
"Ka Aros?" Adara mengangkat alisnya, Delila tersenyum. Semangat berceritanya naik ke level atas.
"Ka Aros itu si pianist yang heboh kemarin. Terus ka Bagas itu sekertaris osis yang kemarin kebetulan dipanggil guru. Katanya nih ya, waktu denger suara Bu Guru yang menjerit karena kaget mereka langsung nyamperin gitu kan. Kakinya Ka Aros itu udah kepaku di dinding gitu. Badannya udah diluar semua kecuali kaki kirinya yang dipaku itu."
"Lah emang suara teriakan atau minta tolong ka Aros gak kedengaran." Adara mengerutkan dahinya, bergabung dalam gosip para gadis itu.
"Nah itu dia, awalnya udah muncul curiga gitu sama guru-guru dan ka Bagas sendiri gara-gara denger tuts piano yang di teken asal gitu. Tapi ya, mikirnya Ka Aros lagi gugup gitu. Kata Ka Bagas suaranya lama banget gitu. Terus tinggi dan gede banget. Jadi karena mulai ngeganggu salah satu guru ngecek dan hasilnya dia ngeliatin Ka Aros yang udah ke gantung terbalik diluar jendela gitu."
Adara mengangguk, "terus kok bisa suara pianonya lama banget padahal Ka Arosnya udah ke gantung diluar?" wajah Adara ia buat sebingung mungkin. Mengorek informasi lain.
"Nah, kalau yang itu katanya, karena ada kamus diatas tuts piano. Gak tau deh gimana lagi." Adara mengangguk, menatap bukunya beberapa saat kemudian tersenyum manis.
"Eh, habis ini katanya banyak yang mau ngejenguk Ka Aros, gak ada yang mau ikut? Soalnya dikit banget yang mau?" Delila mengajak keempat gadis yang bercerita bersamanya.
"Lah emang boleh? Kita kan gak kenal." Farah menyahut yang diangguki ketiga gadis itu termasuk Adara.
"Hm? Gua kenal kak Aros kok, lu bertiga temanin gua gitu." Sudah dikatakan buka Delila berteman dengan banyak kakak kelas. Dan memang cukup populer.
"Boleh deh, lumayan kan yak."
"Gua juga diajak nih? Adara bertanya tidak yakin.
"Iya, rame-rame aja," sahut Delila semangat.
"Ah, ok." Adara mengangguk, mengatur ekspresinya agar terlihat tertarik.
"Pulang sekolah ya," ujar Delila yang diangguki ketiga gadis lainnya.
"Ah, BTW thanks rosternya." keempat gadis itu mengangguk. Tampak tidak keberatan sama sekali dengan kehadiran Adara diantar mereka.
Alis Arzan naik menatap gadis yang baru kembali setelah berbicara panjang dengan penuh senyuman bersama keempat orang ini.
"Kasih tahu aku, siapa gadis tadi?" Arzan tersenyum miring menyindir Adara yang penuh senyuman ketika bersama keempat gadis itu.
"Hm." kepala Adara ia miringkan menatap remeh kearah Arzan dengan senyum kecil.
"Dia adalah gua, gua adalah dia." Adara tergelak dengan ucapannya sendiri.
"BTW, setelah ini kita mau ngenguk ka Aros, lu aterin gua ya. Setelah itu baru gua ceritain apa yang gua denger. "
"Hm, ok. Tapi apa mereka gak curiga?" Adara mengangkat bahunya, mungkin saja akan curiga mungkin juga tidak.
"Diantara yang lain, yang yang sering interaksi sama lo itu cuma gua, kemungkinan mereka gak curiga dan nganggep gua sama lo itu temennan. Yah, gua tinggal bilang lo ojek gratis gua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Laten We Spelen
Mystery / ThrillerLaten we spelen Terror tersebar diseluruh sekolah, semua pikir itu mungkin hanya halusinasi para siswa atau mungkin hantu. Bukan sekali dua kali, kemunculan seseorang yang meneror itu hampir setiap hari. Sampai tulisan itu muncul, "Laten we spelen...